Nurhayati Melawan

Nurhayati Melawan

 PRAKTIK korupsi tak pernah mengenal jenis kelamin. Laki-laki atau perempuan semua bisa menjadi pelaku korupsi, menjadi korban korupsi, atau bergerak sebagai aktivis antikorupsi.

Siapa tak mengenal Nurhayati? Perempuan sederhana salah satu desa di Indonesia. Naluri keperempuannya tak bisa tinggal diam dan melaporkannya ke BPD setempat tatkala ia mengetahui secara langsung praktik korupsi APBDesa tahun 2018-2020 yang mencapai tak kurang Rp 800 juta dengan aktor atasannya, Supriyadi, Sang Kuwu desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Kompas, 7/3/2022).

Kerajaan laki-laki Supriyadi ternyata runtuh. Ia bukan manusia super, praktik kusamnya terhenti di tangan perempuan Nurhayati, sang bendahara desa tempat mengais rezeki. Perkara hukum Korupsi Kepala Desa (Kades) terus berjalan, dan Nurhayati yang sebelumnya sempat ditetapkan menjadi tersangka berujung bebas paska munculnya diskresi sejumlah orang penting di negeri ini.

Nurhayati seorang whistleblower (pengungkap fakta) kasus dugaan korupsi di desanya, Ia sebagai pelapor yang hak-haknya dijamin, salah satunya mendapat proteksi dalam aspek luas.

Jejak langkah Nurhayati tentu saja menyulut sikap senang dan tak senang. Bagi loyalis Kades Citemu, tentu saja berkeras menyalahkan sepak terjang sang bendahara desa tersebut yang dinilai membuat malu, mencemarkan nama baik, sok pahlawan, sok bersih, hanya mencari kesalahan orang lain dan tak penah bisa menerjemahkan politik van deventer, yakni politik balas budi.

Namun sebaliknya, bagi kalangan yang pro, mereka bergembira atas ketegasan dan keberanian Nurhayati dengan terus memberikan dukungan moral dari sejumlah elemen masyarakat di negeri ini. Perempuan itu tidak lemah seperti orang pikirkan.

Mungkin saja, aksi Nurhayati dengan melaporkan tindakan korup Kadesnya, hanyalah setitik debu lembut, tapi berdampak besar penyelamatan uang rakyat dan kaum muda kita sebagai pemimpin masa kini dan masa mendatang. Sekurangnya, ia ingin mengatakan bahwa ada yang lebih penting dari hanya segepok uang. Uang segalanya tapi bukan segala-galanya.

Layak kita buang jauh, jangan sampai kita terbeli dengan uang atas prinsip, nilai, dan keutamaan yang terus kita junjung tinggi. Ada mata uang kejujuran yang jauh lebih laku ketimbang tetumpukan uang hasil korupsi.

Koruptor itu bukan lagi Serigala, tapi Serigala berbulu domba. Ia pintar memainkan peran dalam setiap lini. Satu saat ia culas, dan pada saat yang bersamaan ia menjelma menjadi sosok dermawan, baik hati, bahkan masyarakat miskin tak segan dipasok dengan berbagai bantuan, termasuk beasiswa, rumah ibadah, infrastruktur, sembako, dan sebagainya. Ia sanggup melunasi hutang-hutang kaum papa atau termajinalkan. Itu semua hanya kedok belaka untuk menutup belangnya. Ia bukan Zorro atau Robinhood apalagi Sinterklas.

Menengok ke belakang, bisa jadi praktik korupsi di desa Citemu, mungkin pak Kades tergiur melihat praktik korupsi di berbagai tayangan media. Ada menteri, politisi, ASN, aparat penegak hukum, pengusaha, dosen, guru, kepala daerah bahkan kawan-kawan Kades lain hingga para perangkat desa yang acap disebut-sebut sebagai pamong. Ia mungkin saja salah atau lupa meredifinisi tentang pamong desa.

Berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi terus digeber, mulai sosialisasi, workshop, seminar, simulasi, konser musik, buku, film, baliho, spanduk berjejalan bahkan menjadi langit visual yang diamini rakyat. Sekalipun begitu, ceramah antikorupsi tetap perlu, kampanye dan dakwah bahaya korupsi penting, teladan berperkara hukum, tidak korupsi menjadi sangat penting dan perlu. Karena, pemimpin itu cerminan rakyat.

