Seni Mengelola Kekuasaan ala Prabowo

Oleh: Boy Anugerah

Kisah-kisah Prabowo kental dengan pengalamannya sebagai prajurit militer. Baginya, militer adalah dirinya sendiri. Ia sangat mencintai dunia kemiliteran. Prabowo adalah prajurit tempur, komandan lapangan, bukan prajurit di belakang meja. Pengalamannya yang panjang di dunia militer dan didikan keras ala prajurit Kopassus telah membentuk karakternya sebagai pemimpin yang selalu waspada, jeli memetakan ancaman, tegas dan tanpa kompromi, cepat mengambil keputusan, dan sangat menjunjung tinggi loyalitas dalam relasi komandan dan bawahan. Meskipun sudah menjadi Menteri Pertahanan dan Presiden Indonesia saat ini, Prabowo tidak segan untuk memberikan salam hormat khas militer kepada para mantan komandannya seperti Luhut  Binsar Pandjaitan, Agus Widjojo, Subagyo HS, dan lainnya. Dalam bukunya berjudul “Kepemimpinan Militer Catatan dari Pengalaman Prabowo”, ia bertutur dengan penuh haru bagaimana ia berjuang menyelamatkan komandannya Kapten TNI Anumerta Sudaryanto yang gugur di pelukannya pada saat Operasi Seroja, Timor Timur, pada 1976. Mungkin yang paling menyakitkan bagi Prabowo dalam sejarah karir militernya  adalah saat ia dicopot dari jabatan Pangkostrad oleh Wiranto. “I ask my self, I feel no shame”, demikian kalimat legendaris yang ia ucap saat tiga bintang itu dicopot dari pundaknya.

Seni Mengelola Kekuasaan ala Prabowo
Boy Anugerah (Istimewa).

PRESIDEN Prabowo Subianto baru-baru ini mengeluarkan pernyataan keras terkait kinerja para pembantunya. Pada puncak peringatan Harlah NU ke-102 di Istora Senayan beberapa hari yang lalu, ia mengisyaratkan akan menindak mereka yang tidak berkomitmen untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan tidak taat pada komando yang ia pegang. Pernyataan ini sontak mendapat tanggapan dari masyarakat luas, terutama para pengamat politik dan politisi yang menangkap ini sebagai peluang untuk kocok ulang komposisi kabinet.

Reshuffle atau kocok ulang kabinet memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden. Namun melakukannya pasca-100 hari menjabat tentu ada kejadian luar biasa (extra-ordinary matters) yang mendasarinya. Jika menggunakan logika yang paling sederhana, bisa jadi Presiden Prabowo menggunakan indikator-indikator kepuasan masyarakat selama seratus hari kepemimpinannya pasca dilantik, sebagai barometer utama dalam mengukur kinerja para pembantunya. Strategi evaluasi sedemikian pada dasarnya tidak lazim dalam politik. Merekomposisi kabinet dalam hitungan empat bulan berpotensi memecah soliditas koalisi.

Problematika         

Lalu apa yang lantas mendasarinya? Pertama-tama, kita harus memahami bahwa kabinet yang disusun oleh Presiden Prabowo adalah kabinet gemuk dengan penyerapan anggaran yang besar untuk operasionalisasi. Kabinet gemuk ini telah menjadi diskursus hangat di masyarakat dan menimbulkan sentimen-sentimen negatif terkait potensi pemborosan dan sebagainya. Namun demikian, dari perspektif riil politik, kebijakan Presiden Prabowo ini tepat. Ia perlu mengakomodasi para pendukungnya melalui skema meritokrasi politik; memberi jabatan dan kedudukan di kabinet bagi para pendukungnya pada masa  kampanye. Presiden Prabowo sangat menyadari akan ada ekses dari kebijakan tersebut, bukan saja potensi pemborosan, tapi pada implementasi program strategis yang ia gagas, seperti makan bergizi gratis yang sangat potensial terhambat faktor anggaran karena tersedot untuk pembiayaan kabinet.

Untuk keluar dari persoalan anggaran, suka tidak suka ia akhirnya menempuh kebijakan yang tidak populis bagi para pembantunya, melalui skema efisiensi anggaran. Yang digarisbawahi di sini adalah tidak populis untuk pembantunya, bukan tidak populis untuk rakyat. Pos-pos yang dianggap tidak terlalu penting seperti perjalanan dinas, jamuan makan, ATK, dan lain-lain dipangkas. Ia pun berkali-kali menegaskan kepada jajarannya untuk melakukan bersih-bersih, perbaikan dan penguatan komitmen untuk mendukung kesejahteraan rakyat. Sampai di sini kita sebenarnya bisa membaca secara telanjang betapa Presiden  Prabowo berada dalam situasi sangat tidak mudah dalam memulai tugasnya sebagai presiden rakyat.

