Macapat Tatag Teteg Tutug, Tembang Harapan untuk Lestarinya Budaya Yogyakarta

Macapat Tatag Teteg Tutug, Tembang Harapan untuk Lestarinya Budaya Yogyakarta
Pembukaan Macapat Tatag Teteg Tutug di Taman Pintar Yogyakarta, Senin (29/3/2023). (anung marganto/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Sebanyak 200 pelestari sastra lokal Macapat mengadakan pertunjukan Macapat Tatag Teteg Tutug di Hall Phytagoras Taman Pintar Yogyakarta. Agenda ini seiring dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 Pemerintah Kota Yogyakarta, Senin hingga Rabu (29-31/5/2023).

Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, mengatakan macapat selama ini menjadi kekayaan intelektual masyarakat Jawa yang perlu terus dipertahankan dan diselaraskan dengan perkembangan zaman. Ini pula yang menjadi alasan Kundha Kabudayan rutin menggelar agenda seperti itu.

"Sejak awal kemunculannya, berbagai jenis tembang macapat dan cara pelantunnya sudah kasarira (embody) dalam kehidupan sehari-hari. Kakek nenek moyang kita tidak perlu usaha keras menghafalkan dan mempelajari macapat baik struktur metrum maupun pola pelantunnya. Macapat sudah menjadi nafas keseharian dan sesuai dengan irama hidup orang Jawa. Tidak mengherankan pada zaman dahulu, sering kita temui orang bekerja sambil rengeng-rengeng (bersenandung)," jelasnya.

Lebih lanjut Yetti Martanti menyatakan pertunjukan macapat tersebut dengan melantunkan donga tolak bala dalam bentuk tembang Pangkur, Serat Piwulang Patraping Gesang dalam bentuk tembang Dhandhanggula, Kinanthi dan Mijil serta gendhing-gendhing dolanan seperti Ilir-ilir, Gundul-gundul pacul, Lancaran Milangkori, Lancaran Kuwi Apa Kuwi dan Lancaran Mbok-ya Mesem.

“Kemudian dilanjutkan dengan Pandonga Murih Raharjaning NKRI, ditutup dengan Sekar Pangkur Segara Kidul. Seperangkat gamelan ditabuh oleh pengrawit mengiringi lantunan tembang pada gelar macapat ini,” jelas Yetti.

Tema Tatag Teteg Tutug diangkat dengan harapan agar dapat menumbuhkan mental yang kuat di kalangan masyarakat Kota Yogyakarta terutama dalam hal pelestarian budaya. Hal ini diartikan kuat mental menjalani tantangan, konsisten untuk terus teguh dalam pendirian dan tanggung jawab sampai tuntas dalam mengerjakan sesuatu.

“Mereka berasal dari paguyuban macapat 14  kemantren di Kota Yogyakarta. Menariknya mereka hadir mengenakan busana tradisional gagrak Ngayogyakarta jangkep. Surjan/kebaya lurik, kain jarik, lengkap dengan keris dan blangkon motif Yogyakarta,” kata Yetti.

Peneliti Balai Bahasa DIY Dr Ratun Untoro mengapresiasi agenda gelar macapat tersebut. "Ini bentuk perhatian, dukungan dan keterlibatan Pemkot Yogyakarta dalam pembinaan, perlindungan, dan pelestarian macapat,” ungkapnya.

Menurut Ratun, saat ini macapat sudah menjadi ilmu yang dipelajari struktur dan pola pelantunnya. Oleh karena sudah menjadi ilmu, perlu terus dipelajari dan dipraktikkan berulang-ulang baik saat formal maupun informal.

“Pergeseran macapat dari nafas kehidupan menjadi sebuah ilmu pengetahuan bisa dipandang sebagai keunggulan sekaligus kelemahan yang perlu kita pikirkan bersama,” kata dia.

Hadir sebagai narasumber dari Keraton Yogyakarta KMT Projo Suwasana dan KRT Wijaya Pamungkas, dari Puro Pakualaman Mas Ngabehi Citropanambang serta dari Balai Bahasa DIY Dr Ratun Untoro. (*)