Renungan Kala Hujan di Pagi Hari

Renungan Kala Hujan di Pagi Hari

KEBETULAN, Rabu (30/11/2022) pagi hari ini, hujan turun deras.Tampaknya merata. Kata orang bijak, hujan itu karunia Ilahi Robi. Artinya, hujan terjadi dan berlangsung, karena kehendak Sang Pencipta, Sang Pemilik, Sang Pengurus, dan Sang Pemelihara kehidupan.

Dalam perspektif keimanan, kehendak-Nya itu pasti baik. Baik untuk semua makhluk-makhluk-Nya. Kebaikan dimaksud, antara lain: tanah tandus menjadi subur. Tanaman tumbuh subur. Mampu berbuah lebat. Aneka hewan-ternak tercukupi kebutuhan makanannya (rerumputan). Kebutuhan air bagi manusia untuk minum, masak, mandi, bersih-bersih, dan berbagai kebutuhan lain terpenuhi. Pendek kata, hujan merupakan wujud nyata kasih-sayang, anugerah, karunia Ilahi Robbi, bagi semua makhluk di bumi. Melalui hujan, kehidupan menjadi berkah, semakin maju, semakin sejahtera.

Kilas balik, zaman old, sekitar tahun 1960-an. Saat itu, usiaku masih anak-anak. Ketika pagi hari hujan, berangkat ke sekolah, jalan kaki, nyeker (tanpa sandal/sepatu). Sabak (papan tulis-menulis) ditenteng di tangan. Grip (alat tulis) ditaruh di saku baju. Sebagai penutup kepala dan badan, digunakan daun pisang atau plastik. Payung, kala itu, belum punya, karena masih tergolong barang langka dan mahal. Dalam suasana gembira dan semangat belajar tinggi, hujan bukanlah halangan, melainkan tantangan. Segalanya dihadapi dengan sikap tegar dan wajar.

Pengalaman masa kecil itu saya coba ungkap kembali dan sharing ke teman-teman melalui WhatsApp. Ternyata disambut dengan senyuman. Masa perjuangan kala itu, terasa indah untuk dikenang. Kita bersyukur, segala kesulitan dapat diatasi dengan cara bijak, sikap sederhana, dan biaya murah-meriah, apa adanya.

Kini, di zaman now, kehidupan sudah sedemikian maju atau modern. Kemakmuran sudah meningkat. Hujan pagi hari, disikapi dengan cara berbeda. Sikap bijak dilakukan, melalui penyesuaian ketersediaan fasilitas. Terlihatlah, banyak motor dan mobil, hilir-mudik mengantar anak ke sekolah. Tak ada lagi cerita tentang basah-kuyup, kedinginan, ataupun mantol plastik, apalagi tudung (payung) daun pisang. Segalanya tergantikan dengan fasilitas mewah. Aktivitas terlayani dengan cepat. Tampaknya cukup hikmat.

Telah dipahami bersama, bahwa ada sebagian saudara kita, hingga saat ini masih hidup dalam suasana pedesaan, agraris, tradisional. Mereka masih hidup dan menjalani model kehidupan zaman old. Apa yang terurai sebagai kenangan masa kecil dulu, ternyata masih mereka alami hingga saat ini. Dalam wawasan nasional, fenomena sosial itu merupakan bukti bahwa pembangunan di negeri ini belum merata. Sedemikian banyak saudara kita, belum mendapatkan kue kemakmuran, sebagaimana saudaranya di kota-kota. Jurang ketimpangan kehidupan masih menganga cukup lebar. Dalam desah nafas panjang, kita doakan agar mereka tetap semangat, tabah, dan tegar.