Materi pendidikan anti orupsi di sekolah terus digencarkan, bahkan belakangan kampus diminta menyusun kurikulum pendidikan antikorupsi di kampus-kampus. Itu semua hanya satu tujuan untuk menekan angka korupsi yang kian masif. Anehnya, pelaku korupsi di negeri ini justru datang dari tamatan perguruan tinggi yang ecek-ecek hingga terkenal yang nota bene mereka cukup terpelajar, well educated.

Saking sulitnya memberantas tindak pidana korupsi, praktik kusut itu seolah telah menyatu dalam kebudayaan masyarakat kita. Ada saja yang koruptor lakukan untuk mencari celah untuk melempangkan praktik busuknya, regulasi rupanya belum cukup menyantuni mereka berpindah ke jalan kesalehan. Maka di sini butuh strategi kebudayaan untuk memundurkan perilaku korup tersebut.

Transformasi Sosiokultur

Beberapa hal bisa ditempuh, pertama menghapus budaya pekewuh. Terhadap orang yang menjabat tertentu dan melakukan korupsi dan orang tersebut pernah membantu, berjasa dalam kehidupan pribadi maupun desa secara makro, maka sebagian orang tak sampai hati atau pekewuh (memilih menyembunyikan) untuk mengingatkan, menegur atau melaporkan, tapi tindakan demikian justru menyuburkan praktik busuk ini.

Kedua, menggeser orientasi harta dan tahta yang masih menguat dalam dada masyarakat atau pejabat menjadi konsentrasi layanan dan integritas. Klaim tertentu mempercayai kelas sosial banyak ditentukan oleh tumpukan harta dan tingginya tahta. Padahal keduanya bisa diperoleh dengan cara yang tidak baik. Sudah saatnya, orientasi itu diubah dengan aspek layanan dan integritas. Orientasi sebagai generasi anti korupsi, gratifikasi dan pungli harus digencarkan.

Ketiga, menghapus jalur keluarga maupun tim sukses Kades. Artinya bekerja profesional tanpa menyelinapkan tautan intimitas tersebut, meskipun staf atau bawahannya itu masih famili atau punya hubungan darah dan relasi lainnya dengan penguasa desa.

Keempat, lewat jalur edukasi kepada masyarakat. Artinya, laporan serupa Nurhayati menjadi bagian upaya kita mengedukasi anak-anak dan kaum muda kita untuk tegak berintegritas. Berani menolak dan melawan segala praktik KKN, sehingga mereka sejak dini berjuang dengan segenap pasokan pengetahuan, ketrampilan dan sikap membentengi dirinya tidak terjebak dalam praktik kelam korupsi.

Di luar itu, strategi kelima, yakni menepiskan budaya patriarkhi. Saatnya memosisikan perempuan menjadi ordinat, laki-laki dan perempuan punya peran setara, penting membawa pembangunan yang ramah perempuan, bukan meremehkan perempuan.

Semakin banyak koruptor yang ditangkap atau kena OTT menjadi prestasi penegak hukum, tapi di ruang publik hal itu semakin menunjukkan betapa mentalitas korup di masyarakat kian parah.

Korupsi tidak saja menjadi persoalan hukum, melainkan juga merupakan persoalan mentalitas kebudayaan. Pendeknya, orang yang sangat mengerti dan paham tentang hukum pun dapat terjerat kasus korupsi, apalagi yang lain.

Terakhir, (Kompas, 2/3/2022), selain pengawasan dan penyidikan bahkan kontrol organik dari masyarakat sekaligus watchdog, penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk membalik framing, transformasi sosiokultur masyarakat, yang semula bergeming menjadi tidak bergeming. Awalnya cuek menjadi peduli, dari takut ke berani melapor. Perempuan desa itu telah memberi bukti.

Nilai etos dan etik menjelma dalam kerja-kerja Nurhayati di Kantor desa dan perilaku hariannya. Nurhayati telah meneguhkan dirinya menjadi kader SPAK (saya perempuan antikorupsi). Kita ingin memastikan ke depan tak sedikit follower mewakafkan dirinya sebagai relawan, pegiat anti korupsi. *

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng