Tahun Ajaran Baru, Waspada Perundungan dan Kekerasan dalam Pendidikan
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA—Memasuki tahun ajaran baru, kewaspadaan perlu ditingkatkan terhadap bentuk-bentuk kejahatan perundungan dan kekerasan dalam dunia Pendidikan. Pihak sekolah, masyarakat, hingga pemerintah, musti memiliki komitmen yang sama, untuk mendorong terciptanya lingkungan belajar di sekolah maupun di rumah yang aman, nyaman dan bebas dari perundungan, kekerasan fisik dan psikis, serta intoleransi dan diskriminasi.
Bentuk-bentuk kekerasan ataupun perundungan, selama ini kerap muncul saat awal tahun ajaran baru. Hal ini tak luput dari berjalannya Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) atau yang dulu sering disebut Ospek.
Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), memiliki tujuan untuk memperkenalkan siswa baru dengan berbagai aspek penting dalam kehidupan sekolah. Namun dalam praktiknya, kerap muncul kasus para siswa senior bertindak berlebihan, yang mengarah pada bentuk kekerasan fisik.
“Meskipun MPLS memiliki tujuan yang baik, beberapa masalah umum juga dapat terjadi termasuk pengadaan MPLS di Indonesia. Beberapa kegiatan MPLS di sekolah menerapkan pendekatan yang terlalu kaku, fokus pada aturan atau tugas, dan bahkan mempertahankan budaya feodalistik senioritas-junioritas,” kata Muhammad Nur Rizal sebagai Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).
Belakangan ini, kekerasan yang berujung pada pembakaran sekolah dan kematian anak semakin meningkat. Dendam akibat perundungan di sekolah dan kurangnya perhatian guru telah menyebabkan kasus pembakaran sekolah dengan bom molotov oleh seorang siswa di Temanggung.
Selain itu, kematian seorang anak usia SD akibat stres akibat perundungan oleh tiga siswa SMP mencerminkan budaya senioritas dan diskriminasi yang masih berlangsung. Fenomena ini semakin merebak di era digital jika tidak dianggap serius oleh guru dan orang dewasa yang bertanggung jawab.
Padahal, menurut data OECD pada Peta Jalan Pendidikan Indonesia Tahun 2020 - 2035, siswa di Indonesia mengalami tingkat kekerasan dan perundungan dua kali lipat dibandingkan dengan negara lain, yaitu sebesar 41%. Dampak kekerasan tersebut menyebabkan siswa merasa sedih, takut, kehilangan motivasi untuk belajar atau membaca, bahkan kecenderungan membolos sekolah.
Lebih mengkhawatirkan lagi, para siswa merasa bahwa sekolah tidak memberikan perubahan positif dan pertumbuhan dalam hidup mereka. Hal ini terbukti dari rendahnya tingkat minat siswa Indonesia untuk memiliki pola pikir berkembang (growth mindset) dan menganggap pendidikan sebagai hal yang penting, hanya sebesar 29% dibandingkan dengan 63% siswa di negara lain.
Permasalahan tersebutlah yang disadari oleh Muhammad Nur Rizal sebagai Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).
“Sangatlah penting bagi kita bersama membangun budaya baru di tahun ajaran baru melalui MPLS Menyenangkan,” katanya.
Menurut Rizal, hal yang menyenangkan dijadikan dasar untuk menemukan antusiasme dan kecanduan siswa akan dunia sekolah. Apabila siswa dan guru menemukan fondasi mendidik yang menyenangkan, maka kasus-kasus patologi seperti bullying, kekerasan verbal, fisik, psikis, dan bahkan seksual, yang tingkat kekerasannya di Indonesia hampir dua kali lipat dari negara-negara lain berdasarkan survei OECD, dapat teratasi.
“MPLS Menyenangkan berfokus pada pendidikan memanusiakan di tahun ajaran baru. Kami berusaha untuk melawan kekerasan dan budaya feodalistik senioritas dan junioritas yang berdampak buruk pada kemampuan adaptasi, kemauan berliterasi, dan growth mindset siswa baru,” ungkapnya.
