Sungai Gajah Wong Kini Bersih dan Asri

Sungai Gajah Wong Kini Bersih dan Asri

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Menikmati sore hari di tepian Sungai Gajah Wong yang bersih dan asri terasa menyenangkan. Suara riak air meluncur dari Bendung Lepen berbaur dengan suara riuh anak-anak bermain. Beberapa di antara mereka sibuk berkejaran di konblok motif segi enam tersusun rapi pada bentangan play ground sepanjang saluran irigasi. Sebagian lainnya memilih memancing ikan-ikan pada sebuah kolam.

Beberapa pedagang mulai menggelar barang jualannya, ada yang hanya beralas tikar, namun ada pula yang ditempatkan pada sepeda kayuh agar bisa leluasa bergerak mencari tempat terbaik atau agar dengan mudah menghampiri pembeli.

Bagi kelompok-kelompok swadaya masyarakat, mereka memiliki bangunan khusus semi permanen laiknya restoran mini atau kafe. Semua menjajakan kuliner dan produk UMKM masyarakat sekitar.

Selain tersedia ruang bermain yang cukup luas bagi anak-anak, di tempat ini juga tersedia bangunan Joglo bagi komunitas dan kelompok masyarakat yang akan bersua.

“Setiap sore ramai, apalagi saat malam libur. Pokoknya gayeng terus sejak PPKM dilonggarkan,” kata Sugiyono salah seorang relawan kebersihan seraya menjejal-jejalkan dedaunan pada bak sampah yang tersedia di Bendung Lepen Kampung Mrican Giwangan Yogyakarta, Kamis (25/11/2021).

Semua keindahan yang dinikmati saat ini tak bisa lepas dari peran penduduk sekitar bantaran Sungai Gajah Wong yang terbentang dari Pakem Binangun Sleman hingga muara Sungai Opak di Bantul.

Salah satunya adalah Purbudi Wahyuni. Sebagai penduduk asli yang sejak lahir bermukim di pinggir Sungai Gajah Wong, Purbudi memiliki keterikatan batin yang kuat terhadap aliran sungai sepanjang 22,81 kilometer ini. Periode bermain masa kecilnya tak bisa jauh dari sungai. Sungai ini adalah tempat dia dan teman-teman sebayanya berekspresi. Mulai dari mandi, hingga mencari ikan untuk dibawa pulang.

“Bapak saya itu sampai membuatkan baju semacam wearpack gitu. Karena kebiasaan main sama anak cowok dan mandi di sungai. Baju itu sampai kering di badan," terangnya saat ditemui di kediamannya di pinggir Bendung Lepen Sungai Gajah Wong Kampung Mrican Giwangan.

Setelah menikah perempuan ini meninggalkan rumah keluarga yang terletak di pinggir sungai tersebut. Kenangan indah bermain di sungai sedikit terlupakan oleh kesibukan. Hingga suatu saat eyang putrinya meminta Purbudi kembali ke kampung Mrican.

Sempat bertanya-tanya kenapa dirinya yang disuruh ke sini, padahal cucunya banyak. “Saat itu saya kaget di depan rumah ini yang tadi yang bagus jadi tempat pembuangan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun-red). Tiba-tiba sungainya sudah berbakteri ecoli dengan tingkat kotor yang tinggi. Bahkan Sungai Gajah Wong tertinggi,” ungkapnya.

Purbudi melanjutkan, pada awal 2000-an kawasan yang indah tersebut adalah tempat pembuangan sampah. Baunya tercium hingga ratusan meter. “Sedih kalau sudah jam 9 malam baunya lebih menusuk-nusuk. Waktu itu, tangkapan ikan di sungai ini tidak bisa langsung dikonsumsi. Perlu dipelihara di air bersih selama berminggu-minggu agar kontaminasi bau hilang dari ikan, itu pun sangat sulit,” jelasnya.

Rasa minyak tanah

Terkadang masih tertinggal aroma bau yang menyengat walau sudah lama dipisahkan di air bersih. “Rasa ikannya pun tidak enak, seperti digoreng dengan minyak tanah," kata perempuan yang juga dosen aktif di sebuah universitas di Yogyakarta ini.

Sejak 2012 dia bergerak bersama warga dan komunitas yang peduli terhadap sungai. Sejak itulah perubahan signifikan terjadi sepanjang sungai Gajah Wong. Ikan yang sebelumnya tidak layak dikonsumsi, saat ini tumbuh sehat dan layak.

Pada beberapa titik dipelihara jenis ikan yang mudah perawatannya. Selain untuk memperindah kawasan sungai dan untuk konsumsi, ikan-ikan ini pula bisa menjadi indikator kebersihan sungai.

“Ikannya juga ikan yang nggak usah susah-susah perawatannya, sesuai dengan lingkungannya dan juga gampang dibudidayakan. Menarik ketika ikan ini juga menjadi fungsi ekonomi tapi juga kontrol. Jika terjadi sesuatu terhadap ikan ini, misal tidak bisa tumbuh dengan normal atau bahkan sampai mengapung mati, pasti ada perilaku masyarakat yang melanggar (pencemaran)," jelasnya.

