Pro-Kontra Kencan Online

Pro-Kontra Kencan <i>Online</i>

PADA awal Januari 2022, muncul sebuah berita yang cukup menyita perhatian dunia dalam hal perjodohan. Muhammad Malik, seorang pria lajang (29) keturunan Pakistan, memasang baliho besar yang memuat foto dirinya, masing-masing di kota London dan Birmingham, Inggris. Pada baliho itu terbaca tulisan, ‘Save me from arranged married’. Selamatkan aku dari perkawinan paksa alias perkawinan yang direncakan orangtua. Pesan baliho inii menarik kita simak.

Gampang-gampang Susah

Pertanyaannya, apakah soal jodoh masih begitu sulit di tengah masyarakat digital? Mengapa Malik tidak menggunakan aplikasi kencan seperti Tantam, Mico, Bumble, dll, tapi memasang baliho dengan cakupan yang lebih terbatas? Dalam wawancara, pria itu mengaku bahwa, sebenarnya ia mempercayai campur tangan keluarga dalam memilih jodoh, tapi atas dukungan teman-temannya ia memutuskan untuk untuk memasang baliho.

Menurut Budaya Timur, perkara jodoh itu urusan keluarga besar. Ia bukan sekadar pilihan pribadi. Kriteria tradisional seperti bibit, bebet dan bobot dimaksudkan untuk menjaga marwah keluarga besar. Karena itu, ada suatu masa di mana usaha mencari dan mengenal pasangan dilakukan oleh orangtua. Fakta membuktikan, banyak pasangan yang gagal karena perkawinan paksa ini, namun tak sedikit pasangan hidup yang berhasil hidup bahagia dalam mahligai perkawinan karena intervensi keluarga. Pada era digital ini, jodoh adalah pilihan hati. Dengan bantuan aplikasi jodoh seperti Tinder, Ablo atau MeetMe, seorang pemuda Bulgaria bisa menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis Wonosari atau seorang gadis Timor bisa menikah dengan seorang pemuda Israel. Maka, pertanyaannya, apakah jodoh menjadi lebih mudah dan menjamin kebahagiaan pasangan pada era ini? Tunggu dulu.

Harus kita akui, bahwa hidup generasi millenial dan generasi Z sudah sedemikian terkondisi oleh teknologi. Proses digitalisasi telah mengintervensi seluruh aspek kehidupan manusia. Bahkan pandemi Covid-19 terbukti mengakselerasi aplikasi teknologi untuk bekerja, belajar dan berkencan.

Semua serba instan, termasuk urusan mencari jodoh. Padahal, sebagaimana kita ketahui, urusan yang satu ini tak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu untuk merasakan kecocokan kimiawi (chemistry fit) di antara kedua pasangan. Tak berlebihan, jika ada yang mengatakan, urusan jodoh itu mengandung misteri. Terkadang pasangan perlu melewati masa pasang surut perasaan. Kebimbangan dan kepastian datang silih berganti.

Jangan heran, setelah pasangan menjalin hubungan selama bertahun-tahun, acara naik ke pelaminan tak kunjung tiba. Hubungan tanpa status terkadang menjadi gunjingan tetangga. Sang ibu mengalami stres karena anak gadisnya tak kunjung ‘laku’. Ini berbeda di dunia Barat. Di sana, masa pacaran bisa berlangsung selama bertahun-tahun, sekalipun pasangan itu sudah tinggal serumah dan memiliki anak. Tak ada yang menggubris hidup mereka, selama mereka tak melanggar hukum. Pernikahan atau peresmian hubungan, baru datang setelah pasangan itu merasa memiliki kecocokan dan tak ingin berpisah lagi.

Bagaimanapun di hampir semua budaya, hidup melajang dianggap aib. Di negara Denmark, misalnya, pria yang masih melajang di usia 30, disirami bubuk lada. Jepang yang terkenal dengan tingkat perkawinan rendah, memiliki gerakan kumpul-kumpul, sambil minum dan karokean di kalangan muda-mudi. Itulah ajang pencarian jodoh. Jadi, pergaulan dan pertemuan fisik tetap penting dalam hal mencari jodoh.

