Masa Jabatan Kepala Desa

Masa Jabatan Kepala Desa

MENTERI Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mewacanakan penambahan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya 6 tahun dan dapat menjabat selama 3 periode menjadi 9 tahun dan dapat menjabat selama 3 periode. Artinya, jika wacana ini diterima, maka seseorang akan menjabat sebagai kepala desa, jika terpilih tiga periode, selama 27 tahun. Tulisan ini mencoba untuk melihat konteks masa jabatan kepala desa ini lebih dalam, terutama relevansinya dengan sistem pemerintahan secara menyeluruh.

Urgensi Kemandirian Pemerintahan Desa

Masa jabatan kepala desa, tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk mewujudkan kemandirian pemerintahan desa, yang pada akhirnya diharapkan akan bermuara pada kemandirian masyarakat desa. Jika kita membuka sejarah ke belakang, kemandirian pemerintahan desa, yang dibutuhkan adalah sebagai upaya untuk menyebarluaskan pendidikan politik bagi masyarakat termasuk dari instrumen pemerintahan yang paling rendah. Pendidikan politik ini bermakna dua hal, Pertama pendidikan politik bagi masyarakat desa agar semakin terbiasa dan terbuka dengan ide-ide, wancana-wacana, hingga praktek-praktek demokrasi, negara hukum, dan pemilihan umum. Dengan demikian, masyarakat desa akan menjadi semakin siap pada saat menghadapi hajatan demokrasi yang lebih besar, semisal pemilihan presiden dan kepala daerah. Kedua, pendidikan politik juga berlaku bagi kader-kader desa yang diharapkan setelah menjadi pemimpin di tingkat desa, dapat melanjutkan estafet kepemimpinan baik di tingkat regional maupun nasional.

Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan ide tersebut, maka desa dijadikan sebagai labolatorium nasional, dengan cara mempraktekkan sistem nasional dan regional ke tingkat desa. Salah satunya misalnya, adalah dalam hal pemilihan kepala desa secara langsung. Pemilihan langsung yang merupakan implementasi dari demokrasi liberal, sejatinya tidaklah dikenal dalam budaya desa di Indonesia. Kita memang mengenal demokrasi, musyawarah, dan persamaan pada masyarakat nagari, sebagaimana yang dituturkan oleh Moh. Hatta, namun bentuknya masih sangat sederhana, tidak seperti demokrasi liberal yang berlaku pada saat ini.

Oleh karena itu, harus diakui bahwa penerapan demokrasi liberal di tingkat desa, sampai dengan hari ini masih menemui banyak persoalan. Persoalan paling krusial adalah pada terganggunya interaksi masyarakat desa, yang kebanyakan masih tradisional dan komunal, terutama pada desa-desa di luar Jawa. Masyarakat dalam satu desa, jika ditelusuri lebih jauh sesungguhnya masih memiliki ikatan, baik karena hubungan darah, maupun hubungan perkawinan. Atau ada juga yang disatukan oleh kesamaan sejarah raja-raja kecil di tingkat desa. Sehingga, dengan berlakunya pemilihan langsung secara serta-merta sangat berdampak pada hubungan-hubungan itu. Ada banyak cerita dan berita mengenai bagaimana masyarakat desa yang sebelumnya adem dan tentram, berubah menjadi penuh konflik dan permusuhan pasca pemilihan kepala desa.

Masalah lain misalnya terkait dengan tata kelola keuangan desa. Banyaknya kepala desa yang terjerat masalah hukum akibat penyelewengan anggaran desa, merupakan bukti riil masih lemahnya transparansi dan pengawasan keuangan desa.

Pertanyaan pertama, berbagai persoalan itu, pertanyaannya di manakah letak masalahnya? Jika dikaji lebih mendalam, persoalannya adalah pada lemahnya penguatan kapasitas dan pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah) terhadap aparatur pemerintahan desa, kepala desa, dan masyarakat desa. Masyarakat desa tidak pernah diberikan pendidikan tentang bagaimana demokrasi liberal berjalan dan prinsip-prinsip apa yang harus diutamakan. Akibatnya, setiap kali kontestasi pemilihan kepala desa berlangsung, hampir selalu disertai dengan konflik horizontal. Begitupun dengan lemahnya peningkatan kapasitas kepala desa dalam mengelola anggaran desa, berdampak pada rentannya penyalahgunaan anggaran desa.

Pertanyaan berikutnya. Jika demikian persoalannya, apakah treatment penambahan masa jabatan kepala desa, sebagaimana diusulkan Menteri Desa sudah tepat? Rasanya, persoalannya tidak terletak pada masa jabatan kepala desa, sehingga tidak perlu ada penambahan waktu maupun periode. Sebaliknya, jika ingin menjadikan desa sebagai laboratorium nasional, maka yang harus dilakukan adalah mengurangi periode jabatan kepala desa yang sebelumnya tiga periode, cukup dua periode saja. Terutama, jika yang menjadi prinsip utamanya adalah demokrasi liberal. Demokrasi liberal menghendaki adanya pembatasan kewenangan, masa jabatan, dan periode jabatan. Karena, tanpa pembatasan itu, potensi penyalahgunaan wewenang sangatlah besar, terlebih pengawasan terhadap pemerintahan desa saat ini masih sangat lemah. ***

Dr. Despan Heryansyah, SH., MH.

Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta