UGM Ingatkan Pemerintah, Kebijakan Pertembakauan Jangan Bikin Petani Gelisah

UGM Ingatkan Pemerintah, Kebijakan Pertembakauan Jangan Bikin Petani Gelisah

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Andreas Budi (AB) Widyanta, mengingatkan, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang komprehensif terkait dengan pertembakauan. Industri Hasil Tembakau (IHT) bukan saja menjadi penyumbang utama pendapatan negara, namun sejak dulu diketahui menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat serta menjadi tumpuan hidup puluhan juta orang.

Berbicara dalam diskusi yang digelar Aliansi Mahasiswa Pascasarjana (Asmara) UGM, Abe, sapaan akrabnya, mengatakan pembicaraan mengenai cukai rokok harus dipahami tidak hanya menyangkut industri rokok atau pabrikan. Komoditas ini juga menyangkut nasib jutaan petani, buruh pabrik hingga pedagang dan pekerjanya.

Dosen sosiologi UGM ini mengaku prihatin. Sebagai warga asli Gunungkidul yang juga memiliki tetangga petani tembakau, dia mengaku sangat memahami kegelisahan petani tembakau. Sebagai komoditas yang bernilai, selayaknya petani tembakau menyambut senang saat musim panen.

“Tapi yang terjadi di negara kita ini, ketika musim panen hampir tiba petani selalu dibuat gelisah. Seringkali ketentuan tentang pembelian daun tembakau hasil panen mereka berubah-ubah. Harganya juga tidak pernah bisa standar, tidak ada patokan yang pasti. Tahun ini, tetangga saya Pak Karno dan Pak Tugiran, bahkan memilih tidak memanen tembakau mereka. Karena tiba-tiba ada ketentuan, daun tembakau harus direnteng. Untuk merenteng daun tembakau, petani harus menambah biaya sekitar 1 juta rupiah,” kata Abe.

Tembakau ketika sudah melalui proses pengolahan di pabrik mampu menyumbang pajak besar ke negara. Petani, buruh serta pekerja, kata Abe, sudah seharusnya dapat ikut merasakan manisnya bertani tembakau. Setidaknya, petani harusnya tidak sampai merugi dan sangat mungkin kemudian kapok menanam tembakau.

“Petani tembakau itu menghadapi risiko besar. Selain tata niaga yang tidak berpihak, mereka juga harus waspada dengan cuaca. Lebih repot lagi, kalau tidak terserap pasar, daun tembakau tidak bisa diapa-apakan. Untuk pakan ternak juga tidak bisa. Ini kan berbeda dengan komoditi pertanian lainnya,” katanya.

Terkait kondisi ini, pemerintah seharusnya dapat hadir dan berperan nyata melindungi kepentingan petani dan buruh serta pekerja yang terkait IHT. Kebijakan pemerintah harus mampu membawa aspirasi semua yang terlibat dalam IHT, tidak terkecuali petani dan buruh.

Semua pihak perlu diajak berembug saat menyusun rencana kebijakan. Dengan demikian lahir kebijakan yang adil bagi semua. “Tapi kita harus akui, selama ini jauh dari itu. Tidak heran, ketika pemerintah berencana menaikkan tarif cukai, pasti petani dan buruh berteriak keberatan. Sebab ketika cukai naik, sudah pasti yang terdampak adalah petani dan buruh. Pabrik rokok akan menekan biaya produksi. Yang paling mudah ya menekan harga bahan baku dan biaya tenaga kerja,” tandas Abe.

Kaitannya dengan kebijakan mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), Abe melihat kebijakan ini belum mampu menjawab persoalan terjepitnya nasib petani tembakau. Imlementasi kebijakan ini belum mampu menyentuh aspek kesejahteraan petani. Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, pernah melakukan riset pada 2016 terkait DBHCHT ini. Riset dilakukan di empat provinsi, yakni Jatim, Jateng, Jabar dan NTB.

“Hasilnya, lagi-lagi mencerminkan nasib petani yang teraniaya. Secara umum, alokasi dana bagi hasil belum dirasakan petani, buruh dan pedagang tembakau,” lanjutnya.

Peneliti Senior di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Suhardi Suryadi, mengungkapkan industri tembakau di Indonesia memiliki sejarah panjang dan memiliki peran strategis bagi perekonomian nasional. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, tembakau tidak akan pernah lepas dari rokok kretek, yang menjadi bagian dari tradisi turun temurun.

