Masa Awal Akmil Yogyakarta yang Tidak Mudah

Masa Awal Akmil Yogyakarta yang Tidak Mudah

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA—Akademi Militer (Militaire Academie) di Yogyakarta, 1945-1940, bukanlah saat yang mudah. Pengelola sekolah ketentaraan kala itu, musti berjuang dengan segala keterbatasan. Baik sarana prasarana, maupun kesulitan dalam mencari anak muda yang ingin masuk pendidikan.

Salah satu saksi sejarah keberadaan Akmil Yogyakarta, yakni Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo menuturkan, keberadaan Akmil di Yogyakarta berawal dari surat yang dikeluarkan oleh Pimpinan Markas Besar Tentara di Yogyakarta yaitu Letjen Oerip Soemohardjo, pada tanggal 31 Oktober 1945.

Bermodal surat inilah, diadakan pengumuman kepada para pemuda terutama di Yogyakarta.

“Ternyata tidak mudah mencari siswa. Pada angkatan ketiga tahun 1950, hanya sedikit pemuda pemudi yang mendaftar. Karena jumlahnya terbatas, Pimpinan Angkatan Darat kemudian mengirim mereka ke negeri Belanda untuk mengikuti pendidikan di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda,” kata Sayidiman, dalam Seminar “Mengenang Peran Akademi Militer Yogya Dalam Peran Gerilya di Wilayah Yogyakarta 1948-1949”, Sabtu (22/2/2020). Seminar diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Akmil Yogyakarta (IKAM) dan digelar dalam rangka pengembangan desa wisata perjuangan Selomartani Sleman.

Disebutkan, Pimpinan Markas Besar Tentara telah membuka Akademi Militer dengan kesadaran bahwa perlawanan terhadap Belanda yang terus mengusahakan penjajahan kembali Indonesia, akan berlangsung lama.

Oleh karena itu diperlukan tenaga pimpinan yang bisa melanjutkan perjuangan melawan penjajah untuk jangka waktu lama. Karena itu sifat Akmil Yogyakarta tertuju untuk mempersiapkan tenaga pimpinan itu, untuk menghadapi penjajah Belanda pada tahun 1945.

“Karena itu, motif atau dorongan pemuda masuk Akmil Yogyakarta berbeda dengan pemuda yang sekarang menjadi Taruna Akmil Magelang. Pada waktu itu motif kami masuk Akmil Yogyakarta adalah untuk siap bertempur dan mampu menjalankan berbagai tugas yang bersangkutan dengan itu. Hal tersebut tentu berbeda dengan motif para Taruna Akmil Magelang sejak tahun 1957. Namun demikian saya yakin bahwa dasar dari keinginan para pemuda Indonesia masuk Akmil tetap sama, yaitu bagaimana ia dapat mengabdi, memberikan jiwa dan raganya untuk kepentingan bangsa dan negara. Mungkin dahulu untuk langsung menghadapi pertempuran, sedangkan saat ini memupuk kemampuan-kemampuan yang bermanfaat untuk mengabdi kepada bangsa dan negara,” katanya lebih lanjut.

Pendidikan taruna kala itu, menurut Sayidiman memang lebih ditujukan kepada persiapan perwira-perwira yang cukup andal di medan pertempuran. Sehingga di samping pendidikan di sekolah, mereka mendapat kewajiban melakukan tugas lapangan, yang secara langsung menghadapi masalah operasi dengan pihak Belanda.

“Akhir Desember 1945, Jenderal Mayor Soewardi, membawa 27 Taruna menjalankan tugas lapangan di Front Mojokerto Jawa Timur selama dua bulan, sebelum kembali ke Yogyakarta untuk bersama-sama Taruna yang lain menjalankan kuliah. Setelah itu, masih banyak lagi tugas lapangan di berbagai wilayah. Termasuk menghadapi aksi militer Belanda 21 Juli 1947 dan menghadapi pemberontakan PKI di Madiun September 1948,” kata Sayidiman mengenang.

Selain dikenal cakap dalam teori dan tangguh dalam pertempuran nyata, para Taruna Akmil Yogyakarta, menurut Sayidiman, juga memiliki jiwa patriot yang tinggi. Dia lantas menunjuk pada Pertempuran Plataran di Kalasan, yang membuktikan tingginya patriotisme para taruna.

Pertempuran ini bermula dari tertembaknya seorang Taruna Akmil Yogyakarta. Celakanya, di saku taruna tersebut, terdapat peta lengkap keberadaan pasukan Akmil.

Untuk menghindari serangan Belanda, maka markas tentara Akmil di Kringinan harus dipindah.

Guna mengamankan pemidahan pasukan utama, ditempatkanlah sejumlah pasukan di Plataran, untuk menghadang pasukan Belanda.

“Pasukan Belanda yang berusaha mencari dan mengejar, dihadang oleh pasukan kita di Plataran. Terjadilah pertempuran yang lebih pas disebut perang pengorbanan. Karena banyak taruna kita yang gugur di sana,” lanjutnya.

Kepiawaian tentara Indonesia kala itu, juga diungkapkan oleh Atmadji Sumarkidjo, wartawan senior dan penulis sejumlah buku sejarah kemiliteran. Menurut Atmadji, walaupun pimpinan-pimpinan TNI di Jawa kala itu relatif masih muda, tapi mampu bersikap realistis dan pragmatis.

Mereka cepat belajar dari berbagai medan tempur menghadapi pasukan penjajah. Mereka juga berhasil menemukan strategi pertahanan yang ampuh dan tepat, menghadapi pasukan yang lebih kuat secara persenjataan.

Pemikiran cerdas dari para intelektual militer kala itu, mampu merumuskan secara rinci cara melawan musuh yang superior, justru dengan teori-teori perang klasik Barat.

“Satu contohnya, adalah pemikiran asymmetric war atau perang asimetris dalam bentuk perang gerilya dan mampu menyeret pasukan Belanda untuk berhadapan dalam perang jangka panjang yang melelahkan,” kata Adji.

Pengurus IKAM, Indroyono Seosilo selaku penggagas pengembangan desa wisata perjuangan Selomartani Sleman mengatakan, jejak sejarah Akmil Yogyakarta ini, menjadi modal penting bagi bangsa. Menurut dia, sejarah ini perlu diketahui oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang, agar nilai-nilai kejuangan dan petriotisme dapat menjadi lecutan semangat untuk terus berkarya bagi negeri. (SM)