Parlemen Bukan Lembaga Stempel

Parlemen Bukan Lembaga Stempel

KORANBERNAS.ID – Saat ini Indonesia membutuhkan parlemen yang benar-benar efektif dan bekerja sebagai pengontrol kekuasaan eksekutif. Fungsi kontrol dan pengawasan terhadap eksekutif sampai saat ini belum maksimal dilakukan oleh legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Parlemen seharusnya bukan lagi sebagai lembaga stempel terhadap kebijakan pemerintah.

Menurut Ferri Wicaksono, peneliti pada lembaga penelitian Reforma di Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM, fungsi parlemen sebagai lembaga pengawas belum dijalankan secara maksimal. “Apalagi kalau pemimpin di eksekutif diusung partai pendukung para anggota legislatif, maka kontrol akan semakin lemah,” katanya.

Ferri menyebutkan, trias politica belum sepenuhnya dijalankan dengan baik di Indonesia. Sebab itu, ia menyerukan agar oposisi harus tetap ada sebagai bentuk check and balances.

“Legislatif tetap harus ada yang mendampingi (kebijakan) eksekutif, dan juga harus ada yang mengingatkan. Keberadaan oposisi saat ini kan mulai agak kabur setelah beberapa partai mulai mendekat ke kekuasaan. Tapi sudah semestinya ada diantara parpol di parlemen yang tetap berdiri sebagai oposisi,” ujarnya.

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Amikom Yogyakarta itu mengungkapkan seharusnya parlemen di negeri ini tidak hanya menjadi stempel (rubber stamp) atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, hal itu tidak banyak berubah sejak era reformasi.

Banyaknya anggota dewan yang terjerembab korupsi anggaran, baik di daerah maupun pusat, menurut Ferri, karena tidak lagi mengritisi kebijakan eksekutif, namun turut serta melakukan manipulasi anggaran. “Parlemen harus efektif, walaupun banyak anggota dewan yang terlibat KKN atau kasus lainnya, tetapi dalam konteksnya legislatif harus efektif. Ini karena mereka adalah ‘penguasa’. Paling tidak di Indonesia ini ada tiga penguasa, yaitu penguasa legislatif, eksekutif dan yudikatif,” paparnya.

Ferri mendorong agar anggota parlemen di seluruh Tanah Air harus mulai berdaulat. Termasuk mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan partai atau golongan. “Mereka itu adalah representasi dari rakyat, dan seharusnya mereka tidak hanya sebagai gerbong yang ikut apa kata partai di depannya,” tandasnya.

Menjawab pertanyaan apakah kinerja legislatif di pusat dan daerah selama ini sudah maksimal, Ferri mengatakan ada beberapa parameter yang bisa dijadikan ukuran. Salah satunya mengukur kinerja dewan dari fungsi-fungsi yang dimiliki.

“Misalnya saja fungsi legislasi. Sudah berapa rancangan peraturan daerah yang masuk dalam Prolegda itu disahkan. Terus, berapa dari Raperda itu yang inisiatif dewan sendiri. Kemudian berapa banyak pula produk hukum yang telah dievaluasi oleh mereka. Kalau mau diukur, harus seperti itu karena mereka wakil rakyat,” katanya.

Penyambung Aspirasi
Sementara itu, Desiana Fimmastuti, peneliti Research Center for Politics and Government (Polgov) UGM, juga mengamini pentingnya parlemen sebagai oposisi. Menurut dia, anggota legislatif harus terus mengritisi kebijakan-kebijakn publik yang ditelurkan eksekutif.

“Oposisi itu bisa memandang lebih kritis dari sisi yang lain. Kekhawatiran saya jika oposisi tidak ada, dan parlemen sepenuhnya dikendalikan oleh eksekutif, ekstrimnya akan terjadi seperti zaman Orde Baru, dimana parlemen sebagai rubber stamp, mengiyakan apa yang telah dilakukan eksekutif,” paparnya.

Kekritisan parlemen terhadap kebijakan pemerintah bahkan dapat dijadikan wahana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya. Desi memandang, walaupun mayoritas parpol merupakan penyokong pemimpin, baik di tingkat pusat maupun daerah, namun legislatif harus tetap menyuarakan suara rakyat yang diwakilinya.

