Sambut Indonesia Emas 2045, Wapres Dambakan Pemimpin Transformatif

Sambut Indonesia Emas 2045, Wapres Dambakan Pemimpin Transformatif

KORANBERNAS.ID,YOGYAKARTA -- Wakil Presiden (wapres) RI,  Ma'ruf Amin melakukan kunjungan kerja di DIY selama dua hari sejak Senin (24/10/2022). Dalam kunjungan hari pertama, Wapres menghadiri acara peringatan Hari Santri di Universitas Alma Ata (UAA) Yogyakarta dan Muhammadiyah Boarding School (MBS).

Dalam acara ini, Wapres menyampaikan pidato kebangsaan bertema ‘Kepemimpinan Transformatif untuk Mengawal Terwujudnya Indonesia Emas 2045’. Menurut Wapres, pada 2045 mendatang Indonesia diproyeksikan menjadi negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) nomor lima terbesar di dunia. Karenanya bangsa ini membutuhkan pemimpin yang transformatif.

Sebab jumlah penduduk Indonesia juga diperkirakan akan mencapai 300 juta jiwa. Dari jumlah itu, sebesar 82 persen merupakan penduduk kelas menengah dan penduduk usia produktif sebanyak 52 persen.
            
Saat itu Indonesia diperkirakan akan memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 9.100 miliar USD dan PDB per Kapita sebesar 30 ribu USD. Namun, kata Ma'ruf, visi Indonesia Emas tersebut hanya akan terwujud, apabila Indonesia memiliki pemimpin yang transformatif dan terus melakukan perbaikan secara berkelanjutan.

"Pemimpin transformatif yang bisa menggerakkan, mengubah, bukan hanya pemimpin yang baik, tetapi juga melakukan perbaikan, bukan pemimpin yang saleh tetapi juga muslih, melakukan perbaikan," paparnya.

Menurut Wapres,pemimpin yang transformatif tidak hanya dapat mempertahankan hal-hal lama yang baik. Mereka harus mampu menciptakan inovasi baru yang lebih baik.

“Bahkan saya tambah paradigmanya, pemimpin yang dapat melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik secara berkelanjutan, secara sustainable," tandasnya.

Ma'ruf berharap menuju pemilihan presiden 2024 mendatang, stabilitas politik tetap terjaga. Dia juga meminta perbedaan politik tidak menyebabkan perpecahan.
 
Dalam menyikapi perbedaan politik maupun pilihan calon presiden harus dengan bijak. Sebab selama ini, perbedaan politik kerap membuat masyarakat terkotak-kotak, sehingga menimbulkan perselisihan. 

"Di dalam perbedaan memilih pemimpin, memilih Presiden, memilih partai tidak menjadi sumber perpecahan bagi bangsa kita itu. Kita sudah biasa, sudah sering. Oleh karena itu kita tidak boleh kemudian perbedaan itu menyebabkan perpecahan," imbuhnya.(*)