Kencan Online tak Menjamin

Kencan online tidak menjamin kesuksesan dalam suatu hubungan yang sehat. Baahkan ada anggapan bahwa kencan online hanya untuk mereka yang putus asa. Lagi pula di kencan online orang cenderung berbohong tentang usia dan penampilan fisik. Terlepas dari anggapan miring tersebut, banyak kajian yang menunjukkan bahwa aplikasi kecan, tidak serta-merta memudahkan orang untuk mendapatkan jodoh. Dari berbagai sumber, penulis merangkum setidaknya ada 3 alasan mengapa jodoh tetap sulit di tengah maraknya aplikasi kencan online ini.

Pertama, takut komitmen. Tidak ada rumusan pasti mengenai kehidupan perkawinan yang sukses. Justru semakin banyak contoh perkawinan yang gagal karena berbagai alasan ekonomi, psikologi, bahkan komunikasi. Perkawinan yang awalnya dirayakan dengan meriah menghabiskan ratusan bahkan miliaran rupiah, perlahan berubah datar dan hambar. Semakin banyaknya contoh kegagalan dalam hidup perkawinan, menciutkan nyali pasangan potensial untuk melakukan komitmen. Bagaimanapun indahnya, sebuah perkawinan selalu mengandaikan komitmen jangka panjang yang dikeramatkan melalui ritual agama tertentu.

Kedua, standar yang semakin tinggi. Jika dulu, kriteria pasangan ditentukan oleh orangtua, kini pasangan memiliki kriteria sendiri-sendiri. Seorang sahabat penulis pernah bercerita, ketika berusia dua puluh lima tahun, dengan prospek karir yang bagus, wajah tampan, dan tubuh atletisnya, ia memiliki kriteria sendiri untuk pasangan hidupnya. Ketika itu, menurutnya, wanita yang mendampinginya harus seagama, harus cantik, tinggi semampai, berambut lurus, berkulit putih, cerdas, mandiri, dan harus bisa bermain piano. Nyatanya, setelah penulis bertemu dengannya 10 tahun kemudian, dia bercerita, sang istri tidak memenuhi semua kriterianya. Paling tidak, sang istri “tidak bisa bermain piano” ungkapnya. Nah, sejumlah kriteria seperti kesetiaan, kemandirian, daya juang, tentu sulit diketahui pada waktu berpacaran, apalagi secara online.

Ketiga, memiliki prioritas sendiri. Prinsip pembagian peran tradisional seperti pria harus keluar rumah untuk mencari nafkah dan wanita tinggal di rumah untuk urusan dapur, sumur dan kasur itu, kini sudah tidak lagi berlaku absolut. Peran tradisional pria dan wanita, bisa berganti. Semakin banyak kaum perempuan yang meniti karier dengan bekerja di luar rumah. Sebaliknya, semakin banyak pula pria tinggal di rumah untuk mengurusi anak-anak. Atau malah kedua-duanya mengambil risiko untuk sama-sama bekerja di luar rumah. Semua ini harus dipertimbangkan secara matang oleh kedua belah pihak. Jadi, jodoh bukan sekadar urusan emosional tetapi juga rasional. Pasangan perlu secara terbuka membahas perkara ini dengan mempertimbangkan prioritas masing-masing dan mencari jalan tengah. Dan itu tidak bisa hanya dengan komunikasi online.

Hemat penulis ketiga alasan di atas menjadi penyebab, mengapa Bloomberg melaporkan, meski kencan online marak di mana-mana, jumlah jomblo tetap meningkat di seluruh dunia. Sosiolog Michael Rosenfield (2018,231) yang melakukan penelitian di bidang kencan online mengatakan bahwa, ke depannya pertemuan langsung empat mata semakin dianggap melelahkan. Meski demikian, kencan online belum tentu efektif untuk menjamin komitmen.