“Menurut saya oposisi tetap penting, dan oposisi bisa menjadi jalur alternatif untuk menyampaikan aspirasi masyarakat umum,” katanya, Selasa (5/8/2019).

Walaupun berharap parlemen di Indonesia berdaulat, Desi mengaku prihatin dengan banyaknya kasus anggota DPR dan DPRD yang tertangkap akibat kasus korupsi. Ia menyontohkan kasus penangkapan massal 41 anggota DPRD Kota Malang tahun lalu akibat korupsi anggaran di APBD 2015.

“Disayangkan masih banyak kasus (korupsi) yang menyeret anggota dewan. Itu menjadi salah satu evidence (bukti) untuk melihat bahwa fungsi parlemen dan kinerja legislatif harus diperbaiki. Jadi kalau bilang efektif atau tidak masih sulit untuk menjawabnya,” paparnya.

Dari catatan KPK di tahun 2018 saja, bagian penindakan KPK telah mengerjakan 157 penyelidikan, 178 penyidikan, 128 penuntutan dan 102 eksekusi atas putusan pengadilan Tipikor. Sementara jika berbicara tentang tingkat jabatan, anggota legislatif menjadi yang terbanyak ditangkap KPK yaitu sebanyak 91 orang selama 2018. Kemudian disusul 29 kepala daerah aktif dan 2 mantan kepala daerah.

“Sulitnya lagi sistem partai kita masih menganut oligarki dimana kekuasaan partai di tangan para pemilik modal. Kinerja dan pergerakan oleh orang tertentu dalam partai. Ini yang menyebabkan banyak isu-isu publik bisa saja tak tersuarakan karena tertutup kepentingan partai yang mengejar keuntungan,” tandasnya.

Pengabdian
Ditemui terpisah, Mahaarum Kusuma Pertiwi SH, MH, M.Phil, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, mengatakan bahwa anggota DPR maupun DPRD seharusnya sadar bahwa status wakil rakyat bukanlah sebuah profesi untuk mencari penghasilan. Menjadi wakil rakyat adalah sebuah pengabdian, merepresentasikan kepentingan rakyat.

“Sehingga, harus juga diubah persepsinya, (bahwa mereka) bukan sebagai pejabat atau bos. Gaya hidup mereka juga harus merepresentasikan dan menghormati rakyat yang diwakilinya. Kalau sudah sadar akan hal itu, maka kepentingan rakyatlah yang didahulukan, bukan pribadi ataupun partainya. Dengan demikian, uang atau gajui bukan lagi menjadi fokus persoalan. Mau digaji berapa banyakpun kalau persepsinya adalah bos atau pejabat, ya tidak akan pernah cukup. Tapi kalau mereka mengubah persepsi menjadi wakil rakyat ya fokus pada pendapat dan kepentingan rakyat yang harus disalurkan pada kerja-kerja legislatif maupun pengawasan eksekutif,” paparnya.

Mahaarum menambahkan, pada prinsipnya tidak ada kekuasaan yang tak terbatas. Anggota DPR maupun DPRD bila melanggar kode etik bisa diperkarakan di Mahkamah Kehormatan Dewan. Bila ia melanggar hukum, juga bisa dihukum. Mekanisme pemberhentian atau recall (pergantian) juga berlaku bagi anggota dewan.

“Persoalanya adalah perkara masuk di Mahkamah Kehormatan Dewan ataupun sanksi hukum lain hanya berlaku jika anggota dewan melanggar kode etik dan atau hukum. Kalau soal kinerja tidak maksimal, tentu tidak bisa dihukum. Hanya saja menjadi catatan bagi rakyat agar tidak memilih yang bersangkutan pada pemilu selanjutnya. Jadi sanksi politis dan sosiologis dari masyarakatlah yang akan menghukumnya,” ujarnya. (ros/ojo)

 

Artikel ini pernah diterbitkan dalam Edisi Cetak Koran Bernas 12 Agustus 2019 - 16 September 2019