Tiada Absolutisme dalam Bernegara
Sungguh tidak elok bila perbedaan buru-buru dikelola melalui voting. Dipahami bahwa cara pragmatis demikian hanya akan menghasilkan kemenangan sepihak, sekaligus meninggalkan luka mendalam pada pihak yang kalah.
DI ALAM demokrasi, absolutisme merupakan paham yang ditabukan. Keberadaannya dipandang sangat mengganggu terwujudnya kehidupan yang sehat, setara, egaliter, dan saling menghargai di antara sesama warga negara maupun penyelenggara negara.
Mengapa demikian? Karena dalam paham absolutisme terkandung ajaran atau doktrin yang memungkinkan lahirnya sistem pemerintahan dengan kekuasaan tanpa batas dan tanpa kontrol. Ketika hal demikian terjadi, tiada ruang bagi mereka yang berada di luar sistem pemerintahan untuk berbeda pendapat, berbeda wawasan, maupun berbeda arah/tujuan bernegara. Segala kebijakan dan regulasi negara, tiadalah boleh didebat, dikritik, atau dilawan. Satu-satunya sikap adalah tunduk dan taat pada perintah penguasa.
Dalam lintasan sejarah, absolutisme dalam bernegara, berkembang di Eropa sekitar abad ke-17 dan ke-18. Konstruksi negara monarki absolut, memberikan kekuasaan pada raja hingga tak terbatas. Sedemikian hebat dan luar-biasanya kedahsyatan kekuasaan raja, hingga muncul suatu slogan the King can do no wrong.
Dilacak lebih dalam, ternyata monarki absolut, merupakan awal munculnya bentuk negara modern. Kekuasaan raja, dulunya terkonsentrasi pada suatu wilayah tertentu, yang bersifat otonom. Ketika negara modern lahir dan berkembang pada abad ke-19, absolutisme tersebut dimaknakan negatif/buruk. Sekalian dengan reaksi dan koreksi dari pandangan modern, maka terus-menerus ada upaya meniadakan absolutisme dalam bernegara.
Dalam alam berpikir modern, negara mesti diatur dengan konstitusi. Di dalam konstitusi itulah semua orang (warga negara maupun penyelenggara negara) diposisikan setara. Masing-masing dipandang sebagai subyek hukum (penanggung jawab dan kewajiban). Pada eksistensi dan posisi yang berbeda-beda, semuanya. mengemban amanah untuk ikut-serta membangun, dan memajukan negaranya.
Ke mana arah dan tujuan bernegara, dan apa kewajiban masing-masing? Pokok-pokok dari segalanya, telah dituangkan dalam konstitusi. Demi ketertiban dan keteraturan, maka segala pemikiran, sikap, dan perilaku warga negara maupun penyelenggara negara wajib didasarkan pada konstitusi. Berkonstitusi secara konsisten, merupakan kata kunci untuk bernegara dengan baik. Dalam kosistensi itu termasuk ketika hukum harus dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan.
Bagi bangsa Indonesia, agar konsistensi berkonstitusi terjaga dan terpelihara dengan baik, hemat saya, ada beberapa persyaratan yang wajib diperhatikan.
Pertama, menjaga kemurnian kandungan/substansi konstitusi terhadap nilai-nilai filosofisnya. Artinya, konstitusi tidak boleh bermaterikan hal-hal yang bertolak-belakang dengan nilai filosofis bangsa. Justru nilai-nilai filosofis itulah yang wajib dijabarkan ke dalam pasal dan ayat konstitusi, untuk seterusnya konsisten diderivasikan ke dalam Undang-Undang dan peraturan-perundangan lain di bawahnya.
Kedua, nilai-nilai filosofi bangsa, yakni Pancasila. Dijelaskan oleh Ir.Soekarno (sebagai penggali nilai-nilai Pancasila) bahwa sejak saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis/penjajahan (bahkan hingga era kemerdekaan, pen.), nenek-moyang telah menjadikan Pancasila sebagai way of life (pandangan hidup). Pancasila itu merupakan dasar statis dan leitstar dinamis, bagi kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karenanya, komitmen terhadap nilai-nilai Pencasila wajib dimantapkan.