Pada situasi khusus, hari-hari ini, sebagian saudara kita tertimpa bencana alam (gempa, banjir, tanah longsor, dan sebagainya). Korban-korban jiwa dan harta benda cukup banyak. Sebagian dari mereka masih tinggal di tenda-tenda penampungan, atau dalam rumah rusak, atau dalam rumah kepungan air banjir. Dapat dibayangkan, betapa mereka menderita. Lebih-lebih, ketika hujan mengguyur lagi. Dalam situasi nestapa demikian, curahan air hujan, bukanlah anugerah, karunia, ataupun kebaikan, melainkan penderitaan. Kebutuhan makan, minum, sandang, papan, diterima seadanya. Sesuai dengan bantuan sosial dari berbagai pihak. Pendek kata, turunnya hujan justru menambah penderitaan.

Dalam perspektif hukum alam, hujan (berikut bencana alam lainnya) sering dipandang sebagai fenomena alam. Prinsip utama hukum alam adalah universalitas, artinya berlaku untuk semesta, bagi siapa pun, kapanpun, dan di manapun. Pandangan ini ada benarnya, walaupun tidak seutuhnya. Diyakini, alam menjadi ada, dan berubah sedemikian rupa, tak lepas dari kuasa Ilahi Robbi.

Dalam perkembangannya, para filosof, membedakan hukum alam menjadi dua: yakni hukum alam sakral (bersumber pada Ilahi Robbi), dan hukum alam sekuler (bersumber semata-mata pada akal-pikiran manusia). Perbedaan pandangan demikian, berimbas pada sikap dan perilaku, dalam menghadapi fenomena alam, ataupun mengambil manfaat dari alam.

Gempa, hujan, banjir, tanah longsor, tsunami dan lain-lain, bagi penganut filsafat hukum alam sakral, dimaknai sebagai kehendak Ilahi Robbi. Bencana dihadirkan-Nya, ketika manusia telah banyak berbuat kerusakan di bumi. Perusakan itu, menurut Jared Diamond - profesor dari Universitas California, dalam buku Collapse - dilakukan melalui aktivitas-aktivitas di bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, dan non-lingkungan lainnya. Pelaku utamanya, para pengusaha. Mereka kong-kalingkong dengan penguasa, dan intelektual sekuler.

Mestinya, alam dijaga, dirawat, dan dimanfaatkan secara wajar dan bertanggung jawab. Kalaupun ada kebutuhan, silakan alam dimanfaatkan, dalam batas-batas proporsionalitas. Dengan bekal akal-pikirannya, manusia diharapkan berbenah, kembali bersahabat dengan alam.

Umat manusia diutus Allah SWT sebagai wakilnya (kalifah) di bumi. Diberi amanah dan tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? Dia berfirman, Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30).

Melalui dan di dalam alam semesta, Allah SWT memberikan berbagai fasilitas kepada manusia, sebagai bekal hidup. Setiap makhluk dijamin rezekinya. Sayang, karena tabiat keserakahannya, manusia lalai akan amanahnya. Banyak kerusakan diperbuatnya. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. ar-Rum: 41).

Aliran hukum alam sekuler, sebagai “anak kandung” filsafat antroposentrisme, memposisikan manusia sebagai pusat dari segalanya. Alam diperlakuan sebagai objek, seolah-olah benda mati. Alam dikuras semena-mena. Akibatnya, betapa banyak kerusakan alam dan lingkungan. Padahal, sejatinya, alam semesta dan seluruh isinya itu makhluk-makhluk hidup.

Di Indonesia, ada indikasi, investor-investor menggunakan filsafat antroposentrisme sebagai basis berpikir dan berperilaku. Investasi di bidang pertambangan, perkebunan, air minum alam kemasan, dan lain-lain, dilakukan tanpa kepedulian terhadap kerusakan masyarakat dan alam sekitarnya.

Kesesatan berpikir  dan berperilaku tersebut, perlu dikoreksi. Persahabatan dengan alam, tak kalah pentingnya dengan persahabatan antarsesama manusia. Sejak hujan di pagi hari, hingga cuaca terang kembali, persahabatan perlu dirawat sepanjang waktu. Kekancan sak lawase. Wallahu’alam. **

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM