Kenapa Tidak Ada Satu pun Menteri Bicara Kebudayaan?

Kenapa Tidak Ada Satu pun Menteri Bicara Kebudayaan?

KORANBERNAS.ID – Ketua Dewan Kebudayaan DIY Dr Djoko Dwiyanto M Hum merasa prihatin tidak ada satu pun menteri yang duduk di kabinet sekarang ini berbicara mengenai kebudayaan.

Setidaknya inilah yang jadi pertanyaan sekaligus catatan bagi para menteri usai dilantik oleh Presiden RI, beberapa waktu lalu.

“Nyatanya seperti itu. Kabinet sejak awal dilantik tidak menyinggung kebudayaan,” ungkap Djoko saat menjadi pembicara Sarasehan Kebangsaan Pancasila sebagai Jatidiri & Pemersatu Bangsa, Sabtu (2/11/2019), di nDalem Joyokusuman Keraton Yogyakarta.

Pembicara lainnya adalah Dr Ari Sujito S Sos M Si (Sosiolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dan Ranggabumi Nuswantoro S Sos MA selaku Ketua Prodi llmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Menurut Djoko, posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sekarang ini yang dijabat oleh Nadiem Marakim, mengusik pikirannya sekaligus menarik untuk didiskusikan.

“Mendikbud mengapa menarik, karena kita semua mengetahui background-nya ekonomi,” kata dia.

Sepakat dengan pernyataan anggota DPD RI dari DIY, GKR Hemas, lebih lanjut Djoko menyatakan pentingnya bangsa ini menyadari akar budaya milik sendiri.

Apabila bangsa Indonesia tercerabut dari akar budayanya bisa jadi seperti Australia. Di negara itu budaya asli hilang sama sekali.

Hal ini tidak boleh terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Mau tidak mau, penguatan budaya harus dilaksanakan.

Melalui pendekatan dan penguatan kebudayaan, lanjut dia, implementasi nilai-nilai Pancasila bisa secara mudah sampai ke masyarakat.

Background saya Dewan Kebudayaan maka saya menggunakan pendekatan budaya. UUD 45 mau diamandemen seperti apapun, kebudayaan harus tetap menjadi panglima,” tandasnya.

Dalam suatu kesempatan, lanjut dia, Mendikbud Nadiem Makarim menginginkan lulusan sekolah yang berkarakter.

“Pertanyaannya, apakah implementasi pendidikan karakter didefinisikan seperti belajar klasikal di kelas diisi ceramah. Perlu ada pendekatan budaya. Bukan saya menafikan sistem pendidikan kita meski banyak yang gelisah. Pendidikan karakter bangsa Indonesia ya Pancasila,” kata Djoko.

Sedangkan Ari Sudjito dalam paparannya menegaskan setiap generasi dituntut memiliki kecerdasan memahami Pancasila agar tidak terjadi semacam gap.

Dia mengingatkan tafsir mengenai Pancasila jangan sampai dimonopoli oleh elite politik. Memang jumlah mereka sedikit namun teriaknya kencang.

Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) ini sepakat Pancasila harus menjadi praksis di masyarakat.

Pancasila itu produk politik. Tetapi realitas yang terjadi di masyarakat bawah saat ini politik dianggap buruk.

“Terlalu dangkal anggapan seperti itu. Mari jernihkan politik melalui etik. Politisi ana sing elek tapi jangan anti-politik karena Pancasila itu produk politik, “ ujarnya seraya menambahkan perlu ada sinkronisasi cara pandang Pancasila lintas generasi.

Hal yang sama disampaikan Ranggabumi Nuswantoro mengenai pentingnya implementasi Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari.

Selaku pembicara kunci, dalam kesempatan itu GKR Hemas menyampaikan sosialisasi Pancasila di era Orde Baru tidak ada yang salah.

Persoalannya terletak pada praktik Pancasila yang terkesan hanya milik pemerintah.

“Pancasila bisa menyatukan Indonesia yang beragam. Pancasila tidak boleh diganti ideologi yang lain. Sebagai nilai budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun, Pancasila harus digelorakan terus di segala lini,” tuturnya.

Menurut dia, ibarat sebuah bangunan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat Yogyakarta merupakan bahan mentah dari nilai-nilai Pancasila. Dari kota inilah lahir Sumpah Pemuda dan peringatan Hari Ibu 22 Desember. (sol)