Ironis, sebagai Episentrum Seni Rupa Asia Tenggara Yogyakarta Tidak Punya Museum Seni Rupa

Ironis, sebagai Episentrum Seni Rupa Asia Tenggara Yogyakarta Tidak Punya Museum Seni Rupa
Kurator Mikke Susanto dan Kepala Museum TBY, Purwiyati,  memperlihatkan koleksi karya maestro pelukis Yogyakarta (yvesta putu ayu palupi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Sebagai Kota Budaya,  Yogyakarta memberi pengaruh pada perkembangan seni di Indonesia khususnya seni rupa. Bahkan Yogyakarta disebut sebagai episentrum seni rupa Asia Tenggara. Tidak sedikit perupa ternama memiliki ikatan batin dengan kota ini. Tidak lahir di Yogyakarta, banyak seniman memilih menetap di Yogyakarta walau telah selesai menuntut ilmu.

Sebagai pusat seni rupa, Yogyakarta ternyata tidak memiliki museum seni rupa sehingga tidak sedikit karya-karya maestro seni rupa Indonesia yang selama ini tersebar dan menjadi koleksi beberapa museum tidak memperoleh perawatan yang layak, akhirnya terancam rusak.

Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai salah satu pusat seni dan kebudayaan dengan ratusan koleksi karya maestro seni rupa Jogja, kesulitan merawat karya-karya tersebut. Berkurangnya tenaga ahli menjadikan perawatan karya seni ini semakin berat.

"Sekarang hanya tinggal 20 ASN (Aparatur Sipil Negara) dan sebelas orang Tenaga Bantu (Naban) dengan tupoksi yang luar biasa tidak sebanding dengan barang koleksi yang harus mendapat perhatian khusus," kata Purwiyati, Kepala Taman Budaya Yogyakarta (TBY) saat konferensi pers Pameran Seni Rupa Koleksi TBY Kencan Nonton Wayang di TBY, Jumat (19/5/2023).

Hal ini sangat berbeda. Dulu, lanjut Purwiyati, ratusan tenaga tersedia. Senior-senior sangat memahami barang-barang koleksi secara khusus karya seni rupa. Masing-masing memiliki tenaga ahli. Seni rupa memiliki delapan orang tenaga ahli, kemudia ada ahli seni tari lengkap dengan pengrawit kemudian teater hingga sastra.

"Khususnya seni rupa mereka paham harus menyimpannya seperti apa, menaruhnya seperti apa dan harus diperlakukan bagaimana terhadap karya-karya tersebut," kenangnya.

Saat ini TBY tidak memiliki kemampuan merawat walau secara biaya Purwiyati menyebut itu bukan masalah. Menurutnya,  perawatan karya seni koleksi negara ini sangat mungkin bisa di-cover dengan Dana Keistimewaan (Danais).

"Dana Keistimewaan itu kan bisa digunakan untuk apapun yang bisa memberikan pengaruh untuk masyarakat. Untuk kesejahteraan seniman dan juga untuk kemajuan kebudayaan itu pasti tidak masalah," kata dia.

Berbagai upaya selama ini telah dilakukan, salah satunya bekerja sama dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Selain memiliki ahli di bidangnya, dengan menggandeng Kampus Seni ini pula TBY membongkar koleksi-koleksi seni rupa yang dimiliki TBY dan dipamerkan pada 24-31 Mei 2023 di Ruang Pameran TBY.

Mikke Susanto, salah seorang kurator menambahkan, pameran ini tentu akan menambah nilai sejarah ataupun nilai ekonomi. Penyajian karya-karya ini tidak hanya berfungsi untuk menaikkan atensi publik tetapi juga bagaimana karya-karya ini menjadi semakin mahal di masyarakat.

Mikke sangat menyayangkan benda-benda koleksi milik TBY mengalami kerusakan. Beberapa karya pun urung disertakan dalam pameran selama sepekan tersebut. Ini karena perbaikan dan restorasi akan cukup rumit dan lama.

"Ada salah satu karya Harjiman yang sudah ketempelan debu sangat tebal hingga sudah tidak terlihat lagi gambarnya. Itu termasuk kategori yang paling parah sehingga kami pun tidak jadi untuk memamerkannya karena kerusakannya membutuhkan restorasi yang sangat rumit dan biaya yang cukup tinggi," terangnya.

