Demokrasi

Demokrasi

PERTEMUAN dua tokoh bangsa, Joko Widodo dengan Prabowo Subianto pada Sabtu, 13 Juli 2019 di Stasiun MRT (Moda Raya Terpadu – terjemahan dari Mass Rapid Transit) Lebak Bulus, di dalam kereta hingga ke restoran Sate Senayan, suka atau tidak menimbulkan banyak pertanyaan dan spekulasi. Benarkah telah terjadi rekonsiliasi? Adakah konsesi dari pertemuan yang sudah sangat dinantikan oleh Presiden sekaligus Capres terpilih Joko Widodo? Mengapa Prabowo tidak berjuang tuntas mencari keadilan atas perolehan suara pilpres yang diyakini para pendukungnya banyak dicurangi? Ada apa tiba-tiba Prabowo menjadi lembek? Apakah pertemuan itu bermakna sebagai sebuah legitimasi atas kemenangan Jokowi yang diraih dengan segala cara? Mengapa pertemuan tidak berlangsung di istana?

Di dunia media sosial, berbagai reaksi bermunculan. Ada yang mengapresiasi sikap kenegarawanan Prabowo, ada yang mengecam tindakan sang jenderal karena dianggap meninggalkan rakyat pendukungnya yang tidak pernah rela suara mereka dicuri dan ada pula yang apatis. Tidak sedikit relawan Prabowo yang kecewa kemudian memilih keluar dari grup-grup media sosial relawan. Ada pula yang mencoba menganalisis dan berpikir jernih, permainan apa yang kemudian akan muncul di panggung politik nasional?

Bagaimanapun, pertemuan di MRT sangat berarti bagi Presiden Joko Widodo yang sejak menyatakan kemenangan secara implisit pasca proses hitung cepat pilpres 17 April lalu, sangat ingin segera bertemu Prabowo. Berbagai cara dilakukan agar pertemuan bisa berlangsung. Bukan hanya sekali dua kali Jokowi mengutus orang khusus untuk menemui Prabowo agar ia bisa bertemu. Penantian hampir tiga bulan itu akhirnya berbuah. Sekalipun pertemuan tidak berlangsung secara khusus di istana kepresidenan, tetapi di tempat umum, tetapi pertemuan itu menjadi semacam penguat legitimasi bagi seorang Jokowi untuk melanjutkan kekuasaannya lima tahun ke depan. Dan, pidato visi Indonesia yang digelar Minggu, 14 Juli 2019 oleh Jokowi, semakin terasa indah bagi sang petahana.

***

PRABOWO, dalam berkomunikasi dengan pendukungnya, langsung atau tidak langsung menyiratkan sikap, bahwa baginya keutuhan bangsa dan NKRI lebih utama daripada apapun. Setidaknya, pernyataan itu disampaikan melalui surat kepada sesepuh PAN Amien Rais, sehari sebelum pertemuan. Kepada Presiden PKS, Prabowo juga juga menyampaikan hal senada. Di samping itu, Prabowo menegaskan spirit perjuangan menegakkan Indonesia adil, makmur, berdaulat, dan mandiri tetap menjadi pegangan.

Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, Prabowo menegaskan tidak akan menyerah dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Itulah sebabnya, ia membawa persoalan pilpres kepada Mahkamah Konstitusi. Bahkan juga ke Mahkamah Internasional.

Perjuangan melalui jalur MK sudah berakhir. Seperti sudah banyak diduga sebelumnya, perjuangan ke MK pasti akan kandas. Tak akan berbuah apapun. Persidangan yang dapat disaksikan secara langsung melalui siaran televisi, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menilai sendiri. Tentu, kalau kemudian pendapat rakyat tidak sejalan dengan sikap hakim konstitusi yang berwenang memutus perkara, rakyat tidak dapat didikte untuk bersepakat dengan MK, apalagi bagi mereka yang mengalami peristiwa kecurangan secara langsung di tempat mereka berada. Mereka menghormati putusan MK sebagai sebuah kepastian yang mengikat dan tidak dapat dilawan, tetapi juga menjadi hak setiap warga negara untuk mempercayai sesuatu yang mereka yakini kebenarannya.

Merujuk kepada fenomena yang muncul di masyarakat pasca pertemuan Stasiun MRT Lebak Bulus, polarisasi agaknya masih akan berlangsung di masyarakat. Sebagian relawan yang didukung kekuatan 212 bergeming pada sikap mereka. Bagi kelompok ini, perjuangan mencari keadilan dan menegakkan kebenaran tidak bakal surut ke belakang. Prabowo, tidak lagi dijadikan simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah yang berkuasa. Kelompok ini berpegang kepada keyakinan bahwa berjuang di jalan Allah, tidak boleh surut ke belakang. Mereka tidak bisa menerima hasil kecurangan yang diyakini telah terjadi.

Di tengah masyarakat, terhadap hasil pilpres sampai sekarang masih muncul dua istilah, presiden legal dan presiden legitimate. Satu pasangan calon presiden/wapres memenangi pemilihan secara legal dan satu yang lain, dianggap sebagai yang dipilih rakyat.

Pada titik ini, demokrasi yang bermakna kekuasaan oleh rakyat sedang menghadapi batu ujian. Polarisasi akan melemah dan menghilang, manakala pemerintah yang berkuasa mampu mewujudkan harapan rakyat, menyediakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. *** 


(Artikel ini juga dimuat Koran Bernas versi cetak edisi 20 Juli 2019)