Nguber Drummer Street Jam Ubah Malioboro Jadi Akademi Musik
Kami memilih keluar dari konsep konvensional pembelajaran musik yang terkurung dalam ruangan.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Yogyakarta kembali membuktikan sebagai kota episentrum budaya yang terus berevolusi. Di tengah hiruk pikuk Malioboro, sebuah gerakan bernama Nguber Drummer Street Jam telah mengubah paradigma pendidikan musik di Indonesia.
Inisiatif yang dikepalai oleh Bowie Champa dan Yandi Andaputra kali ini membawa konsep akademi jalanan atau street academy yang unik yaitu menghadirkan masterclass drum dalam suasana santai di ruang publik.
"Nama Nguber sebenarnya adalah singkatan dari Ngulik Bersama," jelas Bowie Champa ditemui di sela acara Nguber Drummer Street Jam, Sabtu (18/1/2025), di pintu Barat Kompleks Kepatihan Yogyakarta.
"Kami memilih untuk keluar dari konsep konvensional pembelajaran musik yang biasanya terkurung dalam ruangan," lanjutnya.
Lokasi ikonik
Menurut dia, pilihan untuk menggelar acara di lokasi-lokasi ikonik seperti depan Kepatihan Yogyakarta bukan tanpa alasan. Strategi ini terbukti berhasil menarik perhatian publik dan melahirkan momen-momen tak terduga.
Salah satu kisah yang menjadi viral di TikTok adalah ketika seorang santri dari salah satu sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta spontan bergabung membawa stik drum-nya. Momen ini menjadi bukti nyata bagaimana musik bisa menjembatani perbedaan latar belakang sosial dan budaya.
Kesuksesan Nguber tidak berhenti di Yogyakarta. Program ini telah menjangkau lebih dari 200 drummer dari berbagai kota, bahkan mencapai Pulau Maratua di Kalimantan Timur.
"Di Maratua, yang dikenal sebagai 'Maldives Indonesia', kami menemukan anak SD yang mahir bermain drum meski dalam lagu dangdut. Ini membuktikan bahwa bakat musik ada di mana-mana, hanya butuh wadah untuk berkembang," ungkapnya.
Drummer cilik
Seakan menjawab semangat ini, muncul sosok Adyatma Ihsan, drummer cilik berusia 11 tahun yang telah merilis album religi bersama bandnya, Rachel dan Isan. Ihsan, yang mulai bermain drum sejak umur empat tahun, membuktikan bahwa usia bukan halangan untuk berkarya.
"Aku lebih suka drum akustik karena terasa lebih real," ujar siswa berprestasi yang mengidolakan Ray Prasetya, Echa Sumantri dan Rayendra Sunito ini.
Fenomena Nguber Drummer dan munculnya talenta seperti Ihsan menunjukkan transformasi signifikan dalam ekosistem musik Indonesia.
Dengan dukungan Dinas Pariwisata dan Pemerintah Daerah, inisiatif ini tidak hanya menjadi wadah pengembangan bakat, tetapi juga gerakan sosial yang lebih luas. "Kami punya tiga misi utama," tegas Yandi Andaputra menambahkan.
Ketergantungan gadget
Pertama, lanjut Yandi, menunjukkan bahwa profesi musisi adalah pilihan karier yang layak. Kedua, mengalihkan perhatian generasi muda dari ketergantungan gadget melalui musik. Ketiga, menjamin regenerasi musisi Indonesia khususnya drummer.
Keberhasilan program ini juga terlihat dari kolaborasi yang terjalin dengan berbagai pihak, mulai dari prajurit Lombok Abang Keraton Yogyakarta, Komunitas GRSB (Gilang Ramadan Drum School) hingga musisi profesional Yogyakarta seperti Andra Fareza, Dhani Eriyawan dan Paulus Neo.
Bahkan, sebelumnya program ini telah berkolaborasi dengan penyanyi Gen Z seperti Ziva Magnolya. Di tengah era digital yang sering dianggap mengikis interaksi sosial, Yogyakarta membuktikan bahwa musik jalanan masih punya tempat di hati masyarakat.
Melalui Nguber Drummer Street Jam dan munculnya talenta-talenta muda seperti Adyatma Ihsan, Yogyakarta tidak hanya melestarikan warisan budayanya, tetapi juga menciptakan narrative baru dalam pendidikan musik Indonesia.
Berjalan beriringan
"Musik adalah bahasa universal," kata dia, mencerminkan semangat yang sama dengan visi Nguber Drummer.
Dari jalanan Malioboro hingga panggung profesional, Yogyakarta terus membuktikan perannya sebagai tempat di mana tradisi dan inovasi berjalan beriringan, melahirkan generasi musisi yang tidak hanya berbakat, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi. (*)