Petani dan Produsen Pangan Lokal Perlu Dilibatkan Dalam MBG
Setiap kebijakan yang berskala besar memerlukan tahapan implementasi yang matang. Dalam konteks program Makan Bergizi Gratis, terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan agar kebijakan ini benar-benar mencapai sasaran dengan efektivitas yang maksimal.
KORANBERNAS.ID, JAKARTA—Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah maju dengan menginisiasi program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah kebijakan ambisius yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan gizi di kalangan masyarakat, terutama bagi anak-anak sekolah.
Namun, pelaksanaan program ini masih perlu pembuktian dalam implementasi. Termasuk salah satunya adalah perlunya melibatkan petani dan produsen pangan lokal, sebagai rantai pasok dalam program ini.
Ketua Organisasi PRAKA (Prabowo Kami), Dimas Riarsyahalam, mengatakan, kebijakan Presiden Prabowo Subianto ini merupakan upaya yang patut diapresiasi, namun juga sebagai tantangan besar yang memerlukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
Sejarah telah mengajarkan bahwa setiap kebijakan yang berskala besar memerlukan tahapan implementasi yang matang. Dalam konteks program Makan Bergizi Gratis, terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan agar kebijakan ini benar-benar mencapai sasaran dengan efektivitas yang maksimal. Mulai dari sistem distribusi, keberlanjutan anggaran, keterlibatan sektor pertanian lokal, hingga pengawasan kualitas makanan yang diberikan kepada penerima manfaat.
“Pada tahap awal, kita bisa melihat bahwa program ini berpotensi besar dalam mengatasi masalah malnutrisi yang masih menjadi momok bagi banyak anak Indonesia,” kata Dimas dalam siaran persnya, Sabtu (8/2/2025).
Berdasarkan data yang ada, katanya, masih banyak anak sekolah yang mengalami gizi buruk, kurangnya asupan protein, serta keterbatasan akses terhadap makanan sehat.
Melalui program ini, pemerintah berusaha memastikan bahwa setiap anak mendapatkan makanan dengan gizi seimbang yang bisa mendukung tumbuh kembang mereka secara optimal. Namun, tantangan muncul ketika implementasi di lapangan masih menghadapi kendala, baik dari segi logistik, koordinasi antar-lembaga, maupun kesiapan infrastruktur di berbagai daerah.
"Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memastikan keterlibatan petani dan produsen pangan lokal dalam rantai pasok program ini. Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya dan sektor pertanian yang luas, namun masih banyak petani kecil yang kesulitan menjual hasil panennya dengan harga yang layak,” katanya menjelaskan.
Program Makan Bergizi Gratis, menurut Dimas, seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan kebutuhan pangan bagi anak-anak dengan keberlanjutan ekonomi petani lokal. Dengan demikian, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh anak-anak sekolah, tetapi juga oleh masyarakat luas yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
Standar Kualitas
Selain itu, standarisasi kualitas dan keamanan makanan juga menjadi perhatian utama. Setiap makanan yang disalurkan harus memenuhi standar gizi yang telah ditetapkan agar manfaatnya benar-benar dapat dirasakan. Oleh karena itu, pengawasan yang ketat perlu diterapkan, baik dari proses produksi, distribusi, hingga ke tangan anak-anak yang akan mengonsumsinya.
Sistem pengawasan berbasis teknologi dapat menjadi solusi dalam memastikan bahwa makanan yang diberikan tetap segar, sehat, dan aman.
Program ini juga membutuhkan keberlanjutan anggaran yang kuat. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu memikirkan bagaimana cara agar pendanaan program ini tetap stabil tanpa mengorbankan sektor lain yang juga penting. Model pembiayaan yang melibatkan berbagai sektor, termasuk kerja sama dengan swasta dan organisasi masyarakat, dapat menjadi alternatif yang perlu dieksplorasi lebih lanjut.
Dari segi implementasi sektoral, program ini harus dijalankan dengan menyesuaikan kebutuhan daerah masing-masing. Tidak semua wilayah di Indonesia memiliki infrastruktur dan akses logistik yang sama. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih fleksibel diperlukan agar setiap daerah bisa mengadaptasi program ini sesuai dengan kondisi setempat.
Pemerintah daerah harus diberikan kewenangan lebih besar untuk mengelola program ini dengan pendekatan yang berbasis pada kebutuhan lokal.
“Kami melihat bahwa keterlibatan masyarakat, terutama generasi muda, sangat diperlukan dalam memastikan transparansi dan efektivitas program ini. Pemuda dapat mengambil peran sebagai relawan, pengawas independen, hingga pelaku usaha sosial yang membantu dalam distribusi dan edukasi gizi kepada masyarakat,” lanjutnya.
Keberhasilan dari program ini, kata Dimas, bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga tanggung jawab bersama sebagai masyarakat. Dengan kolaborasi yang erat antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta, dan komunitas lokal, program ini bisa menjadi landasan kuat dalam membangun generasi masa depan yang lebih sehat, cerdas, dan berdaya saing. (*)