Kembali ke Fitrah

Oleh: Sudjito Atmoredjo

Tentu bukan kebetulan, hari raya idul fitri tahun 2024 ini bertepatan dengan hiruk-pikuknya persidangan Pilpres dan Pemilu 2024. Untuk sementara persidangan di Mahkamah Konstitusi di-skors, dan akan dilanjutkan setelah libur usai. Banyak pihak berharap agar para Hakim Konstitusi, para pengacara, para saksi-saksi  dan ahli, mampu menjalankan amanahnya dengan benar. Maknanya, mindset dan orientasi semua pihak bukan sekadar tertuju pada keadilan formal  saja, melainkan tertuju pada keadilan substantif, yakni Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua aparat penegak hukum itu hendaknya insyaf bahwa dirinya adalah makhluk sosial sekaligus makhluk spiritual. Etika dan hukum Tuhan, jangan sekali-kali diabaikan. Ingatlah, pertanggungjawaban pemikiran, sikap, dan perilakunya (dalam proses maupun vonis), tidak berhenti di persidangan saja, melainkan berlanjut sampai di alam baqa. Di sanalah segalanya mesti dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Mahaadil.

Kembali ke Fitrah
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

IDUL FITRI, sering diterjemahkan “kembali ke fitrah”.  Bila terjemahan ini dinalar secara logis, tersirat ada pengakuan bahwa selama ini, perjalanan hidup telah menyimpang dari fitrahnya. Hal demikian, mungkin terjadi karena kelalaian, ataupun kesengajaan. Dalam ungkapan lain, secara positif, ada keinsyafan agar setelah fitri (suci), seterusnya tidak tersesat, tidak tercemar, atau tidak terkontaminasi, dengan aneka bentuk kejahatan lainnya. Masa depan, adalah hari-hari pengisian kefitrian dengan amal-amal kebajikan.

Dalam ranah religius, setipis apapun keimanan seseorang, pasti ada keinginan agar perjalanan hidupnya berada di jalan lurus, jalan kebenaran, jalan kemuliaan. Itulah jalan yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Diyakini, hanya melalui sirath al mustaqim, kebahagiaan dapat diraih. Sebaliknya, bila pilihannya adalah jalan sesat, pastilah kesengsaraan, penderitaan, dan kehinaan akan melekat padanya.

Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi menyatakan, bahwa fitrah adalah kondisi penciptaan manusia, yang mempunyai kecenderungan untuk menerima kebenaran. Secara fitri, manusia cenderung dan berusaha mencari serta menerima kebenaran, walaupun hanya bersemayam dalam hati kecilnya. Muhammad an-Nawawi al-Jawi dalam Tafsir Munir, menyatakan, fitrah berarti mengakui ke-Esaan Allah (at-tauhid). Quraish Shihab mengartikan fitrah sebagai asal kejadian, bawaan sejak lahir, jati diri dan naluri manusia.

Terkait dengan keinginan agar mampu kembali ke fitrah, sekaligus mampu menggapai kebahagiaan dunia-akhirat, puasa merupakan salah satu ibadah yang efektif untuk keperluan itu. Mengapa demikian? Karena hakikat puasa adalah pengendalian diri terhadap nafsu. Nafsu itu amat penting, sebagai energi penggerak, agar hidup terus bersemangat dan bergariah. Oleh karenanya, nafsu perlu dikendalikan agar tidak loyo, tidak beringas, tidak sesat. Keberhasilan pengendalian nafsu ditandai adanya perjalanan hidup yang tertib, teratur, dan proporsional.

Pengandalian nafsu itu penting. Mengapa? Karena fitrah (kesucian) jiwa (di situ nafsu berada), amat rentan terpengaruh oleh bisikan, bujuk-rayu, hasutan, dari makhluk-makhluk antagonis (setan). Oleh karenanya, setiap manusia wajib berkomitmen untuk bertahan dalam kefitrahannya (keaslian, kemurnian, jati-diri). Koheren dengan sikap demikian, maka puasa diwajibkan kepada setiap mukmin, agar dapat diperoleh derajat taqwa kepada Allah swt.

Ditarik ke dalam konteks kehidupan bersama (bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara), puasa bila dilakukan secara benar, pasti akan berbuah iman, berupa peningkatan kualitas akhlak bangsa. Bila puasa dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh, pastilah berbagai penyakit bangsa, seperti: korupsi, kolusi, nepotisme, atau kejahatan lainnya, tidak akan terjadi.

