Perundungan di Sekolah Harus Dicegah
Sekolah Ramah Anak diharapkan bukan sekadar jargon.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Perundungan menjadi isu yang perlu memperoleh perhatian serius. Namun penanganan kasus tersebut tidak bisa dilakukan sendiri. Butuh kerja sama semua pihak untuk memutus rantai perundungan.
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Didik Wardaya, dalam Seminar Psikologi Pendidikan bertema Mencegah dan Menangani Bullying di Lingkungan Sekolah, Rabu (11/12/2024) di Universitas AKPRIND Indonesia mengungkapkan, Disdikpora DIY berkomitmen mencegah terjadinya bullying dan kekerasan di lingkungan sekolah.
Satu caranya dengan memaksimalkan peran para guru bimbingan konseling (BK) masing-masing sekolah. Mereka perlu diberikan edukasi dan sosialisasi terkait pencegahan bullying dan kekerasan di lingkungan sekolah.
"Setiap sekolah kini telah terbentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK). Guru BK menjadi salah satu elemen di dalamnya," ujarnya.
Lebih efektif
Namun guru BK bukan satu-satunya elemen di dalam TPPK. Pencegahan dan penanganan kekerasan serta intoleransi juga perlu melibatkan guru lain agar lebih efektif.
"Permasalahan bullying dan kekerasan di lingkungan sekolah turut menjadi tantangan dan masih kerap terjadi," katanya.
Rektor Universitas AKPRIND, Edhy Sutanta, mengungkapkan kampus tersebut mendukung berbagai program edukasi dan sosialisasi mengantisipasi perundungan di sekolah. Bahkan siap bekerja sama dengan para guru maupun dosen dan mahasiswa melakukan pengabdian dan penelitian bersama.
"Selain itu juga bisa dengan pendampingan teknologi tepat guna di sekolah untuk mengantisipasi perundungan. Pada prinsipnya, kami dari AKPRIND akan selalu men-support kegiatan-kegiatan tersebut sesuai dengan kapasitas kami," jelasnya.
Terteror
Vequentina Puspa Indah, Psikolog Klinis di Klinik AKPRIND by Klinik Kampus mengungkapkan perilaku perundungan akan menjadikan korban merasa tidak nyaman dan terteror. Apalagi, kondisi ini berlangsung selama waktu sekolah yang mencapai tujuh hingga sembilan jam setiap hari.
"Semangat belajar siswa menurun. Bahkan, yang lebih parah bisa memicu terjadinya psikosomatis pada korban," tandasnya.
Vequentina mengajak guru memberi perhatian lebih pada siswa yang izin sekolah terlalu lama. Program Sekolah ramah anak pun diharapkan bukan sekadar jargon.
"Tapi benar-benar bisa terwujud sehingga anak sekolah berangkat dengan hati gembira," jelasnya. (*)