Fraksi Partai Golkar DPRD DIY Ingin Danais untuk Menuntaskan Kemiskinan
Dalam tiga tahun terakhir angka kemiskinan di DIY selalu di atas target yang diharapkan.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Lebih satu dasa warsa keistimewaan DIY, Dana Keistimewaan (Danais) yang sudah digelontorkan pemerintah pusat melalui APBN total mencapai lebih dari Rp 10 triliun. Danais dialokasikan untuk lima kewenangan yaitu kebudayaan, tata ruang, pertanahan, kelembagaan serta pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur.
Realitanya, angka kemiskinan di provinsi ini masih cukup tinggi. “Pertanyaannya, apakah kesejahteraan masyarakat sudah tercapai? Salah satu tujuan keistimewaan DIY adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sementara angka kemiskinan DIY, indeks gini, persoalan lingkungan dan sampah di DIY masih belum terselesaikan,” kata Syarief Guska Laksana, Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) DPRD DIY.
Saat jumpa pers, Rabu (4/12/2024) di DPRD DIY, Guska menyatakan FPG DPRD DIY menginginkan penggunaan danais dimaksimalkan untuk menuntaskan kemiskinan.
Sebagai gambaran, sampai Triwulan III tahun 2024 angka kemiskinan di DIY mencapai 10,83 persen. Target angka kemiskinan di DIY berdasarkan RPJMD tahun 2024 sebesar 10,16 persen. Artinya capaian penurunan angka kemiskinan di DIY baru mencapai 93,81 persen. Angka ini jauh di atas angka rata-rata nasional 9,03 persen pada Juli 2024.
Menjadi catatan
Politisi muda alumnus UII Yogyakarta itu lebih lanjut menyatakan bertepatan dengan momentum akhir tahun 2024 persoalan kemiskinan menjadi catatan atas capaian kinerja Pemda DIY yang patut memperoleh perhatian.
“Beberapa catatan Indikator Kinerja Utama (IKU) Pemda DIY sampai sekarang belum tercapai sampai dengan Triwulan III tahun 2024 di antaranya adalah angka kemiskinan serta Indeks Gini,” ungkapnya.
Disebutkan, dalam tiga tahun terakhir angka kemiskinan di DIY selalu di atas target yang diharapkan. Pertanyaannya, apakah indikator kemiskinan berbasis pengeluaran masih relevan untuk kasus DIY?
Merujuk BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2024 baseline kemiskinan sebesar Rp 602.437 per kapita per bulan. “Apakah baseline tersebut masih relevan digunakan di DIY mengingat resiliensi pangan di DIY cukup tinggi?” kata Guska.
Dia berpendapat tingginya angka kemiskinan di DIY yang melebihi rata-rata angka kemiskinan nasional disebabkan resiliensi pangan dan kepemilikan aset di DIY yang cukup tinggi.
Ketahanan pangan
Banyak masyarakat di DIY mengandalkan ketahanan pangan, karena kebutuhan pangannya tercukupi oleh lingkungan. Ditambah lagi masih kuatnya gotong royong masyarakat yang luar biasa serta adanya kepemilikan aset berupa pohon jati dan ternak yang bisa menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Selain itu, masyarakat DIY juga bukan merupakan masyarakat yang konsumtif, sehingga pengeluaran masyarakat bisa ditekan yang mengakibatkan pengeluaran masyarakat di bawah baseline angka kemiskinan.
Mengenai Indeks gini di DIY, menurut Guska, juga masih jauh dari target yang ditentukan bahkan di atas angka rata-rata nasional. Indeks gini adalah indikator untuk mengukur ketimpangan kekayaan warga masyarakat. Apabila angka 0 berarti terjadi pemerataan kekayaan sedangkan angka 1 menunjukkan kondisi kekayaan yang benar-benar timpang yang didominasi oleh sebagian masyarakat.
Menurut dia, indeks gini di DIY pada Maret 2024 berada pada angka 0,435 melebihi melebihi target RPJMD 2024 pada angka 0,419. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa capaian target indeks gini di DIY masih jauh dari harapan, bahkan melebihi rata-rata indeks gini nasional sebesar 0,379.
Ketimpangan kekayaan
“Di DIY masih terjadi ketimpangan kekayaan yang cukup tinggi di masyarakat. Rendahnya capaian indeks gini DIY karena adanya ketimpangan wilayah. Di mana pembangunan wilayah selatan kurang mendapatkan perhatian dibandingkan wilayah utara,” ujarnya.
Hal ini pararel dengan tingginya angka kemiskinan di wilayah Kabupaten Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul dibandingkan wilayah utara meliputi Sleman dan Kota Yogyakarta.