Lain halnya, bila puasa dilakukan sekadar sebagai kebiasaan, ada unsur riya (pamer), dan bukan karena/demi Allah swt, maka puasa demikian tak akan berbuah kebajikan apapun. Bukan suuzon, melainkan atas dasar analisis ilmiah terhadap fakta-fakta empiris, bahwa penyakit bangsa di negeri ini terus berkembang semakin akut. Nafsu politik (ingin gerus berkuasa), nafsu ekonomi (ingin cepat kaya), dan nafsu-nafsu duniawi lain, diraih dengan menghalalkan segala cara (kelewat batas). Teramati, telah marak tradisi ketersesatan (jahiliah) dan kesrakahan pada semua bidang kehidupan.

Terkait dengan realitas empiris yang menyesakkan dada itu, ada beberapa pesan moral yang layak disampaikan sebagai peringatan.

Pertama, fitrah manusia sebagai pribadi (individu), mungkin saja dapat diraih, ketika pertobatan diterima Allah swt. Dosa-dosanya diampuni. Akan tetapi,wajib diingat bahwa kembali ke fitrah, bukanlah semata-mata urusan pribadi (individu). Kita mesti sadar, ada amanah sebagai kalifatullah fil ard. Dalam amanah ini, ada peran horizontal yang mesti dilakukan. Demi kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan Negara. Apakah amanah ini sudah ditunaikan dengan benar? Ketika amanah ternyata dikhianati - antara lain: tega menggadaikan tanah-air, wilayah, sumberdaya alam, dan kedaulatan bangsa, kepada bangsa asing - tentu pengkhianatan demikian tergolong dosa besar. Dosa-dosa besar ini, tidaklah mungkin hapus hanya dengan jabat tangan ketika berhari-raya idul fitri.

Kedua, tersirat dalam Pancasila, fitrah bangsa Indonesia adalah kumpulan manusia-manusia adil dan beradab, yang bersatu dalam wadah Negara Indonesia. Semua komponen bangsa, senantiasa beraktivitas dalam kerangka ibadah (berdimensi vertical maupun horizontal) dalam mengelola negaranya. Dipertemukanlah aktivitas batin (niat) dengan aktivitas lahir (perilaku). Dinormatifkan, agar sikap dan perilakunya proporsional dan konsisten pada kebenaran. Pada segalanya, tiada niat lain, kecuali mengharap ridha Allah swt. Ketika Tuhan bertanya kepada ruh (jiwa) sebelum dimasukkan ke dalam jasad, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, ruh pun menjawab (bersaksi): ”Betul. Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Engkau”. (QS.al-A’raf, ayat 172). Manusia adil dan beradab, mestinya senantiasa ingat dan konsisten atas persaksian itu. Tidak boleh dusta, bohong, ingkar, rakus.

Ketiga, tentu bukan kebetulan, hari raya idul fitri tahun 2024 ini bertepatan dengan hiruk-pikuknya persidangan Pilpres dan Pemilu 2024. Untuk sementara persidangan di Mahkamah Konstitusi di-skors, dan akan dilanjutkan setelah libur usai. Banyak pihak berharap agar para Hakim Konstitusi, para pengacara, para saksi-saksi  dan ahli, mampu menjalankan amanahnya dengan benar. Maknanya, mindset dan orientasi semua pihak bukan sekadar tertuju pada keadilan formal  saja, melainkan tertuju pada keadilan substantif, yakni Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua aparat penegak hukum itu hendaknya insyaf bahwa dirinya adalah makhluk sosial sekaligus makhluk spiritual. Etika dan hukum Tuhan, jangan sekali-kali diabaikan. Ingatlah, pertanggungjawaban pemikiran, sikap, dan perilakunya (dalam proses maupun vonis), tidak berhenti di persidangan saja, melainkan berlanjut sampai di alam baqa. Di sanalah segalanya mesti dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Mahaadil.

Ingat dan camkan, firman Allah swt: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan”.

Untuk seluruh komponen bangsa, dan khususnya kepada para penegak hukum, sungguh tidak mudah kembali ke fitrah itu. Hanya mereka yang ikhlas, profesional, berwawasan luas (dunia-akhirat), dan senantiasa mengedepankan akhlak. Mereka itulah yang pantas dinobatkan menang melawan hawa nafsu, sekaligus layak kembali ke fitrah. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Sekolah Pascasarjana UGM.