Beberapa karya memang rusak parah karena tidak disimpan dengan baik. “Maka pameran ini adalah upaya untuk kita bersama-sama saling membantu agar karya-karya yang menjadi milik bersama ini bisa tetap lestari," kata dia.

Keropos dimakan rayap

Secara keseluruhan karya koleksi milik TBY harus dibersihkan ringan, karena kebanyakan tidak disimpan di tempat yang layak. Meskipun ditempatkan di dalam ruangan, kelembabannya tidak dijaga, sehingga beberapa karya ada yang berjamur. Tapi ada juga kanvas dan spanram karya tersebut dimakan rayap dan keropos.

Mikke melanjutkan, apapun kerusakan itu agar ini menjadi kesadaran bersama, karena kenyataannya Taman Budaya memerlukan perhatian karena koleksi tersebut yang sebenarnya koleksi bersama. Meskipun secara legal formal ini diletakkan di Taman Budaya Yogyakarta.

"Membangun museum seni rupa adalah cita-cita perupa di Yogyakarta. Kita tahu bahwa DIY itu ladangnya seniman, perupa, pelukis tetapi tidak punya museum seni rupa," tegasnya.

Jogja, lanjut Mikke, masih perlu sekali museum seni rupa. Agar tamu yang datang ke kota seni ini bisa melihat seperti apa sih seni rupa di Jogja. Karena saat ini mereka hanya bisa mengunjungi pameran-pameran dan museum perseorangan yang dikelola secara individu oleh seniman itu sendiri.

"Dengan demikian maka tamu tersebut tidak bisa membayangkan bagaimana seni rupa di Jogja yang katanya Yogyakarta itu sebagai pusatnya seni rupa di Asia Tenggara," ujarnya.

"Kan runyam, kita dianggap sebagai pusat seni rupa tetapi tidak punya museum seni rupa, yang punya museum malah Singapura. Jadi kalau kita berkunjung ke museum Galeri Nasional Singapura kita akan melihat seniman-seniman Indonesia atau seniman-seniman Jogja itu ada di sana. Jadi ironis kita melihat diri kita di museum luar negeri," lanjutnya.

Rektor Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Timbul Raharjo, saat dihubungi Jumat (19/5/2023) menambahkan, tidak mudah membuat museum seni rupa secara kolektif. Terlebih yang dinaungi oleh lembaga. Hal inilah salah satu penyebab tidak adanya museum seni rupa di Yogyakarta.

Ia mencontohkan, Museum Gerabah yang rencananya didirikan di Sentra Gerabah Kasongan pun hingga saat ini belum terwujud. Padahal sudah beberapakali praktisi maupun akademisi melontarkan konsep museum gerabah ke pemangku kebijakan.

"Seperti di kasongan itu sudah empat atau lima kali digambar museum gerabah oleh peneliti-peneliti dari kampus-kampus ternama. (Konsep) itu hanya berhenti sampai pada gambar, diajukan pun sampai sekarang belum ada realisasinya. Pada akhirnya hal itulah yang membuat kita tertinggal, karena tidak ada realisasinya," ujarnya.

Tidak ada realisasi ini mendasari para perupa pun akhirnya membuat museum sendiri. Berawal dari galeri seni, seiring dengan bertambahnya koleksi dan sering dikunjungi maka jadilah museum. Tapi sekali lagi ini tidak bisa merepresentasikan Yogyakarta sebagai pusat seni rupa di Asia Tenggara.

"Aturan membuat museum itu susah, selama ini museum itu harus barang atau artefak yang ada sejarahnya. Dan itu tidak boleh dibisniskan, oleh karena itu museum-museum yang ada di kita itu selalu mangkrak," tambahnya.

Pada akhirnya aturan ini berpengaruh bagi anak-anak muda yang datang ke museum. Ditambah dengan penataan yang buruk, datang ke museum seperti melihat barang-barang kuno yang berdebu dan akhirnya mereka malas. Berbeda dengan di luar negeri. Museum di-setting dengan baik, ada interaktifnya.

"Tapi bersyukur, pada saat ini kita sudah mulai seperti itu bisa terlihat di museum-museum perjuangan. Tapi kalau museum milik publik dan itu belum. Apalagi museum seni rupa yang di Jogja belum punya," tandasnya. (*)