Seperti Ini Pergelaran Wayang Kala Pandemi

Seperti Ini Pergelaran Wayang Kala Pandemi

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Pandemi Covid-19 memaksa jagad pewayangan untuk menyesuaikan diri dengan situasi. Setidaknya, hal ini terlihat takala berlangsung pergelaran wayang kulit di Ndalem Yudonegaran, Jalan Ibu Ruswo, Yogyakarta, Selasa (10/11/2020) malam.

Sebelum memasuki pendapa dan membubuhkan tanda tangannya di lembaran buku tamu, tamu undangan terlebih dahulu mengikuti protokol kesehatan yakni mencuci tangan dengan sabun atau menggunakan hand sanitizer serta memakai masker.

Kursi pun ditata berjarak sehingga tidak berkerumum. Jumlah penonton dibatasi. Mereka yang tidak bisa datang langsung ke tempat pertunjukan, masih bisa menyaksikan melalui tayangan live streaming YouTube channel DarJo.

Pergelaran wayang kulit Diponegoro kali ini diadakan untuk memperingati Hari Pahlawan & Milad Pangeran Diponegoro ke-235 (11 November 1785-2020). Ada pun penyelenggaranya Putra Padi (Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro), Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) Korwil Daerah Istimewa Yogyakarta serta Ndalem Yudaningrat.

Sebelum membawakan lakon Sang Kusuma Bangsa, dalang Ki Catur Kuncoro secara simbolis menerima tokoh wayang dari Ketua IKPNI Korwil DIY, GBPH Prabukusumo, didampingi GBPH Yudaningrat serta Danrem 072/Pamungkas, Brigjen TNI Ibnu Bintang Setiawan. Acara diawali menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan doa bersama dipimpin Ustad Salim A Fillah.

Rahardi Saptata Abra selaku ketua panitia kepada wartawan di sela-sela acara menyampaikan, format pergelaran dibatasi hingga pukul 23:00 WIB. “Durasi pementasan tiga jam, sampai pukul 23:00 sesuai anjuran pemerintah, protokol Covid-19,” ungkapnya.

Adapun Sang Kusuma Bangsa merupakan lakon baru yang diambil dari Babad Diponegoro, berisi gambaran cerita babak-babak akhir perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda.

Berdasarkan catatan sejarah, Belanda tidak mampu mengalahkan perlawanan Pangeran Diponegoro dan pasukannya pada perang yang berlangsung lima tahun (1825-1830) hingga membuat penjajah bangkrut.

Abra menambahkan, pada babak akhir perjuangan Diponegoro, Jenderal De Kock membuat strategi melemahkan perjuangan Diponegoro dengan cara Sultan HB II jumeneng sampai tiga kali. Belanda punya maksud para pangeran atau sentana yang mengikuti perjuangan Pangeran Diponegoro bersedia kembali ke keraton. “Tetapi kenyataannya Sultan HB II tetap mendukung perjuangan Diponegoro,” kata Abra.

Lakon Sang Kusuma Bangsa juga menggambarkan secara detail penangkapan Diponegoro di Magelang. Jenderal De Kock licik dan berkhianat, berpura-pura mengajak berunding tetapi justru melakukan penangkapan.

“Di dalam Babad Diponegoro ditulis, sebenarnya Pangeran Diponegoro dengan satu gerakan saja bisa membunuh Jenderal De Kock tetapi tidak dilakukan karena ini akan menjadikan cacat seumur hidupnya,” ungkap Abra.

Selanjutnya Diponegoro dibawa ke Ungaran, Batavia, Manado. “Di Manado itu beliau menulis Babad Diponegoro. Tiga tahun di Manado kemudian ke Makassar,” jelasnya.

Abra menambahkan, saat ini Patra Padi memiliki satu set wayang kulit Diponegoro. Jumlahnya sekitar 60 wayang dan bisa diwayangkan untuk lakon cerita dari Babad Diponegoro.

Wayang Diponegoro tergolong unik dan khusus. Tokoh-tokohnya berbeda. Pangeran Diponegoro digambarkan memakai surban putih, Sultan HB II memakai mahkota, kemudian Sentot Prawirodirjo mengenakan busana Jawa menunjukkan sosok panglima perang.

Sejak dibuat 2017, Wayang Diponegoro dipentaskan di sejumlah tempat. Malam itu merupakan pentas ke-14. “Babad Diponegoro ini mendapat penghargaan dari UNESCO sebagai memory of the world, warisan ingatan dunia,” kata Abra.

Ketua Patra Padi, Ki Roni Sadewa, menambahkan meski sudah dipentaskan di berbagai tempat pihaknya ingin wayang tersebut bisa singgah pentas di Kampus Universitas Diponegoro (Undip) maupun Kodam IV Diponegoro. Dua institusi besar yang menyandang nama Diponegoro itu belum pernah digunakan untuk pementasan wayang ini.

Harapan serupa disampaikan GBPH Prabukusumo. Selaku Ketua IPKNI Korwil DIY dia mengatakan Pangeran Diponegoro dan pahlawan yang lain menginspirasi generasi muda untuk membangkitkan jiwa nasionalisme Indonesia.

Harapannya, generasi muda nusantara betul-betul bisa saling mengerti, memahami, menghormati dan menghargai sesama suku, agama, ras, adat istiadat dan tradisi budaya.

“Allah SWT menciptakan keberagaman bangsa kita pasti dengan tujuan sangat mulia. Kita harus bisa menikmati ciptaan illahi indahnya keberagaman,” tuturnya.

Gusti Prabu menambahkan, hal itu juga tercermin dari gelar Sultan Keraton Yogyakarta. “Gelar yang panjang ini saya ambil dua kata saja, pertama Kalifatullah. Karena Keraton Yogyakarta itu kerajaan Islam sehingga seorang Sultan dan keluarga Sultan wajib untuk syiar Islam,” ungkapnya.

Kedua, pada gelar Sultan terdapat Sayidin Panatagama, artinya seorang pemimpin laki-laki Islam yang menata agama. “Kenapa agama harus ditata, karena semua agama adalah ciptaan Allah. Kalau ada orang menjelek-jelekkan agama yang lain atau orang yang beragama lain, itu artinya menghina Allah,” kata dia.

Menurut Gusti Prabu, seseorang tidak bisa memilih lahir dari rahim mana dia dilahirkan. “Mau lahir di keluarga muslim, kristiani, Budha, Hindu, aliran kepercayaan, nggak bisa memilih. Allah itu Maha Mulia, menciptakan kita dan kita tidak bisa memilih,” tambahnya.

Dia sepakat, para pahlawan yang berjuang untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tanpa memandang latar belakang apa pun, sosial, politik, budaya maupun agama, harus dijadikan panutan bagi generasi muda saat ini.

“Dengan memperingati Hari Pahlawan kami berharap generasi muda betul-betul mengingat jiwa nusantara dan jiwa Indonesia. Inilah kekuatan kita. Kita harus bangkit,” ujar Gusti Prabu yang juga Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) DIY ini. (*)