Pesona Wota Wati, Jejak Bengawan Solo Purba di Balik Karst Gunungkidul
Desa ini hanya mendapat cahaya matahari selama 8-10 jam setiap hari
KORANBERNAS.ID, GUNUNGKIDUL – Pada lembah yang diapit pegunungan karst Gunungkidul, sebuah desa bernama Wota Wati menyimpan keunikan yang jarang diketahui publik.
Terletak di lintasan sungai Bengawan Solo Purba, desa yang hanya berjarak lima menit berjalan kaki dari Pundungsari Sumberagung Wonogiri Jawa Tengah itu seolah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah geologis Pulau Jawa.
Keistimewaan Wota Wati terletak pada pola pencahayaan alamnya yang berbeda. Tidak seperti kebanyakan wilayah di Indonesia yang menerima sinar matahari lebih dari 12 jam, desa ini hanya mendapat cahaya matahari selama 8-10 jam setiap hari.
"Di area pemukiman ini, cahaya matahari langsung baru terlihat jelas sekitar pukul 08:00 pagi. Sore hari, matahari sudah tertutup gunung pada sekitar pukul 16:00," kata Estu Dwiyono, Lurah Pucung, kepada wartawan, Sabtu (9/11/2024).
Pagar dan fasad rumah warga dengan gaya Majapahit dan Mataram Kuno sedang dalam tahap pengerjaan. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)
Di antara lembah-lembah Gunungkidul yang menjulang, Wota Wati kini tengah bertransformasi melalui proyek penataan bernilai Rp 5 miliar dari Dana Keistimewaan. Sentuhan bata merah khas Majapahit yang berjajar pada sepanjang fasad rumah penduduk menjadi daya tarik utama.
"Kami tidak melakukan perubahan yang baru atau membangun sesuatu dari awal, melainkan hanya memperbaiki dan memoles apa yang sudah ada sebelumnya," ungkap Estu Dwiyono, sembari menunjukkan deretan pagar-pagar artistik yang kini menghiasi 79 dari 83 rumah di kawasan tersebut.
Proyek yang dimulai Juni 2024 ini mencakup pengembangan kawasan terpadu dengan berbagai fasilitas seperti homestay dari rumah-rumah warga, area camping ground serta wisata pertanian dan peternakan terpadu.
"Harapan kami, beberapa rumah warga bisa menjadi homestay yang layak," kata Estu. Keberadaan akomodasi ini diharapkan dapat meningkatkan rata-rata durasi kunjungan wisatawan di Yogyakarta yang saat ini mencapai dua hari.
Desa wisata
GKR Bendara selaku Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) DIY, menekankan pengembangan Wota Wati bukan sekadar fisik, tetapi juga peningkatan kualitas SDM untuk mendukung pengembangan desa wisata berkelanjutan.
Keraton Yogyakarta melalui Gustilantika Marrel Suryokusumo memberikan dukungan melalui program penghijauan dan inovasi pertanian. Program ini termasuk penanaman pohon munggur atau trembesi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif setiap enam bulan sekali.
"Filosofi memayu hayuning bawana atau memperindah dan menjaga kehidupan agar harmonis menjadi landasan kami," jelasnya.
Meski memiliki potensi besar, Wota Wati masih menghadapi tantangan berupa akses jalan sepanjang 1,7 kilometer yang belum selesai diperbaiki. Namun, hal ini tidak mengurangi semangat pengembangan desa yang direncanakan dibuka untuk umum pada akhir tahun ini.
Nilai historis
Wota Wati merupakan bagian dari Kelurahan Pucung yang juga menawarkan wisata pantai, pertunjukan wayang kulit dan reog. Posisinya yang strategis di lintasan Bengawan Solo Purba tidak hanya menjadikannya unik secara geologis, tetapi juga memberikan nilai historis yang tak ternilai.
Perpaduan antara warisan alam, sejarah, budaya dan visi pembangunan berkelanjutan di desa ini diharapkan dapat menjadi model pengembangan desa wisata berkualitas di Indonesia.
Di bawah bayang-bayang pegunungan karst, Wota Wati terus berbenah, membuktikan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat berjalan selaras dengan pelestarian warisan budaya dan alam. (*)