Data Kemiskinan, Rawan Munculkan Bantuan Langsung Sak Matine

Data Kemiskinan, Rawan Munculkan Bantuan Langsung Sak Matine

KORANBERNAS.ID--Data kemiskinan yang tidak akurat menjadi penyebab program pemerintah tidak tepat sasaran dan rawan memicu konflik sosial di masyarakat. Walaupun sudah ada Peraturan Presiden No 39/2019 tentang Satu Data Indonesia, tetapi di lapangan masih terjadi kesimpangsiuran data.

Di Gunung Kidul misalnya, data kemiskinan masih menjadi persoalan yang mengganjal dan membebani pemda. Wakil Bupati Gunung Kidul, Immawan Wahyudi menyebut, data kemiskinan masih kerap rancu dengan realtiasnya, lantaran sudah terlanjur muncul stigma di masyarakat dan pemerintah yang bersumber dari sejarah.

Immawan mengakui, tahun 1963, wilayahnya memang mengalami tragedy kelaparan hingga menyebabkan kasus busung lapar. Peristiwa ini sangat membekas, akibatnya orang Gunung Kidul tidak mau menjual hasil pertaniannya.

“Ini sikap local wisdom. Mereka bertanggungjawab atas nasib keluarganya sendiri. Tapi menjadi masalah karena BPS menyebut salah satu kriteria miskin dari tidak adanya transaksi perdangan. Ini kan ada metodologi yang tidak sama dengan local wisdom,” kata Immawan dalam Focus Group Discussion soal “Satu Data Kemiskinan:Bagaimana Mencapainya dan Untuk Siapa?”, Selasa (24/9/2019). FGD, diselenggarakan kerjasama antara Pemkab Gunung Kidul dengan Combine Resource Institution.

Immawan menyebut masalah data ini bukan persoalan sepela. Dirinya berharap, ke depan tidak ada lagi persoalan dengan Satu Data Kemiskinan, terlebih di Gunung Kidul.

“Ini problem ada fakta yang tidak berdasarkan realitas. Dan ada data yang tidak berdasarkan fakta. Warga menyimpan beras minimal 1 keluarga 30 Kg hingga mampu hidup sampai setengah tahun. Tapi ini dianggap miskin karena tidak ada transaksi perdagangan,” katanya

Karena itulah Kabupaten Gunung Kidul menginisiasi untuk mewujudkan satu data kemiskinan yang akan terus terupdate.

“Jangan sampai lagi muncul istilah BLS (Bantuan Langsung Sakmatine). Ini warga protes keras, karena kecewa yang mendapatkan bantuan hanya orang itu-itu saja. Kami tetap menghargai data BPS, karena itu data resmi. Tetapi kami juga memiliki data yang lebih berasal langsung dari masyarakat,” kata Immawan..

Ketua Dewan Pembina CRI Dodo Julimar, dalam sambutannya menyebut bahwa masih ada problem soal satu data kemiskinan.

“Padahal dengan Satu Data Kemiskinan yang lebih dikenali, mudah diakses oleh stake holder kementerian terkait dan media menjadi penting. Mengapa penting?. Karena itu menjadi dasar untuk mencapai keadilan sosial, pengentasan kemiskinan yang lebih akurat,” kata Dodo Julimart.

Soal simpang data ini juga disoroti oleh Komisioner Komisi Informasi Pusat Arif Adin Kuswardono. Arif. Arif menyebut contoh terbaru soal simpang siur data ini adalah data perberasan.

Data beras yang tidak sinkron antara Bulog, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian menjadi problem di banyak wilayah.

“Data yang tidak sama menyebabkan pertengkaran di publik. Ini contoh terbaru soal tidak adanya kesamaan data,” kata Arif. (*/SM)