Pemilu Harus Memperkuat Integrasi Bangsa, Bukan untuk Pembelahan

Jadi siapa yang menguasai IT, dialah yang paling berpeluang.

Pemilu Harus Memperkuat Integrasi Bangsa, Bukan untuk Pembelahan
Diskusi dengan tema Sosialisasi Pembekalan Pemantauan dan Peliputan Pemilu 2024 di kantor PWI Jateng. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, SEMARANG -- Pemilihan Umum (Pemilu) baik itu Pemilu Presiden (Pilpres), Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 hendaknya dimaknai sebagai sarana memperkuat integrasi kebangsaan.

"Bukan sebaliknya, Pemilu meninggalkan sisa perpecahan. Atau bahkan, dalam tahapan mulai persiapan, penyelenggaraan dan pasca-Pemilu justru menimbulkan pembelahan di dalam masyarakat," tegas Dr H Jawade Hafidz SH MH, Dekan Fakultas Hukum Unissula.

Berbicara pada Focus Group Discussion (FGD) Sosialisasi Pembekalan Pemantauan dan Peliputan Pemilu 2024 di Kantor Persatuan Wartawan Indoensia (PWI) Jateng di  Semarang, akhir pekan ini, dia menyampaikan saat ini di tengah masyarakat terjadi polarisasi dan menurunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

“Momentum lima tahunan ini justru harus dipahami sebagai momentum untuk kembali memperkuat integrasi kebangsaan,” kata Jawade yang juga Dewan Pakar Mappilu itu.

Narasumber diskusi Pemilu 2024 yang diselenggarakan PWI Jateng bersama KPU Jateng. (istimewa) 

Selain Jawade, FGD yang digelar dengan pendanaan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng 2023 itu juga dihadiri dosen FISIP Undip Teuku Afrizal PhD. Diskusi dimoderatori anggota PWI, M Chamim Rifai SIP MA.

Jawade mengatakan, ada sejumlah persoalan mendasar yang perlu diwaspadai dalam Pemilu 2024 nanti. Salah satunya soal Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Beberapa waktu ada sekitar 40 juta orang atau 25-30 persen pemilih yang telah diretas oleh hacker. Artinya, siapa yang bisa menguasai 40 juta orang itu maka dialah yang akan menjadi pemenang.

“Salah satu kelemahan Pemilu adalah vote menggunakan online, proses penghitungan lewat IT. Jadi siapa yang menguasai IT, dialah yang paling berpeluang," tambahnya.

Sebagian peserta FGD Pemilu 2024 yang digelar PWI Jateng dan KPU Jateng. (istimewa) 

Dia melihat perlunya peran masyarakat dalam pemungutan suara, penghitungan dan penetapan suara. Alasannya, ini yang sangat rentan dimanfaatkan oleh aktor-aktor yang mengusai IT. Fenomena sebelumnya sudah ada, banyak kontestan Pemilu kehilangan suara.

Diakui, memang ada Bawaslu. Namun yang paling efektif adalah keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media.

''Wartawan atau jurnalis itu sudah  terdoktrin bagaimana menyajikan berita yang imbang. Media akan melakukan klarifikasi dengan banyak pihak yang terlibat dalam Pemilu. Inilah potensi media. Kalau pengawasan itu lemah, maka kelemahan itu bisa jadi ada pada media,'' terangnya.

Selain media, LSM juga punya peran penting, karena kinerjanya itu hitam putih. Artinya, punya otoritas untuk melakukan investigasi sesuai kapasitasnya. Mereka bekerja tidak by design atau by order.

ARTIKEL LAINNYA: Bawaslu Optimalkan Fungsi Sosmed yang Dikelola Panwascam

''Jadi, apakah ada kesadaran kita untuk melakukan pressure atau tekanan-tekanan untuk melakukan fungsi pengawasan. Itu yang membuat penyelenggara Pemilu akan berhati-hati dalam melakukan tugasnya," sambungnya.

Pengawasan bukan berarti mendukung salah satu paslon, tapi keberpihakan pada persoalan, transparansi, keadilan, kebenaran, dan keadilan.

Jawade juga menilai, kualitas Pemilu bukan ditentukan seberapa banyak pelanggaran yang berhasil ditangani Bawaslu, tapi pada seberanya intens partisipasi masyarakat terhadap pengawasan untuk sebuah pemilu bukan saja berprinsip Luber, tapi Jurdil.

Dikatakan, sudah saatnya dibangun paradigma baru tentang politik uang.  Ruang lingkup money politics hendaknya tidak saja berupa uang tapi juga barang.

ARTIKEL LAINNYA: Pengurusan DPTb Maksimal 15 Januari 2024, Syaratnya?

''Media harus bisa menyuarakan, misalnya adanya temuan seorang kontestan yang memberikan barang mahal, tapi posisinya masih sebagai penyelenggara pemerintahan. Ini bentuk pelanggaran, karena menggunakan uang rakyat dan mengusik rasa keadilan,'' ujarnya.

Teuku Afrizal juga berbagi pengalamannya menjadi anggota Bawas dan KPU yang ditugaskan di  Malaysia.  Menurut dia, salah satu indikator suksesnya Pemilu adalah tingkat partisipasi masyarakat.

Dia menyajikan data bagaimana Indonesia tahun 2014, tingkat partisipasi 75,11 persen dan 81,69 persen pada 2019, padahal awal reformasi tahun 1999 tingkat partisipasi 92,7 persen.

''Partisipasi politik penting bagi keberhasilan Pemilu. Legitimasi Pemilu tergantung pada partisipasi publik,'' kata Teuku.

ARTIKEL LAINNYA: 643 Pengawas Pemilu di Kebumen Siap Bertugas

''Mereka yang berada di generasi milenium dan Generasi Z  saat ini merupakan sasaran empuk para kontestan,'' tambahnya.

FGD yang juga  dihadiri Staf Sekretariat KPU Jateng Datum dan Surya, dibuka oleh Sekretaris PWI Jateng Setiawan Hendra Kelana.

Setiawan mengatakan, FGD ini sangat menarik karena akan menuntun wartawan terkait bagaimana cara memberitakan Pemilu. (*)