Kisah Soleh, Siswa SMK Gunungkidul yang Memulung Sampah Demi Biaya Sekolah

Soleh menjual sampah yang dikumpulkannya untuk membeli kuota internet dan memberikan sisanya kepada ibunya.

Kisah Soleh, Siswa SMK Gunungkidul yang Memulung Sampah Demi Biaya Sekolah
Soleh Eko Wibowo mengais sampah mencari barang-barang bekas pakai yang bisa dia jual kembali. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, GUNUNGKIDUL -- Soleh Eko Wibowo seorang remaja yang tinggal di Dusun Jeruklegi Kalurahan Katongan Kecamatan Nglipar Gunungkidul mungkin tak seberuntung anak-anak sebaya lain di kampungnya. Baginya, setiap hari adalah sebuah perjuangan.

Soleh, pelajar kelas 12 SMK Trunajaya itu memiliki beban yang berat. Setiap hari, ketika jam pelajaran berakhir, dia tak langsung pulang. Alih-alih melepaskan seragam sekolahnya, Soleh tetap memakainya untuk tugas selanjutnya: memulung sampah.

Dia menjadi sosok yang terbiasa pulang paling akhir hanya untuk mengumpulkan sampah-sampah di sekolah yang masih bisa dijual.

Soleh terjebak dalam keterpaksaan ini tetapi dia tak pernah menyerah. Malu tidak lagi menghantui hatinya karena dia tahu orang tuanya tidak mampu memberikan segalanya. Soleh pun berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri dari teman-temannya.

ARTIKEL LAINNYA: Di Depan Anak-anak, Bupati Sleman Berperan sebagai Bunda PAUD

Sejak dua tahun lalu bersekolah di SMK, Soleh memanfaatkan waktu luangnya memulung sampah. Setiap hari, di dalam tas sekolahnya, selain buku dan bekal makan dari rumah, ada juga kantong besar untuk mengangkut sampah-sampah yang bisa dijual.

Kepala SMK Trunajaya, Supater Murbo Pribadi, mengungkapkan Soleh melakukan pekerjaan ini bukan atas kemauannya sendiri melainkan karena keadaan ekonomi keluarganya yang sulit.

Meskipun sekarang dia sudah mendapatkan bantuan untuk biaya pendidikannya, Soleh tetap gigih melanjutkan usahanya.

"Soleh itu sebenarnya anak yang biasa dan sama dengan murid-murid yang lain," kata Supater kepada wartawan saat ditemui di kantornya, Rabu (14/9/2023) lalu.

ARTIKEL LAINNYA: Aset Berharga, PHRI Bersihkan Sampah Plastik Pantai Kukup

Soleh tidak pernah merasa malu, bahkan saat harus mengumpulkan sampah setiap hari sebelum pulang. Bahkan saat hari libur tiba, dia masih bekerja mencari sampah sampai berpuluh-puluh kilometer dengan sepedanya.

Ketika ditanya mengapa selalu pulang terlambat, Soleh menjawab sederhana. Dia mencari sinyal WiFi untuk menghemat kuota data. Dengan WiFi sekolah, dia dapat mengerjakan tugas-tugas sekolahnya yang seringkali memerlukan akses internet.

Namun, bukan hanya untuk tugas sekolah, Soleh juga memanfaatkan WiFi untuk mengejar passion-nya menjadi konten kreator. Di luar jam pelajaran, dia menghabiskan waktu di sekolah untuk membuat komik dan animasi menggunakan handphone sederhana. Ketertarikannya pada seni ini sudah dimulai sejak SMP.

Berbekal kemauan keras dan bantuan temannya, Soleh belajar membuat komik dan animasi menggunakan aplikasi di gawai milik temannya. Setiap hari setelah pulang sekolah, dicarinya referensi dari YouTube untuk karyanya, sambil juga membagikannya di berbagai platform sosial media.

ARTIKEL LAINNYA: Yuntik Rahayu, Kepala Desa Mojodelik, Bojonegoro, Meraih IPK Tertinggi di UNY

Soleh memiliki dua adik kecil hasil pernikahan ibunya dengan suami barunya. Ayah kandungnya sudah lama berpisah. Meski demikian, Soleh tak hanya berjuang untuk dirinya sendiri.

Soleh menjual sampah yang dikumpulkannya untuk membeli kuota internet dan memberikan sisanya kepada ibunya untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya.

Pada awal masa SMK, Soleh harus berjalan kaki naik turun bukit untuk pergi ke sekolah. Beruntung, tahun lalu dua orang dermawan memberinya sepeda. Salah satunya adalah seorang guru di sekolahnya dan seorang lagi dokter di wilayah Nglipar.

Kini, setiap hari, Soleh mengayuh sepedanya untuk pergi ke sekolah dan pulang. Meskipun jalan kadang menanjak dia tak menyerah.

Selain mencari sampah plastik yang masih bisa dijual,  botol-botol air mineral dan gelas plastik minuman ringan yang dibuang oleh siswa lain adalah sumber penghasilan baginya. Soleh tahu bahwa dengan menunggu sekolah sepi, dia tidak mengganggu yang lain. (*)