Selamat Datang, Prabowo - Gibran
Hampir pasti, kalau MK tidak menganulir UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, terutama syarat batasan umur calon presiden dan calon wakil presiden, hiruk pikuk akan mereda. Sebaliknya, bila MK menganulir dan batasan usia minimal tidak 40 tahun, maka implikasi keputusan itu boleh jadi akan panjang. Benarkah bahwa usia matang sebagai pemimpin minimal adalah 40 tahun? Kalau melihat sejarah di benua lain, asumsi itu tidak berlaku. Gabriel Boric, menjadi Presiden Chile pada usia 35 tahun. Bahkan rekor presiden termuda dipegang oleh Giacomo Simoncini yang menjadi Presiden Republik San Marino di benua Eropa pada usia 26 tahun. Sanna Marin, tampil sebagai Perdana Menteri Finlandia pada usia 34 tahun pada 2019. Sedang Jacinda Ardern menjadi Perdana Menteri Selandia Baru pada usia 37 tahun.
HIRUK-pikuk Pemilu 2024 agaknya bakal mencapai salah satu titik kritisnya hari ini. Apalagi kalau bukan peristiwa yang akan terjadi di Mahkamah Konstitusi, Senin, 16 Oktober 2023. Peristiwa ini ditunggu banyak politisi dan para pendukung Bacapres maupun Bacawapres. Bahkan juga para bobotoh.
Banyak orang menduga, termasuk para pengamat, bahwa pembacaan Keputusan Mahkamah Konstitusi menyangkut sejumlah permohonan judicial review terhadap UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Titik yang dipersoalkan adalah batasan usia bagi Bacapres maupun Bacawapres, yang dalam UU tersebut ditentukan minimal 40 tahun.
Secara umum orang sudah paham, bahwa permohonan judicial review yang sekarang sedang dipergunjingkan adalah soal kesempatan putra Presiden Joko Widodo, Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk tampil sebagai Bacawapres. Bila batasan minimal 40 tahun tidak dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, peluang Gibran akan hilang. Sebaliknya, bila MK mengambil keputusan, yang lazimnya berbunyi “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”, maka kesempatan Gibran Rakabuming Raka tampil di panggung politik nasional akan terbuka lebar.
Di berbagai media sosial, banyak warganet yang berkomentar. Ada yang bercuit, MK bukan lagi kependekan dari Mahkamah Konstitusi; tetapi kependekan dari “Mahkamah Keluarga”. Penyebabnya, Ketua MK Anwar Usman, adalah adik ipar Presiden Joko Widodo, atau paman Gibran. Mereka yang mengamini plesetan kepanjangan MK merasa pesimis, bahwa MK tidak akan mengabulkan permohonan mereka yang berjuang membuka jalan bagi Gibran.
Hampir pasti, kalau MK tidak menganulir UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, terutama syarat batasan umur calon presiden dan calon wakil presiden, hiruk pikuk akan mereda. Sebaliknya, bila MK menganulir dan batasan usia minimal tidak 40 tahun, maka implikasi keputusan itu boleh jadi akan panjang.
Benarkah bahwa usia matang sebagai pemimpin minimal adalah 40 tahun? Kalau melihat sejarah di benua lain, asumsi itu tidak berlaku.
Gabriel Boric, menjadi Presiden Chile pada usia 35 tahun. Bahkan rekor presiden termuda dipegang oleh Giacomo Simoncini yang menjadi Presiden Republik San Marino di benua Eropa pada usia 26 tahun. Sanna Marin, tampil sebagai Perdana Menteri Finlandia pada usia 34 tahun pada 2019. Sedang Jacinda Ardern menjadi Perdana Menteri Selandia Baru pada usia 37 tahun.
Bacapres Prabowo Subianto, yang diajukan Koalisi Indonesia Maju, sudah beberapa kali memberikan isyarat bahwa ia ingin menggandeng putra Presiden Joko Widodo sebagai bakal calon wakil presiden. Apalagi, relawan Projo (Pro Jokowi), sudah terang-terangan – dan sudah barang tentu telah mendapat restu Jokowi – memberikan dukungan kepada Prabowo.
Putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang tampil ke panggung politik dan langsung menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) seperti menjadi amunisi tambahan bagi Gibran untuk naik panggung sebagai Bacawapres Prabowo Subianto.
Dalam Pemilu 2024, faktor Jokowi agaknya menjadi kekuatan politik penentu dalam proses pergantian kepemimpinan nasional. Jokowi memang tampil ke panggung politik meniti kendaraan PDI-P, sejak dari Walikota Surakarta, Gubernur DKI sampai menjadi Presiden RI dua periode. Namun dalam berbagai kesempatan berpidato, secara tersirat Jokowi memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto untuk melanjutkan program-programnya. Prabowo pun, mengubah nama koalisi dari “Kebangkitan Indonesia Raya” menjadi Koalisi Indonesia Maju, sebelum resmi ditinggalkan PKB yang memilih tawaran Partai Nasdem, dengan menempatkan Muhaimin Iskandar sebagai Bacawapres Anies Baswedan. Koalisi Indonesia Maju, seakan menjadi konfirmasi, bahwa Prabowo Subianto telah “menandatangani kontrak” untuk melanjutkan program-program Jokowi.
Arah haluan Jokowi yang putra sulungnya sangat berpeluang menjadi Cawapres Prabowo, bagaimana pun, telah mencederai PDI Perjuangan yang sudah menyediakan kendaraan politik bagi Jokowi dan Gibran. Dan ini tentu membawa konsekuensi bagi Jokowi dan Gibran. Boleh jadi, mereka berdua akan diberhentikan sebagai kader partai banteng moncong putih.
Capres Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo seperti berpacu dengan waktu memperebutkan Gibran Rakabuming Raka.
Beberapa waktu lalu, dua kubu ini sangat mempertimbangkan potensi pemilih di Provinsi Jawa Timur, dengan menimbang-nimbang Bacawapres berlatar belakang NU. Bila Prabowo Subianto memutuskan Gibran sebagai Bacawapres, apakah bermakna Koalisi Indonesia Maju tidak lagi mempertimbangan ceruk suara Jawa Timur? Atau nama Gibran cukup menjadi magnet untuk menarik suara kaum milenial yang potensinya lebih besar dari ceruk suara Jawa Timur? **