Pro dan Kontra

Berdasarkan pembahasan di atas, kita dapat melihat bahwa pro-kontra kencan online masih terus terjadi. Pendapat yang mendukung misalnya beralasan, kencan online memberi lebih banyak akses kepada lebih banyak tipe orang yang menjadi pilihan. Ia juga memberi pertimbangan-pertimbangan khusus seperti latar belakang agama, etnis, ekonomi dan sosial. Di samping itu, kencan online juga memberi kesempatan bagi pasangan hidup untuk mengetahui calonnya secara lebih mendalam melalui data pribadinya. Prinsip anonimitas dalam kencan online juga menjadi daya tarik tersendiri. Inisiatif tak harus selalu dari kaum pria. Kaum perempuan juga memiliki kesempatan yang sama. Sederhananya, kencan online memang cocok untuk si pemalu.

Sementara pendapat yang menolak kencan online mengemukakan alasan, bahwa kencan online memberi terlalu banyak pilihan. Padahal, sebagaimana kita ketahui, terlalu banyak pilihan itu tak selamanya menguntungkan. Semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin kurang puas orang yang ingin setia dengan satu pilihan saja. Penolakan terhadap kencan online juga terjadi berdasarkan asumsi, bahwa pilihan yang disediakan oleh kencan online, justru memperparah ketidaksetaraan ekonomi. Secara otomatis akan tercipta aplikasi kencan online eksklusif, sehingga misalnya, kelompok elit akan menyingkirkan partner potensial karena posisi ekonomi yang lebih rendah. Psikolog Eli Finkel berspekulasi bahwa, kencan online juga mengancam hubungan yang sehat antara pasangan yang telah menikah. Karena di dalam pikiran masing-masing mereka selalu ada orang yang lebih baik di luar sana.

Liesel Sharabi, sosiolog dari Arizona State University justru optimis dengan kencan online yang juga dikenal sebagai matching algorithm itu. Menurutnya, mencari pasangan dengan menggunakan algoritma akan terus berkembang, hingga melampaui sekadar urusan perjodohan. Matching algorithm ini akan diaplikasikan untuk undustri lain. Di bursa kerja misalnya, matching algorithm dapat membantu seorang majikan mencari seorang tenaga kerja yang ia butuhkan, juga sebaliknya. Di dunia medis, metode ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kecocokon antara para pasien dengan gangguan genetik serupa.

Kesimpulan

Kencan online akan selalu meninggalkan petanyaan, apakah peribahasa witing tresna jalaran saka kulina atau cinta tumbuh karena kedekatan fisik, masih berlaku? Sebagian orang percaya, bahwa pada era digital ini, prinsip tersebut tidak berlaku lagi. Mobilitas manusia semakin tinggi. Tapi, dengan bantuan gadget, hubungan cinta bisa dibangun dari mana saja. Banyak contoh memperlihatkan pasangan yang bertemu secara online bisa membangun keluarga yang baik dan bermutu. LDR alias Long Distance Relationship juga terjaga karena bantuan teknologi.

Tapi hendaklah kita selalu waspada karena teknologi tak selalu mendatangkan manfaat, tapi juga mudarat di tangan orang-orang ceroboh. Banyak korban yang merasa tertipu akibat kencan online. Sebuah keluarga yang awalnya harmonis, bisa menjadi berantakan akibat salah satu pasangan, diam-diam mengidap virus CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali). Nilai-nilai tradisional seperti kesucian, kesetiaan, pengorbanan dalam kehidupan keluarga tergugat oleh kehadiran teknologi komunikasi. Akhirnya, aplikasi kencan online itu hanya ibarat pisau. Ia bisa digunakan untuk mengiris bawang tapi juga dapat melukai diri sendiri dan orang lain. **

John de Santo

Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta; pengasuh Rumah Belajar Bhinneka.