“Angka kemiskinan tahun 2024 di Bantul sebesar 11,66 persen, Gunungkidul 15,18 persen, Kulonprogo 15,62 persen sedangkan di Yogyakarta 6,26 persen dan Sleman 7,46 persen,” kata Guska.
Pada bagian lain terkait problem sampah, putra dari anggota DPR RI Gandung Pardiman itu menyatakan penutupan TPST Piyungan menjadikan persoalan sampah di DIY tidak selesai dan bahkan sudah berlangsung selama lebih dari satu tahun.
Sampah mulai menggunung di depo-depo sampah Kota Yogyakarta dan menimbulkan cairan lindi yang mengganggu lingkungan karena menimbulkan bau tidak sedap.
Belum terselesaikan
Selain itu, timbulan sampah terjadi di mana-mana termasuk di trotoar yang mengganggu estetika, kesehatan dan kenyamanan warga. Permasalahan sampah di DIY, khususnya Kota Yogyakarta sampai sekarang belum terselesaikan karena keterbatasan lahan. Desentralisasi pengelolaan sampah menjadi “petaka” bagi Kota Yogyakarta yang “relatif” tidak mempunyai lahan dalam pengelolaan sampah.
FPG DPRD DIY juga melihat ada problematika yang sampai sekarang belum terurai yaitu peredaran minuman beralkohol yang marak terjadi hingga puncaknya terjadinya penganiayaan terhadap santri Krapyak pada 22 Oktober silam sehingga menimbulkan gejolak masyarakat ramai-ramai menolak peredaran minuman beralkohol di DIY.
“Perda DIY Nomor 12 Tahun 20215 telah terjadi banyak pelanggaran penjualan, peredaran dan/atau penyimpanan minuman beralkohol dan oplosan. Bahkan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY menemukan mayoritas penjual minuman beralkohol di DIY tidak mempunyai izin,” katanya.
Selain itu, peredaran minuman beralkohol juga banyak dilakukan di tempat-tempat yang dilarang, pelaku usaha masih memperjualbelikan minuman beralkohol kepada konsumen di bawah usia 21 tahun, penjualan minuman beralkohol masih banyak dilakukan secara online maupun layanan antar.
Alih fungsi lahan
Guska menambahkan, alih fungsi lahan pertanian masih terus terjadi, diperkirakan mencapai 150-200 hektar per tahun. Bahkan menurut perkiraan akan terjadi kekurangan lahan pertanian pada tahun 2040-2050. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian perlu menjadi perhatian Pemda DIY bersama pemerintah kabupaten.
Persoalan lain yang juga perlu memperoleh perhatian adalah keberadaan DIY sebagai destinasi wisata kedua setelah Bali. Pada setiap libur akhir tahun maupun long weekend selalu kebanjiran wisatawan. Pada satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian DIY, namun pada sisi lain berdampak terhadap kemacetan.
Perlu ada penataan lalu lintas agar tidak terjadi penumpukan kendaraan pada area pusat wisata seperti Malioboro, pusat kuliner maupun budaya (Kotagede dan Keraton).
Dari berbagai persoalan itu, Fraksi Partai Golkar DIY DPRD DIY berharap Pemda DIY melakukan langkah-langkah yang terukur dan tepat. Pertama, optimalisasi danais untuk pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam layanan kebutuhan dasar, penciptaan lapangan kerja, serta membangun karakter manusia DIY yang memegang teguh budaya Jawa yang adiluhung.
Kondisi khas DIY
Kedua, optimalisasi pembangunan di wilayah selatan DIY khususnya pemenuhan layanan kebutuhan dasar. Ketiga, Pemda DIY melakukan kajian atas kemiskinan DIY yang disesuaikan dengan kondisi khas DIY. Perlunya kajian multidimensional kemiskinan, mengingat data BPS sebagai rujukan kebijakan secara nasional.
Keempat, mengedepankan sinergi dan kolaborasi antar sektor agar program kegiatan dan capaian kinerja Pemda DIY tepat sasaran, dapat diukur dan memberi dampak bagi masyarakat. Kelima, Pemda DIY perlu membantu penanganan pengelolaan sampah yang terjadi di Kota Yogyakarta.
Keenam, optimalisasi dan sinergi antar pemerintah DIY dengan kabupaten terkait dengan pelaksanaan Perda tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan dalam mengurangi laju alih fungsi lahan di DIY.
Ketujuh, optimalisasi penataan lalu lintas di DIY untuk mencegah adanya kemacetan saat liburan. Kedelapan, penegakan Perda DIY No 12 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol serta Pelarangan Minuman Oplosan perlu melibatkan semua pihak baik pemerintah, lembaga masyarakat, masyarakat dan aparat penegak hukum. (*)