Serangan terhadap Wiranto Timbulkan Efek Berlapis

Serangan terhadap Wiranto Timbulkan Efek Berlapis

KORANBERNAS.ID – Direktur Eksekutif SETARA Insitute, Ismail Hasani, berpendapat serangan terhadap Menko Polhukam, Wiranto, harus dibaca sebagai serangan terhadap negara. Selain menimbulkan efek berlapis, juga memperpanjang usia keresahan di tengah masyarakat.

“Oleh karena itu, aparat keamanan mesti meningkatkan kewaspadaan dengan mengantisipasi konsolidasi sel-sel tidur dan aksi teror yang memanfaatkan berbagai momentum politik nasional,” ujarnya, Jumat (11/10/2019).

Namun demikian, antisipasi ini dilakukan dengan tidak melakukan generalisasi termasuk penggunaan isu intoleransi dan radikalisme sebagai alat penundukkan gerakan sipil yang melakukan koreksi atas sejumlah kekeliruan kebijakan sejumlah elemen negara.

Menurut dia, terorisme merupakan ancaman nyata. Pemerintah harus selalu menyiagakan dan memobilisasi sumber daya yang memadai untuk mencegah dan menangani ekspresi puncak ekstremisme kekerasan tersebut, demi menjaga dan melindungi keselamatan seluruh warga negara.

“Pencegahan terorisme menuntut pemerintah harus memiliki formula yang presisi, holistik dan berkelanjutan dalam kerangka HAM dan demokrasi,” ungkap Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Dia menambahkan, pemerintah harus fokus pada hulu terorisme dan mempersempit enabling environment yang mempercepat inkubasi terorisme.

“Terorisme dan segala bentuk ekstremisme kekerasan merupakan musuh bersama seluruh bangsa dan umat manusia,” tambahnya.

Pencegahan dan penanganannya tidak cukup mengandalkan kelembagaan dan sumber daya negara. Negara memang harus menjadi agensi utama dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Akan tetapi dibutuhkan pula partisipasi dan keterlibatan warga, khususnya dalam pencegahannya, sehingga akan terbangun perlawanan semesta terhadap terorisme.

Agenda penguatan ketahanan warga (resilience) adalah kebutuhan untuk membentengi warga dari paparan dan intrusi gerakan dan narasi antikebinekaan dan Pancasila.

Dalam konteks itu, Ismail menyatakan, pendidikan Kebhinnekaan dan tata kelola yang inklusif harus digalakkan.

Agenda  kolektif

Ini dimaksudan supaya seluruh anak bangsa dapat hidup bersama secara damai di tengah aneka perbedaan. Di samping itu, promosi toleransi mesti menjadi agenda kolektif yang berkelanjutan.

Ismail sepakat, merebaknya intoleransi dan radikalisme harus ditangani sejak dini. “SETARA Institute mengingatkan kembali bahwa intoleransi merupakan anak tangga pertama menuju terorisme,” tegasnya.

Seperti diberitakan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia, Wiranto, menjadi korban penusukan, Kamis (10/10/2019). Pelakunya berinisial SA alias Abu Rara beserta istrinya, FA.

Kepolisian RI dan Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut Abu Rara merupakan anggota Jamaah Ansharu Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS. Abu Rara merupakan jaringan Abu Zee yang ditangkap oleh Polisi di Bekasi 23 September 2019.

Pola organisasi dan pendekatan amaliah JAD bentukan Aman Abdurrahman, yang divonis mati untuk sejumlah kasus terorisme pada 22 Juni 2018 memang berbeda dari organisasi terorisme lainnya yang melakukan aksi dalam skala besar.

Jejaring organisasi JAD sangat cair dengan sleeping cell (sel tidur) tidak terstruktur tetapi menyebar dan mengadopsi pendekatan lone wolf (bergerak secara sendiri-sendiri) dalam melakukan amaliah.

Gerakan sporadis dan sendiri-sendiri dilakukan oleh anggota JAD yang meskipun tindakan kecil tetapi memelihara efek keresahan berkepanjangan.

“SETARA Institute mengutuk segala bentuk terorisme dan ekstremisme kekerasan (violent extremism) serta penggunaan doktrin ideologis apapun untuk mengganggu dan merusak tatanan hidup bersama bangsa dan negara,” kata dia. (sol)