Ada dua hal yang ingin ia pastikan, terselenggaranya janji kampanye untuk makan bergizi gratis yang menelan biaya besar, serta kepuasan rakyat terhadap kinerja pemerintahannya apapun situasinya. Di tengah berbagai kesulitan di awal ia memimpin, ia cukup cerdik sebagai politisi. Hasil survei Litbang Kompas yang menyebut tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Kabinet Merah Putih sebesar 80,9 persen tidak terlepas dari program-program populis yang digulirkan di masyarakat. Ada satu kalimat kunci yang perlu digarisbawahi di sini, yakni kebijakan populis di mata rakyat sebagai salah satu seni mengelola kekuasaan ala Presiden Prabowo.

Faktor idiosinkratik

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai proyeksi-proyeksi pengambilan keputusan oleh Presiden Prabowo ke depan, ada baiknya kita menggunakan satu parameter klasik dalam studi politik dalam menganalisis potensi keputusan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin. Analisis faktor idiosinkratik menjadi salah satu pisau analisis yang paling akurat dalam memprediksi kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh pemimpin politik.   Faktor idiosinkratik secara sederhana adalah mekanisme analisis terhadap individu berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan   dinamika kehidupannya pada fase yang paling krusial. Sayangnya analisis berdasarkan faktor idiosinkratik ini kerap luput digunakan, sehingga  para  kolega politik, rekan-rekan partai koalisi, seringkali gagal paham dalam menerjemahkan kemauan sang pemimpin. Pernyataan keras Presiden Prabowo untuk menindak jajarannya yang bandel dan ndableg adalah cermin nyata dari gagal paham tersebut.

Ada cerita-cerita menarik yang dapat dijadikan rujukan untuk memahami idiosinkratik Presiden Prabowo. Dalam sebuah siniar, seorang politisi senior PDI-P menceritakan bagaimana Megawati Soekarnoputri menugaskannya untuk  mencari tahu siapa sosok yang paling berpengaruh terhadap Prabowo. Hal ini terkait erat dengan kandidasi Megawati dan Prabowo di Pilpres 2009. Sang   politisi senior menyampaikan kepada Megawati, bahwa sosok paling penting itu adalah Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto. Megawati sontak tak langsung percaya. “Bukankah Hashim adalah adik dan Prabowo adalah kakak?”, tanya Megawati. “Betul”, kata sang politisi senior. “Tapi Prabowo sempat berkelakar bahwa Hashim menjadi orang paling penting dalam karir politiknya, karena ia donatur utama Prabowo, duitnya lebih banyak dari Prabowo”. Persitiwa menjelang Pilpres 2009 tersebut mungkin dianggap sebagai “kelakar tipis-tipis” bagi sebagian orang. Tapi percaya tidak percaya, posisi Hashim yang sedemikian strategis banyak digunakan oleh para politisi untuk masuk ke lingkaran Prabowo. Presiden Prabowo sendiri sangat diuntungkan dengan kapasitas dan ketangguhan Hashim. Setidaknya keberadaan Hashim yang dikenal sebagai pebisnis ulung mampu memproteksi Prabowo untuk tidak berhadapan langsung dengan para oligarki bisnis yang berpotensi menghambat kebijakan-kebijakannya sebagai pemimpin negara.

Kisah-kisah Prabowo kental dengan pengalamannya sebagai prajurit militer. Baginya, militer adalah dirinya sendiri. Ia sangat mencintai dunia kemiliteran. Prabowo adalah prajurit tempur, komandan lapangan, bukan prajurit di belakang meja. Pengalamannya yang panjang di dunia militer dan didikan keras ala prajurit Kopassus telah membentuk karakternya sebagai pemimpin yang selalu waspada, jeli memetakan ancaman, tegas dan tanpa kompromi, cepat mengambil keputusan, dan sangat menjunjung tinggi loyalitas dalam relasi komandan dan bawahan. Meskipun sudah menjadi Menteri Pertahanan dan Presiden Indonesia saat ini, Prabowo tidak segan untuk memberikan salam hormat khas militer kepada para mantan komandannya seperti Luhut  Binsar Pandjaitan, Agus Widjojo, Subagyo HS, dan lainnya. Dalam bukunya berjudul “Kepemimpinan Militer Catatan dari Pengalaman Prabowo”, ia bertutur dengan penuh haru bagaimana ia berjuang menyelamatkan komandannya Kapten TNI Anumerta Sudaryanto yang gugur di pelukannya pada saat Operasi Seroja, Timor Timur, pada 1976. Mungkin yang paling menyakitkan bagi Prabowo dalam sejarah karir militernya  adalah saat ia dicopot dari jabatan Pangkostrad oleh Wiranto. “I ask my self, I feel no shame, demikian kalimat legendaris yang ia ucap saat tiga bintang itu dicopot dari pundaknya.