Dipadu dengan sejumlah komoditas lain, termasuk cengkeh, tembakau telah menjadi bagian dari rokok khas Indonesia yang digemari oleh berbagai kalangan. Posisinya bahkan sejajar dengan produk cerutu di sejumlah negara.

Pemerintah di era mana pun, katanya, menjadikan tembakau melalui produk olahannya sebagai sumber keuangan negara dan penyerap tenaga kerja yang sangat signifikan. Namun, sepanjang sejarah itu pula, pemerintah tidak cukup memberikan dukungan, agar sektor ini berkembang dan lestari, terutama menyangkut kepentingan orang banyak yang sebenarnya berperan kunci, di antaranya petani dan buruh.

Bagi masyarakat penikmat, rokok bukan sekadar kebutuhan. Bagi sebagian di antara mereka, bahkan rokok telah menjelma menjadi produk yang membuat orang dengan berbagai problem kehidupan merasa nyaman ketika mengisapnya.

“Menjadi semacam tempat pelarian. Pelarian dari berbagai persoalan yang mereka hadapi. Jadi, kalau melihat posisi rokok semacam ini, rasanya berlebihan kalau pemerintah menyebut keinginan untuk menekan angka prevalensi perokok dengan cara menaikkan cukai. Saya lebih melihat sebagai sikap ambivalen pemerintah saja. Ingin dan mau uangnya, tapi enggan memberikan peran dan kontribusi nyata untuk memastikan industri ini juga berkembang,” paparnya.

Sejarah Panjang Tembakau

Di Indonesia, tembakau mulai ditanam tahun 1600-an. Pada era kolonial Belanda, komoditas ini bahkan dikembangkan dengan sistem tanam paksa di sejumlah wilayah.  Belanda melihat tembakau sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan mulai menerapkan pajak sekitar tahun 1830-an.

Pemerintah kolonial, kata sejarawan dari UGM Appridzani Syahfrullah, bahkan menjadikan komoditas ini sebagai jalan keluar tatkala mengalami defisit anggaran. Dari sinilah, pajak untuk rokok dan cengkeh bermula, yang nilainya terus meningkat. “pada awal pajak ditetapkan 20 persen. Tapi kemudian naik menjadi 30 persen pada tahun 1936,” katanya.

Menurut Appridzani, boleh jadi pemerintah Belanda kala itu juga melihat potensi besar dari tembakau. Hal ini tak lepas dari tradisi merokok yang kental di masyarakat Indonesia. Kebiasaan merokok malah sudah tertulis di dalam sejumlah babad, misalnya Babad Tanah Jawi. Hal ini menjadi bukti sejarah, betapa rokok sudah demikian populer pada masa pemerintahan Panembahan Senopati yang menguasai wilayah Mataram.

Ekonom muda, Sulthan Farras, mengatakan dari sisi ekonomi kontribusi tembakau terhadap anggaran negara tidak bisa disepelekan. Merujuk data, pendapatan negara dari cukai rokok terus meningkat. Kontribusinya berkisar Rp 150 triliun hingga Rp 200 triliun. Nilai ini, terbilang sangat besar melebihi kontribusi dari sektor-sektor lain.

Melihat sumbangannya yang begitu sifnifikan, maka kebijakan pemerintah terkait cukai seharusnya mempertimbangkan secara luas ekosistem dari pertembakauan. Setiap kenaikan cukai, bisa dipastikan akan berdampak pada sisi produsen dan konsumen.

Dari sisi produsen, kenaikan tarif cukai akan berpengaruh pada biaya produksi, yang akan dibebankan pada bahan baku dan biaya tenaga kerja. Kenaikan tarif, juga sangat mungkin akan berdampak pada kenaikan harga rokok, yang dirasakan oleh konsumen.

“Yang paling merasakan dampaknya sudah tentu petani dan buruh pabrik rokok. Kenaikan harga ini, sangat mungkin juga akan mengancam industri rokok dalam negeri. Ketika itu terjadi, akan bermunculan rokok ilegal atau bahkan investor asing akan lebih leluasa mengambil peran di industri,” ungkapnya.

Saat ini 35 persen tembakau untuk kebutuhan dalam negeri adalah hasil impor. Lahan pertanian terus menurun sehingga pangsa pasar diambil oleh Amerika Serikat, China dan India. Hukum ekonomi berjalan. Bukan tidak mungkin, pemerintah justru akan kehilangan mesin ekonomi kalau tidak hati-hati dalam memutuskan kebijakan. (*)