GSM mengajak seluruh sekolah di Indonesia untuk bersama-sama memulai perjalanan baru untuk mengentaskan permasalahan kekerasan dan budaya feodalistik di sekolah melalui kegiatan MPLS Menyenangkan.
“Kami ingin mengganti budaya baru dalam pendidikan dengan budaya meraki, yaitu melakukan sesuatu dengan sepenuh cinta dan jiwa. Guru-guru juga dapat menemukan makna meraki di dalam diri mereka. MPLS Menyenangkan juga berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar positif bagi guru dan siswa, dengan kegiatan yang membangun perasaan dan pengalaman menyenangkan setiap siswa dalam menemukan passion dan talenta mereka,” lanjut Rizal.
MPLS Menyenangkan memiliki 2M sebagai prinsip utama dan 3M sebagai prinsip pelaksanaan. 2M adalah Meraki dan Memanusiakan, sedangkan 3M adalah Mengenalkan dan Memaknai, Melibatkan seluruh pihak, serta Murah dan Menyenangkan.
Dalam praktiknya, kegiatan ini juga mengaitkan dengan metode PLAY, yaitu tradisi kuno yang dapat mengeluarkan emosi pro-sosial manusia yang berdampak positif pada ikatan persahabat atau pengasuhan manusia. Dalam metode PLAY terdapat ikatan, tantangan, dan saling memahami dalam menegakkan aturan permainan, sehingga tidak ada dominasi dan kesetaraan akan muncul. Metode ini juga pada akhirnya akan berintegrasi dengan prinsip Melibatkan untuk dapat mengajak teman lain ikut bermain dalam kesepakatan yang dibangun bersama.
Prinsip Memaknai bertujuan agar siswa memiliki kemampuan berefleksi, berkontemplasi, dan berinspeksi diri. Hal ini dapat melatih kesadaran diri untuk mengenali pikiran kita, dan bagaimana cara mengendalikan diri. Selain itu, prinsip Mengenali dalam MPLS Menyenangkan bertujuan untuk mengenali apa yang ada di dalam diri dan luar diri kita.
Pada akhirnya, siswa akan mengenali kelemahan dan kekuatan dalam diri mereka. Minat dan bakat juga akan muncul sebagai upaya untuk menemukan tujuan moral hidup manusia yang berujung pada penemuan versi terbaik dirinya. MPLS Menyenangkan dipersiapkan untuk menjadi obat massal untuk pendidikan.
“Sering kali permasalahan seperti kenakalan remaja tidak dianggap sebagai permasalahan pendidikan. Upaya untuk mengubah budaya lebih sering terfokus pada kurikulum, akademik, dan hal-hal pembelajaran. Namun, untuk menghilangkan kekerasan dalam sekolah dan menciptakan pendidikan memanusiakan, dibutuhkan obat massal yang diberikan kepada pendidikan, yaitu dengan menanamkan budaya meraki di tahun ajaran baru,” ucap Novi Poespita Candra sebagai Co-Founder GSM.
Saat ini, sebanyak 1300 lebih sekolah di seluruh jenjang pendidikan di seluruh wilayah Indonesia seperti Aceh, Riau, Cirebon, Pekalongan, dan Katingan terlibat dalam MPLS Menyenangkan. Keterlibatan tidak hanya berasal dari komunitas GSM melainkan 45% dari 100% berasal dari luar komunitas GSM.
“Hal yang unik adalah MPLS ini juga menjadi sarana bagi guru-guru dari sekolah yang terlibat nantinya untuk berkolaborasi dalam menyiapkan dan menerapkan MPLS Menyenangkan. Kolaborasi dilakukan secara lintas jenjang dan lintas daerah yang akan menciptakan jejaring ide, jejaring pengalaman, serta praktik agar semakin meluas. Sehingga, tidak perlu melaksanakan pelatihan khusus untuk guru karena akan berdampak pada kualitas guru secara tidak langsung dengan menyelenggarakan program massal. Ini menjadi wadah bagi guru untuk menjadi pelaku utama yang mengajar murid, orang tua, dan masyarakat dalam menciptakan budaya baru sekolah,” jelas Rizal. (*)