Politik Boleh Guncang, Seni Tetap Berpelukan

Politik Boleh Guncang, Seni Tetap Berpelukan

KORANBERNAS.ID, BANTUL – Kondisi perpolitikan suatu negara maupun antarnegara boleh saja berguncang atau diwarnai ketegangan, namun seni tetap menjadi alat komunikasi yang dinilai paling efektif. Melalui seni tidak ada lagi perbedaan karena sejatinya perbedaan itu sangat indah ibarat taman bunga.

“Seni merupakan alat komunikasi paling efektif meski saat politik sedang guncang.  (Para pelaku) seni tetap berpelukan tidak pernah memikirkan ketegangan politik. Seni menyodok aspek paling sensitif manusia,” ungkap Suwarno Wisetrotomo, staf pengajar Fakultas Seni Rupa (FSR) Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Kepada wartawan di Teras Asri Kampus ISI Jalan Parangtritis Sewon Bantul, Kamis (16/1/2020),  sehubungannya digelarnya rangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-70 ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), dia menyampaikan inilah yang melandasi alumni ASRI terus merawat keberagaman melalui seni.

Prinsipnya seni berada di atas persoalan-persoalan intoleransi. Selain itu, juga sebagai sarana merayakan keberagamaan. Spirit itulah yang perlu terus dibangun dari generasi ke generasi. “Seni selalu berurusan dengan ketajaman dan kepekaan indera. Betapa pentingnya seni bagi negara dan memiliki tempat spesial,” kata dia.

Selaku Ketua Dewan Pengarah Harlah ke-70 ASRI, Suwarno didampingi Ketua Pelaksana Harlah, Nano Warsono,  Ketua Panitia Kongres Alumni ASRI, Elia Krisanto serta alumnus lainnya seperti Kuss Indarto, lebih jauh dia menyampaikan sejarah bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari seni. Waktu itu, Presiden pertama RI, Soekarno, memerintahkan Edhi Sunarso untuk membuat monumen-monumen penanda bangsa.

Sejarah juga mencatat, Keputusan mendirikan akademi seni ini melalui Kongres Kebudayaan Nasional di Magelang pada 20-25 Agustus 1948. Secara resmi ASRI berdiri melalui Surat Keputusan Menteri PP dan K No 32/Kebud tentang Pendirian Akademi Seni Rupa Indonesia.

Peresmian ASRI pada 15 Januari 1950 di Bangsal Kepatihan Yogyakarta oleh Menteri PP dan K waktu itu, Ki Mangunsarkoro. Direktur pertama adalah RJ Katamsi.

Jejak-jejak sejarah yang termaktub dalam berbagai dokumen dan arsip, posisi dan peran ASRI dirasakan sangat penting bagi terbentuknya semangat kebangsaan di Indonesia.

Suwarno menambahkan, ASRI mengalami tiga kali perubahan status dari akademi menjadi Sekolah Tinggi (STSRI “ASRI”) dan saat ini menjadi Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta (FSR ISI Yogyakarta).

“Tahun 2020 ini adalah peringatan 70 tahun Hari Lahir ASRI. Bagi FSR ISI  Yogyakarta peringatan ini menjadi istimewa karena 70 tahun perjalanan dari ASRI hingga FSR ISI Yogyakarta saat ini adalah gambaran perkembangan dunia pendidikan seni rupa di Indonesia,” paparnya.

Nano Warsono menambahkan tema peringatan 70 tahun ASRI adalah Lintasan Cita dan Cipta Seni Rupa Indonesia. Tema ini dipilih untuk merangkai dinamika perkembangan akademi seni ini dalam peran dan sumbangannya terhadap dunia seni rupa Indonesia.

Sepanjang 70 tahun perjalanannya, lanjut dia, kampus itu turut serta dalam dinamika perkembangan seni rupa Indonesia, baik melalui dinamika wacana seni maupun dalam produksi karya-karya seni yang dibuat oleh para dosen, alumni dan para mahasiswanya.

Rangkaian Harlah dimulai 15 Januari 2020 ditandai ziarah ke makam direktur pertama ASRI dan ziarah ke kompleks makam seniman Saptogiri Imogiri. Kegiatan ini sebagai refleksi atas pencapaian dan peran para pendiri ASRI.

Pada ziarah ini disampaikan pula peran RJ Katamsi sebagai direktur pertama ASRI dan sekaligus pelopor penting pendidikan di Indonesia terutama di bidang seni dan kebudayaan.

Kongres alumni

Elia Krisanto menyatakan, pada kegiatan Harlah juga diadakan kongres pertama ikatan alumni ASRI, STSRI “ASRI” dan FSRD/FSR ISI Yogyakarta. Acara itu berlangsung Minggu (19/1/2020).

Agenda kongres sudah dirancang sejak lama tepatnya September 2019. Gagasan tersebut muncul dari panitia Harlah mengingat selama ini belum ada organisasi Alumni Seni Rupa sehingga komplang, karena fakultas lain sudah memiliki.

“Kongres ini menjadi tonggak penting bagi keberadaan ikatan alumni yang hingga usia ke 70 tahun ini belum pernah dilembagakan. Gol pertama kongres adalah terbentuknya ikatan alumni dan pengurus,” ungkapnya. Kongres berlangsung di Gedung Sasana Ajiyasa FSR ISI Yogyakarta.

Esok harinya, Senin (20/1/2020) merupakan seremonial Peringatan Harlah ke-70 ASRI di Gedung Serbaguna ISI Yogyakarta. Acara ini dijadwalkan dibuka Rektor ISI Yogyakarta.

Sedangkan pidato Kebudayaan disampaikan oleh Haryatmoko. Selain itu, diberikan pula penghargaan Pratisara ASRI untuk alumni berdedikasi. Siapa peraih penghargaan? Namanya baru diketahui saat acara berlangsung.

Pada saat bersamaan dilakukan peluncuran buku 70 Tahun ASRI, Lini Baru Pendidikan, Pergulatan Politik Identitas dan Medan Pertarungan Baru Seni Rupa Indonesia. Buku tersebut disusun oleh tim tersendiri. Tercatat banyak seniman besar lahir dari ASRI. Mereka adalah pelopor, pendiri dan penjaga warwah seni rupa Indonesia.

Masih ada dua acara lagi yaitu Seminar Internasional Seni Rupa di ISI Yogyakarta pada Agustus 2020 maupun Pameran Seni Rupa di Jogja Nasional Museum pada Oktober 2020.

“Kenapa usia 70 tahun perlu dirayakan, karena sudah cukup umur. Kami mengalami kisah panjang hingga sukses disertai jatuh bangunnya,” tandas Suwarno. (sol)