LBH Arya Wiraraja Angkat Bicara Soal Dugaan Pungli

Kami berharap Polresta Sleman segera memberikan kejelasan.

LBH Arya Wiraraja Angkat Bicara Soal Dugaan Pungli
Jumpa pers LBH Arya Wiraraja terkait pungli di Lapas Kelas IIB Sleman. (sariyati wijaya/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Arya Wiraraja angkat bicara terkait adanya dugaan pungutan liar (pungli) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Sleman.

Mereka mendesak Polresta Sleman mengumumkan status dari petugas Lapas Kelas II B nonaktif Sleman berinisial MRP yang diduga melakukan tindakan pungli terhadap warga binaan total senilai Rp 1,3 miliar.

Sejak dipanggil dan menjalani pemeriksaan di Polresta Sleman pada akhir Februari lalu, LBH Arya Wiraraja yang menjadi pendamping terhadap warga binaan korban pungli belum memperoleh informasi terkait status dari yang bersangkutan.

"Kami berharap Polresta Sleman segera memberikan kejelasan terkait kasus pungli di Lembaga Pemasyarakatan Sleman karena alat bukti juga sudah mencukupi," kata Fahri Hasyim MH, Direktur LBH Arya Wiraraja, dalam jumpa pers di kantornya Jalan Ring Road Selatan Sokowaten Tamanan Banguntapan, Kamis (23/5/2024).

Tampak mendampingi Sekretaris LBH, Ibnoe Hadjar SH dan Pembela Hukum, Rusfandi SH. Kasus ini terungkap saat LBH menangani sebuah kasus di mana kliennya berinisial S merupakan warga  binaan Lembaga Pemasyarakatan Sleman.

Investigasi

Saat itulah terungkap MRP melakukan pungutan liar terhadap kliennya. Setelah dilakukan penelusuran dan investigasi oleh tim LBH atas izin dari Kepala Lapas sejak setahun silam diketahui jumlah korban 60 orang dengan total pungli Rp 1,1 miliar.

"Kebetulan Kepala Lapas ini orangnya sangat baik dan memberikan ruang kepada kami untuk bisa melakukan penelusuran terhadap dugaan pungli yang dilakukan oleh oknum Lapas," katanya.

Ibnoe Hadjar menambahkan besarnya pungutan yang dikenakan kepada penghuni Lapas bervariasi. Ada yang jutaan setiap orang dan terbesar ada dua orang yang ditarik Rp 55 juta.

Kasus praktik pungli, intimidsasi dan kekerasan fisik di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) II B Sleman berdasarkan  investigasi LBH Aryawiraraja terjadi sejak 8 November 2022 dan berlangsung hingga November 2023 serta dilakukan terhadap 60 narapidana.

Menurut Ibnu Hadjar, kondisi pelayanan yang buruk dimanfaatkan oleh oknum lapas untuk meminta uang tambahan, termasuk memberikan fasilitasi kegiatan yang tidak semestinya.

Merusak integritas

Menurut dia, uang yang diminta oleh oknum memang tidak menyebabkan kerugian negara secara langsung. Namun praktik tersebut dalam jangka panjang akan merusak integritas dan mentalitas para pegawai instansi pemerintah pemberi pelayanan.

Bagi para pegawai instansi pemerintah tersebut, sudah menjadi kewajibannya memberikan pelayanan prima kepada warga masyarakat tanpa harus menerima uang tambahan dari pemohon layanan.

Selain itu, praktik uang pelicin juga melanggar hak-hak warga masyarakat lainnya untuk mendapatkan perlakuan yang adil atas pelayanan publik.

"Dengan hal itu, warga binaan Lapas Sleman melalui LBH sudah melakukan laporan ke Polresta Sleman pada tanggal 5 Januari 2024. Akan tetapi sampai hari ini belum dilakukan gelar perkara padahal bukti-bukti dan saksinya sudah lengkap semua," katanya.

Lanjut Hadjar, pelaku dinilai melakukan pemerasan sebagaimana  diatur dalam Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 368 Ayat (1) KUHP Jo pasal 8 ayat (4) huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Saat dikonfirmasi wartawan, Kasatreskrim Sleman AKP Risky Andrian MH mengatakan sampai saat ini  kasus itu masih proses penyelidikan. "Kami masih mengumpulkan bukti-bukti pendukung terkait dugaan kasus tersebut," katanya. (*)