Mediasi Gagal, Sidang Diskriminasi Layanan Publik Berlanjut

Mediasi Gagal, Sidang Diskriminasi Layanan Publik Berlanjut
Siput Lokasari memperlihatkan berkas yang ditandai dengan tulisan nonpribumi oleh petugas di Kulonprogo. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id) 

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Upaya mediasi dalam sidang gugatan perdata atas perkara diskriminasi layanan publik yang dialami oleh warga Kulonprogo di Pengadilan Negeri (PN) Jogja gagal. Sejumlah tergugat dan penggugat tidak mencapai kesepakatan sehingga sidang dilanjutkan dengan pembacaan gugatan dari penggugat.

Sidang pembacaan gugatan yang digelar pada Kamis (4/4/2024) kembali ditunda hingga 25 April mendatang. Salah satu tergugat tidak hadir dalam sidang tersebut. Agenda selanjutnya adalah jawaban dari para tergugat atas pembacaan gugatan penggugat.

Kasus ini bermula dari pengalaman Veronica Lindayati (penggugat I) pada tahun 2016 di Kantor Pertanahan Kulonprogo. Ia mengaku disebut nonpribumi dan tidak mendapat pelayanan. Pengalaman serupa juga dialami suaminya, Siput Lokasari (penggugat II).

Penggugat telah mengadu ke Presiden Jokowi, Menkopolhukam RI, dan sejumlah pejabat lainnya, tetapi tidak mendapat respons. Ketidakadilan ini mendorong mereka membawa kasus ini ke meja hijau dan menggugat Presiden, Menkopolhukam, dan sejumlah pejabat lainnya.

Kuasa hukum penggugat, Oncan Poerba, menegaskan tuntutan mereka: adanya perbuatan melawan hukum dengan menyebutkan penggugat I sebagai nonpribumi saat mengurus sertifikat tanah.

“Jika tergugat menolak bahwasanya itu perbuatan melawan hukum, silahkan dibuktikan. Kami juga akan melakukan hal yang serupa dan membuktikan apa yang sudah terjadi dan penolakan terhadap klien kami,” kata Oncan.

Siput Lokasari menegaskan bahwa pernyataan pejabat publik yang menyebut istrinya sebagai nonpribumi adalah tindakan diskriminasi. Padahal, Veronica Lindayati adalah WNI sah.

“Apa ada WNI nonpribumi? Harusnya mereka itu malu dan mengakui kalau mereka salah,” kata Siput.

Siput kecewa karena dalam persidangan, para tergugat tidak membahas substansi gugatan tentang diskriminasi layanan publik dan penyebutan nonpribumi. Mereka malah membahas aturan khusus di Yogyakarta soal kepemilikan tanah.

“Apa urusannya? Justru itu kan menguatkan bahwa perbuatan dan pikiran mereka rasis. WNI nonpribumi itu tidak ada, adanya hanya di zaman Belanda dulu,” tegas Siput. (*)