Lima Bulan Terlunta-lunta Pengemudi Becak Datangi DPRD DIY

Lima Bulan Terlunta-lunta Pengemudi Becak Datangi DPRD DIY

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Tidak hanya pemerintah yang merasakan beratnya dampak pandemi virus Corona atau Covid-19, masyarakat lapisan bawah bahkan merasakannya lebih berat lagi.

Begitulah yang dialami sejumlah pengemudi becak di DIY. Selama lima bulan mereka hidup terlunta-lunta. “Kami hidup dari para dermawan,” ungkap Parmin (56), Rabu (19/8/2020).

Mewakili rekan-rekannya tergabung dalam Paguyuban Becak Motor Yogyakarta (PBMY), siang itu ratusan orang pengemudi becak mendatangi gedung DPRD DIY di Jalan Malioboro guna menyuarakan aspirasinya.

Di hadapan Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana serta instansi terkait, Parmin mengemukakan kondisi rekan-rekannya selama masa pandemi. Pemasukan mereka turun drastis seiring tidak adanya wisatawan berkunjung ke Malioboro maupun Kota Yogyakarta.

Sedangkan bantuan yang mereka harapkan selama ini tidak kunjung turun padahal sudah mengumpulkan identitas. Kabarnya bantuan disalurkan melalui kelurahan. “Kita nggak tahu, yang baru tersentuh (bantuan) berapa orang,” ujarnya kepada wartawan usai audiensi.

Tatkala Malioboro kini relatif mulai ramai dikunjungi wisatawan, Parmin dan rekan-rekannya berharap dapat kembali mengais rezeki.

Bagi mereka, berbulan tanpa penghasilan rasanya sungguh kurang mengenakkan. “Tiga bulan blas nggak bisa narik. Kalau hari biasa bisa empat kali (mengangkut penumpang),” kata dia.

Persoalannya, saat para pengemudi becak bersiap mulai bangkit terdapat aturan yang dirasa cukup merepotkan mengingat sebagian titik tempat mereka mencari nafkah belum bisa dibuka, salah satunya dekat Benteng Vredeburg. “Mbok iya sithik edhing,” kata Parmin berharap.

Merespons hal itu, Huda Tri Yudiana mengatakan memang pemerintah belum bisa sepenuhnya membuka destinasi wisata. Selama Covid-19 pemerintah hanya bisa bertahan agar ekonomi berjalan meskipun pelan.

“Semua yang berurusan dengan ekonomi kita buka pelan-pelan sesuai protokol kesehatan. Jangan dibuka langsung, kami khawatir terjadi penularan. Kami tidak ingin terjadi ledakan Covid-19. Protokol kesehatan tetap nomor satu,” kata Huda.

Terus terang dia mengakui sekaligus memohon maaf selama ini DPRD DIY serta Pemda DIY gagap menghadapi pandemi. Butuh konsep yang harus dijalankan hati-hati supaya ekonomi berjalan tanpa mengabaikan protokol kesehatan. “Mohon maaf kita semua masih gagap,” kata dia.

Begitu pula soal bantuan sosial (bansos) untuk sekitar 660 pengemudi becak, menurut Huda, hingga saat ini belum bisa terealisasi. Di luar jumlah itu masih terdapat ribuan warga  bernasib sama. Perwakilan mereka juga mengadu ke DPRD DIY.

Kenapa bisa terjadi? Menurut Huda, karena nama-nama mereka tidak bisa masuk DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang disebut-sebut sebagai pintu masuk penerimaan bantuan sosial.

 “Dana sudah ada. Dari pemerintah pusat, dari Pemda DIY dan kabupaten/kota. DTKS adalah data kemiskinan sebelumnya. Warga miskin gara-gara Covid-19 belum terakomodasi,” ujarnya kepada wartawan.

Rencananya bulan ini pemerintah melakukan perubahan atau up date DTKS. Sebagai gambaran, di daerah lain bansos Covid-19 diberikan tanpa mengacu DTKS karena semua warga terkena dampaknya tak peduli kaya maupun miskin. (sol)