Ketiga, dalam konsep persatuan Indonesia, sebagaimana terumuskan pada Sila ke-3, mesti diimplementasikan pada semua aspek kehidupan, berupa perilaku konkrit yang mencakup tiga dimensi, yakni: (1) secara sentral, bersatunya jiwa dan raga bangsa; (2) secara horizontal bersatunya sesama komponen bangsa (suku bangsa) maupun dengan tanah-airnya. Itulah makna manusia adil dan beradab (Sila ke-2); dan (3) secara vertikal bersatunya bangsa dengan Tuhan Yang Maha Esa (Sila ke-1).
Keempat, dalam keutuhan konsep persatuan Indonesia di atas, hubungan sesama entitas (makhluk) bersifat pansubyektivitas. Artinya, semua pihak wajib menghargai pihak lain sebagai subyek. Sebaliknya ditabukan siapa pun mengobyekkan pihak lain. Melalui hubungan pansubyektivitas tersebut, disadari atau tidak, telah diakomodasi doktrin proporsionalitas atau keadilan sosial (Sila ke-5). Itulah, puncak rona kehidupan yang ingin diraih bersama.
Kelima, telah menjadi fitrah/kodrat bahwa sebaik apapun suatu konsep bernegara telah dirumuskan, akan tetapi realitas empirisnya, terpulang pada manusianya. Artinya, kemungkinan terjadi perbedaan pendapat, pembelokan, bahkan pengingkaran terhadap konsep tersebut bisa terjadi.
Adalah suatu kewajaran suatu perbedaan pendapat terjadi di antara sesama warga ataupun penyelenggara negara. Perbedaan, bukanlah perpecahan. Perbedaan justru menjadi berkah ketika dikelola dengan bijak, sehingga terjuwudnya pendapat baru, kesepakatan baru yang berkualitas lebih tinggi. Di situlah, makna musyawarah dan mufakat (Sila ke-4) wajib dikedepankan demi kepentingan bersama.
Sungguh tidak elok bila perbedaan buru-buru dikelola melalui voting. Dipahami bahwa cara pragmatis demikian hanya akan menghasilkan kemenangan sepihak, sekaligus meninggalkan luka mendalam pada pihak yang kalah.
Tidak elok pula bila berbedaan pendapat direspons dengan kata-kata kasar, apalagi berujung dengan pengusiran dari tanah-air Indonesia. Keterlanjuran sikap arogan, hendaknya diralat dengan permintaan maaf, digantikan dengan sikap etik dan simpatik.
Kembali pada masalah absolutisme dalam bernegara, kiranya tidak boleh dibiarkan menyelinap ataupun tertransformasikan ke dalam negara hukum Pancasila. Semangat dan idealitas berdemokrasi dan berkonstitusi tidak boleh diluncurkan di atas hal-hal teknis, prosedural, dan birokratis belaka. Sisi filosofis, ideologis, yuridis, dan sosiologis, wajib diperhatikan sungguh-sungguh.
Dari uraian di atas, kiranya tiada tabu untuk dikritisi, ketika Mahkamah Konstitusi, dipandang lemah hingga gagal menerjemahkan absolutisme, sehingga muncul Putusan MK bermasalah. Lebih dari itu, penganuliran Putusan bermasalah wajib dilakukan. Sekadar contoh. Putusan tentang batas umur, persyaratan Presiden/Wakil Presiden. Hal-hal strategis demikian, bila diabsolutkan, dan ternyata bermasalah karena tidak sejalan dengan nilai-nilai filosofi, akan menjadi api dalam sekam. Api perlu dipadamkan agar kehidupan bernegara menjadi adem-ayem, tenteram, nyaman. Wallahu’alam. ***
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM