Resmi, Tiga Warga Ini Minta Undang-undang Mahkamah Konstitusi Diuji dan Putusan Bermasalah Batal

Resmi, Tiga Warga Ini Minta Undang-undang Mahkamah Konstitusi Diuji dan Putusan Bermasalah Batal
Tiga warga dari berbagai latarbelakang mengajukan permohonan pengujian Pasal 10 dan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, JAKARTA—Tiga warga negara, secara resmi mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 10 dan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Mahkamah Konstitusi) terhadap Pasal 28D Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Mereka adalah Sugeng Nugroho aktivis nelayan, Teguh Prihandoko aktivis sosial kemasyarakatan, dan Azeem Marhendra Amedi, Sarjana Hukum Tata Negara yang sekarang sedang menyelesaikan studinya untuk Program Master of Law (LLM) di University of York UK. Ketiganya secara Bersama-sama mengajukan permohonan ini ke MK, Jumat (27/10/2023).

Dalam keterangannya ke media di Jakarta, ketiganya menyatakan bahwa sebagai warga negara yang cinta konsitusi, merasa memiliki kepentingan untuk mengawasi jalannya proses persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Warga, katanya, berhak atas putusan yang pasti dan seadil-adilnya secara hukum, bebas dari masalah yang mengancam independensi, imparsialitas, dan integritas Hakim Konstitusi pada saat pengambilan keputusan. Ini semua disebabkan Putusan Mahkamah akan mengikat secara umum (erga omnes) dan berpengaruh kepada seluruhan tatanan sistem hukum Indonesia.

Menurut Sugeng Nugroho, Putusan MK Nomor 90/ PUU –XXI/ 2023 patut diduga ada pelanggaran etik serta kejanggalan praktik yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa Hakim Konstitusi dalam rangkaian pengambilan keputusan pada perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, yang menunjukan pelanggaran terhadap prinsip independensi dan imparsialitas tersebut.

“Hal ini tentunya mencederai hak konstitusional Para Pemohon sebagai warga negara berhak atas keadilan dan kepastian hukum sesuai Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata Sugeng.

Terkait dengan amar putusan MK Nomor 90/ PUU–XXI/ 2023, yang menyimpulkan bahwa seakan-akan ada 5 (lima) orang hakim mengabulkan dan 4 (empat) orang hakim menolak permohonan batasan usia Capres dan Cawapres di bawah 40 tahun, Azeem Marhendra menyebutkan, merujuk pada definisi dari Legal Information Institute Cornell University, arti dari concurring reason harus dimaknai bahwa hakim yang menyampaikan concurring reason itu setuju (agree) terhadap mayoritas hakim yang lain. Yang dalam hal ini Hakim Saldi Isra, Hakim Areif Hidayat dan dua Hakim yang menolak permohonan lainnya, dan bukannya dianggap setuju dengan Hakim Anwar Usman dan dua orang Hakim lainnya yang mengabulkan.

“Penarikan kesimpulan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menganggap Concurring Opinion itu setuju pada hakim yang mengabulkan permohonan itu adalah kesesatan atau penyesatan penyimpulan,” tegas Azeem.

Sementara itu Teguh Prihandoko, yang juga Alumnus FE Unair menyatakan terdapat fakta yang tidak terbantahkan, bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi (Hakim Anwar Usman) memiliki hubungan keluarga besar dengan seseorang bernama Gibran Rakabuming Raka, yang setelah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut dibacakan kemudian diusulkan dan ditetapkan sebagai Calon Wakil Presiden dari partai dan kumpulan partai-partai yang diuntungkan dengan adanya Amar Putusan yang telah dibacakan.

“Hakim Anwar Usman itu track recordnya telah lama mengabdi di lingkungan Mahkamah Agung sebelum menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi. Tentunya dan seharusnya telah memahami etika  untuk mundur/ tidak terlibat dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan karena adanya Conflict of Interest. Dan bahkan dalam kedudukannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi harusnya memberikan keteladanan sebagai seorang yang dianggap negarawan, bukan sebaliknya melakukan perbuatan yang merongrong kewibawaan Mahkamah Konstitusi,” katanya.

Melihat situasi ini, para pemohon pada intinya meminta agar Mahkamah Konsitusi menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya, menyatakan ketentuan “berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” pada Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak dimaknai “berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sepanjang tidak terdapat pelanggaran yang mengancam imparsialitas Mahkamah.

Mereka juga menyatakan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan Hakim konstitusi yang mengadili dan memutus dalam sidang pleno sebagaimana dimaksud secara mutlak tidak memiliki potensi benturan kepentingan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan.

“Kami juga meminta MK menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/ PUU-XXI/2023 serta memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” lanjut Azeem.

Pada kesempatan Konperensi Pers di Gedung MK ini, Para Pemohon mengimbau dan mengajak semua Warga Negara Indonesia yang mencintai Pancasila dan Konstitusi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk turut serta mendukung dan mengawal Judicial Review dan bila perlu ikut menjadi Pemohon Judicial Review agar konstitusi tidak dijadikan mainan bagi kepentingan-kepentingan tertentu yang bersembunyi di balik ketentuan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.

“Padahal final dan mengikat itu harus melalui proses yang benar (tidak boleh sesat dalam penyimpulan) dan tidak boleh ada Conflict of Interest. Bila ada kesesatan dan atau Conflict of Interest dibiarkan maka itu sama saja mengkerdilkan/ mengingkari nilai luhur konstitusi,” pungkas Azeem dalam konperensi pers ini. (*)