Prabowo muda adalah pengagum berat Soekarno, proklamator sekaligus presiden pertama Indonesia. Tak pelak, cara berfikir Prabowo mengenai politik luar negeri, geopolitik, dan militer sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Soekarno. Dari praksis kebijakan luar negeri selama 100 hari ia menjabat, Prabowo seakan mengamini cara pandang Soekarno mengenai geografische constellatie. Indonesia akan menjadi negara yang tangguh apabila mampu memanajemen kapasitas domestik dan memperkuat pengaruh di level regional dan global. Prabowo serupa Soekarno dalam diplomasi, sangat aktif bergerak ke luar dan sangat asertif dalam menyampaikan pandangan-pandangannya di forum global. Ini pulalah yang melahirkan sinisme di kalangan pengamat yang menyebut Prabowo lebih aktif dari menlunya sendiri, Sugiono. Balik lagi pada kekaguman Prabowo pada Soekarno. Di ceritakan oleh Rosihan Anwar dalam bukunya Petite Histoire Indonesia, bahwa Prabowo remaja pernah berkelahi dengan teman bulenya semasa ia di pengasingan. Sang ayah, Sumitro Djojohadikusumo, bertanya kepada sang anak apa yang membuatnya berkelahi. Ternyata alasannya adalah karena sang teman menghina Soekarno, sosok yang sangat dikagumi oleh Prabowo. Perlu diketahui bahwa saat itu Sumitro, ayah Prabowo, sedang menjalani pengasingan diri di luar negeri karena berseteru secara politik dengan Soekarno.

Proyeksi kebijakan

Dengan membaca labirin-labirin kehidupan Prabowo sebagai cermin idiosinkratik beliau, kita sejatinya dapat membaca secara sederhana dan lugas bagaimana faktor- faktor tersebut dapat berkorelasi lurus dalam proses pengambilan keputusan oleh Presiden Prabowo sebagai kepala negara, termasuk kemungkinan-kemungkinan politik ke depan. Pertama, Presiden Prabowo sangat dipengaruhi oleh orang-orang terdekatnya dalam mengambil keputusan. Ada banyak sosok seperti Sufmi Dasco Ahmad, Sjafrie Sjamsudin, Mayor Teddy, tapi yang paling utama tentu sosok Hashim Djojohadikusumo yang setia menjadi penasehatnya sepanjang sejarah ia berkontestasi dalam politik nasional. Proses pengambilan keputusan Presiden Prabowo akan selalu mempertimbangkan masukan strategis dari orang-orang terdekatnya tersebut. Kedua, Presiden Prabowo Subianto sangat berambisi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berkekuatan militer yang tangguh di kawasan. Ini   pulalah yang menyelamatkan Kemenhan RI dari sasaran pemangkasan anggaran. Anggaran pertahanan diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun untuk memenuhi batas ideal. Presiden Prabowo juga menyampaikan pesan khusus pada Rapim TNI-Polri beberapa waktu yang lalu. Ia menghimbau segenap jajaran TNI-Polri untuk bekerja maksimal bagi rakyat karena mereka digaji oleh rakyat. Para jenderal bahkan dituntut untuk berkorban nyawa bagi republik. Tingginya urgensi dunia militer bagi Presiden Prabowo berpotensi pada bagaimana ia mengelola kabinetnya. Pembekalan berbasis militer kepada para menteri dan pejabat yang setara diuji dengan sikap Presiden Prabowo yang kerap melakukan sidak pada rapat-rapat kementerian, khas komandan militer. Para menteri kabinet seakan diberikan isyarat bahwa pembekalan ala militer yang sudah diberikan akan diuji pada saat mereka melaksanakan tugasnya. Siapa yang dianggap tidak disiplin, apalagi mengambil kebijakan-kebijakan yang menurunkan popularitas dan elektabilitas Presiden Prabowo Subianto akan ditindak secara tegas. Pada poin ini, kocok ulang kabinet pada periode sangat awal pemerintahannya sangat mungkin untuk dilakukan sebagai resultante seni mengelola kekuasaan ala militer yang dipraktikkan oleh Presiden Prabowo.

Terakhir, ini yang paling menarik. Terkait kemungkinan Presiden Prabowo menggandeng PDI-P dalam koalisinya. Dalam beberapa kesempatan, Presiden Prabowo selalu menegaskan bahwa sosok Soekarno bukanlah milik satu partai politik. Hal ini dapat dibaca sebagai salah satu strategi beliau dalam mempersonifikasi dirinya sebagai sosok penerus Soekarno secara ideologi. Para pendukungnya pun kerap menyamakan seni orasi Presiden Prabowo yang menggebrak meja serupa dan satu level dengan Soekarno. Bagi PDI-P yang mengklaim sebagai partai ideologis Soekarno, sikap dan gesture politik Presiden Prabowo ini menjadi suatu hal yang sangat challenging. Upaya pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Megawati pun saat ini masih terus diupayakan. Apakah nantinya PDI-P akan bergabung dalam koalisi atau bahkan menempati pos- pos kosong pasca-reshuflle, menjadi sirkumstansi politik yang paling ditunggu. Reshuffle akan selalu menjadi political game yang menarik untuk dicermati, karena jika satu pos berkurang bagi satu parpol, berarti potensi penambahan bagi parpol lainnya. Menarik untuk ditunggu manuver elit  politik dalam menyikapi potensi reshuffle ke depan. Logika koalisi pasti akan dipakai. Tapi faktor idiosinkratik dalam pengambilan keputusan, tampaknya akan menjadi faktor paling dominan bagi sosok Prabowo Subianto. Lets see.(*)

Boy Anugerah

Analis Kerja Sama Luar Negeri Lemhannas RI (2015-2017)/Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI/Tenaga Ahli di DPR RI.