Walau usia sudah tidak lagi muda, Purbudi masih gesit dan lincah, nyemplung ke sungai adalah hal yang biasa baginya, ide-idenya mengalir sederas air, saat menceritakan kegiatannya bersama kelompok ibu-ibu dan warga sekitar kampung Mrican, Apalagi saat membicarakan sungai Gajah Wong yang mengalir deras di depan rumahnya.

“Ingin menjadikan Gajah Wong sebagai integrated ecotourism adalah pekerjaan yang tidak mudah. Beruntung saya didukung oleh orang-orang hebat yang begitu mencintai sungai seperti halnya saya. Beberapa di antaranya adalah teman bermain saya di sungai semasa kecil. Orang-orang ini bekerja tanpa lelah dan tanpa menunggu perintah,” ujarnya.

Saat ini Purbudi dan Asosiasi Komunitas Sungai Yogyakarta (AKSY) serta Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai (FORSIDAS) Gajah Wong, sedang mengembangkan ekologi kawasan sungai tersebut. Sebuah monokultur berbasis mitigasi yang tumbuhan sekitar akan disesuaikan dengan toponim di daerah tersebut. Purbudi mencontohkan Daerah Karangmiri bisa ditanami pohon Kemiri dan daerah Papringan ditanami pring (bambu).

Ecotourism itu ketika menjadi suatu kawasan monokultur bisa dikembangkan menjadi berbagai hal. Konsepnya jelas sebuah mitigasi bencana, tetapi juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, salah satunya itu monokultur yang sudah ada. Alhamdulillah semakin berkembang saat ini salah satunya yaitu kelengkeng yang sudah panen beberapa kali," lanjutnya.

Air sumur

Selama pandemi sebagian orang memang kehilangan pekerjaan, tapi sungai ternyata menjadi salah satu solusi. Ketika masyarakat peduli terhadap sungai di kawasannya itu bisa dimanfaatkan tidak hanya untuk satu sisi. Ketika irigasi itu dioptimalkan oleh warga dengan irigasi bersih berarti kualitas airnya semakin bagus. Sumur warga yang sebelumnya terkontaminasi logam juga sudah bersih.

“Sudah banyak riset menunjukkan bahwa ketika air sumur sudah terkontaminasi bakteri atau bahkan logam berat, anak-anak kita, generasi mendatang sangat nyata mengalami keterbelakangan, stunting dan banyak lagi. Juga bagi petani, manfaatnya luar biasa, yang tadinya sampah itu hanyut bisa menyebabkan gagal panen, mereka juga kena imbas gatal-gatal saat turun ke sawah," terang Purbudi.

Memang tidak mudah, Purbudi melanjutkan, perjalanan panjang ini sudah kelihatan hasilnya. Itu buah kesabaran-kesabaran, kebersamaan dan saling legawa. Sejak deklarasi forum pada 2012 pihaknya terus mengkondisikan dan terus sosialisasi ke masyarakat. Tapi di sisi lain pemerintah juga.

“Waktu deklarasi Sultan hadir, Bismillah dari situ kami semua belajar beneran, dari 2012 kemudian kita berkembang ke 2015 dipercaya mulai pembangunan kawasan ini. Sempat pada 2017 menjadi juara nasional,” lanjut Purbudi yang juga dipercaya menjadi Ketua Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai (FORSIDAS) Gajah Wong Yogyakarta.

Komunitas Pengelolaan Gajah Wong adalah yang paling bungsu dari komunitas sungai lain di Yogyakarta. Awalnya 36 anggota yang kini komunitasnya dipercaya oleh dinas terkait. Dalam kepercayaan ini pula dia dan komunitasnya ingin agar sungai ini menjadi semacam kementerian tersendiri, sebagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Sungai adalah sesuatu yang yang tidak boleh diremehkan, sungai-sungai kita itu besar dan banyak. Tetapi sangat disayangkan beberapa sungai airnya sudah tidak layak untuk konsumsi karena bakteri ecolinya tinggi,” terangnya.

“Kami merasakan betul memang sulit, tetapi pada akhirnya apresiasi saya kepada masyarakat sangat luar biasa. Mereka dengan ikhlas mundur sejauh empat meter dari bibir sungai. Bahkan ada bangunan dua lantai  permanen yang ikhlas dikepras untuk itu,” sambungnya.

Sebagai upaya mitigasi, empat meter adalah ruang yang cukup untuk mengevakuasi warga jika sungai meluap. Selain itu, jika terjadi kebakaran pun mobil pemadam tidak kesulitan masuk. Semua mitigasi bencana ini atas kemauan sendiri. Tidak ada anggaran khusus untuk mengelola ini. Orientasinya adalah memperoleh manfaat bukan duit.

“Banjir memang pasti terjadi, tetapi paling tidak kita sudah bisa meminimalisir kerugian. Luapan air saat hujan deras bisa kami pantau secara terpadu dengan ratusan relawan yang tersebar di 77 titik sepanjang sungai Gajah Wong," ujarnya.

Begitu juga oknum masyarakat yang belum sepenuhnya sadar akan pentingnya tidak membuang sampah di sungai. Ada juga mereka yang terus menerus menebangi pohon-pohon yang sengaja ditanam sepanjang Gajah Wong. “Nggak apa-apa, kami edukasi. kami tanami lagi dan lagi," tandasnya. (*)