Polres Bantul Dipraperadilankan Tersangka
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Polres Bantul dipraperadilankan oleh tersangka Leohardy Fanani dalam sengketa dengan PT Pixel Perdana Jaya. Penetapan tersangka terhadap Leohardy dilakukan penyidik Polres Bantul pada Maret 2021.
"Keputusan Praperadilan terhadap Polres Bantul kami lakukan karena banyak prosedur yang ditabrak oleh penyidik dalam proses penyelidikan hingga penetapan tersangka terhadap Leohardy Fanani. Salah satu yang menjadi sorotan adalah hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Henry dan Sugeng yang diakui oleh Polres Bantul merupakan audit independen dan kemudian menjadi alat bukti penetapan status tersangka bagi Leohardy Fanani," kata Dadang Danie P SH, pengacara dari tersangka Leohardy Fanani dalam jumpa pers di warung angkringan Klangenan Jalan Patangpuluhan, Yogyakarta, Senin (13/12/2021).
Dalam kesempatan itu Dadang Danie didampingi oleh AM Putut Prabantoro, yang sejak awal menjadi konsultan hukum bagi Leohardy Fanani. Pendaftaran praperadilan dilakukan di Pengadilan Negeri Bantul, Senin (13/12/2021) pagi.
Menurut Dadang, sejak awal pemeriksaan hingga penetapan kasus tersangka terhadap Leohardy Fanani, banyak kejanggalan dan kesalahan prosedur yang dilakukan Polres Bantul.
Kesalahan prosedur antara lain hingga digelarnya konferensi pers, tidak ada SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) yang diterima oleh Leohardy Fanany. SPDP ini sangat penting karena merupakan pintu gerbang dimulainya penyidikan. Jika tidak ada SPDP yang dikirim ke Leohardy Fanani dapat dikatakan prosedur penyidikan dan seterusnya tidak benar.
Dalam proses penyidikan, ada dua Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang diacu dalam kasus ini yang mengundang banyak pertanyaan mengapa ada dua sprindik.
“Acuan untuk pemanggilan Leohardy Fanany untuk diambil keterangan sebagai tersangka merujuk pada surat yang salah, yakni pemanggilan sebagai saksi dan bukan tersangka. Meskipun demikian, proses pengambilan keterangan sebagai tersangka tetap dilaksanakan,” kata Dadang.
Sebelumn dilaporkan pada 26 Oktober 2020 ke Polres Bantul, PT Pixel Perdana Jaya melalui pengacaranya Pitoyo SH MH dari Law Office Alianto Wijaya SH MH & Rekan pada 24 Agustus 2020 telah mengambil paksa sertifikat tanah dan bangunan milik Lusi Harianto yakni isteri dari Leohardy Fanani pada 24 Agustus 2020. Fakta pengambilan paksa sertifikat itu diabaikan oleh penyidik.
Nilai kerugian yang diderita PT Pixel Perdana Jaya atas perbuatan Leohardy Fanani periode tahun 2016-2019 juga berubah-ubah. Dalam Berita Acara Serah Terima Penyerahan Sertifikat 24 Agustus 2020 dikatakan kerugian PT Pixel Perdana Jaya sebesar Rp 5,5 miliar dan kerugian ini ditegaskan lagi oleh Pitoyo SH pada 29 Oktober 2020 bahwa kerugian Rp 5,5 miliar berdasarkan audit internal. Ketika dilaporkan ke Polres Bantul pada 26 Oktober 2020 kerugian yang dilaporkan sebesar Rp 3 miliar.
Ketika Leohardy diperiksa pertama kali pada 15 Maret 2021, kerugian perusahaan sebesar Rp 2,2 miliar berdasarkan audit internal. Dan terakhir ketika penetapan tersangka kerugian perusahaan sebesar Rp 2,2 miliar yang hasil audit independen yang dilakukan dari Kantor Akuntan Publik Henry dan Sugeng. Berdasarkan hasil audit ini, Polres menetapkan Leohardy Fanani sebagai tersangka.
Dia menilai hasil audit ini tidak valid karena dalam proses penentuan auditor independen Polres Bantul tidak meminta persetujuan dari Leohardy. Auditor yang diaku independen oleh penyidik Polres Bantul ternyata dipilih dan dibayar oleh PT Pixel Perdana Jaya sendiri.
"Yang paling penting adalah Leohardy Fanani yang katanya merugikan perusahaan tidak diwawancarai oleh Kantor Akuntan Publik Henry & Sugeng. Sementara Leohardy Fanani uang yang digunakan sebesar Rp 678 juta dan itu seharusnya sudah impas dengan diambilnya sertifikat yang nilainya Rp 1,3 miliar. Lalu, bagaimana menentukan kerugian jika Leohardy tidak diwawancarai karena dia adalah pemegang kunci," katanya.
Selain Leohardy, yang harus diwawancarai adalah Florentina Silalahi, Novi Lestari, Sri Hartati dan Yohanes Trihandoko, yang merupakan karyawan PT Pixel Perdana Jaya cabang Yogyakarta.
Sementara itu AM Putut Prabantoro menegaskan, masyarakat Indonesia harus yakin bahwa keadilan ada di Indonesia. Sila kelima ada di Indonesia dan Pancasila menjaminnya. Yang paling penting pada saat ini adalah masyarakat berani menyuarakan ketidakadilan melalui berbagai cara termasuk media mainstream atau sosial media dengan tetap dalam koridor hukum.
“Kita harus mendukung Kapolri untuk mewujudkan visi Presisinya. Saya yakin apa yang ditegaskan oleh Kapolri beberapa waktu lalu tentang jajarannya, akan dibuktikan. Yang diperlukan Kapolri ini menurut saya, adalah masyarakat harus bersuara dan jangan takut. Sekarang zaman teknologi komunikasi yang canggih. Namun semuanya harus dilakukan dalam koridor hukum,” tegas AM Putut Prabantoro yang juga Taprof Bidang Ideologi dan Sosbud Lemhannas RI itu. (*)