Inilah Salah Kaprah UU Cipta Kerja di Mata Pengamat

Inilah Salah Kaprah UU Cipta Kerja di Mata Pengamat

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Pembahasan RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan memang ditunda. Akan tetapi untuk klaster lain, pembahasan akan tetap berlanjut. Dikarenakan Omnibus Law Cipta Kerja memiliki 11 klaster yang tentunya memiliki banyak sisi positif. Tapi sayangnya, masih saja banyak salah kaprah di tengah masyarakat terhadap RUU Cipta Kerja.

Menurut Bambang Arianto, Direktur Institute for Digital Democracy sekaligus pengamat RUU Cipta Kerja, ada beberapa poin yang masih terjadi salah kaprah.

“Diantaranya, perihal hilangnya upah minimum bagi para pekerja. Kenyataannya, tidak ada penghilangan upah minimun regional, meskipun dalam Omnibus Law ada penerapan upah minimum provinsi. Hal itu ditujukan sebagai jaring pengaman sosial bagi para pekerja. Lagipula upah minimum provinsi diterapkan bagi pekerja baru dari bulan ke-1 hingga bulan ke-12. Untuk bulan ke-13 perusahaan wajib memberikan upah sesuai dengan upah minim regional daerah masing-masing,”kata Bambang dalam rilisnya, Kamis (21/5/2020).

Selain itu, salah kparah juga terjadi menyangkut hilangnya pesangon. Menurut Bambang, kenyataannya tidak benar pesangon akan hilang. Justru sebaliknya dalam Omnibus Law akan ada kompensasi sebesar pesangon yang diberikan kepada para pekerja kontrak. Sedangkan dalam UU yang lama justru tidak ada namanya kompensasi bagi pekerja kontrak.

“Jadi dalam Omnibus Law, pekerja tetap akan mendapatkan pesangon dan pekerja kontrak akan mendapatkan kompensasi,” lanjutnya.

Tapi memang harus diakui, bahwa nilai pesangon lebih kecil dari pada UU sebelumnya. Hal ini, menurut Bambang, lantaran nilai pesangon yang besar, selama ini tidak pernah dipenuhi oleh perusahaan.

Bahkan menurut data Kemenaker, hanya 30 persen pesangon yang bisa diberikan oleh pengusaha.

“Jadi wajar bila saat ini akan diubah skema pesangon lebih kecil. Sehingga dengan begitu semua perusahaan akan dijamin bisa memberikan pesangon 100 persen kepada pekerja tetap,” ujarnya.

 

Selain itu, masih ada penafsiran yang keliru, yakni menyangkut outsourcing seumur hidup dan karyawan seumur hidup. Menurut Bambang, hal Ini tentu tidak benar, karena aturan outsourcing dalam Omnibus Law tetap diatur sedemikian rupa agar tetap menguntungkan pekerja.

Bahkan, Omnibus Law memberikan kepastian perlindungan bagi pekerja kontrak atau outsourcing yang masih terikat kontrak kemudian ter-PHK. Dalam kasus seperti ini, pekerja kontrak akan mendapatkan kompensasi 1 bulan gaji dengan catatan sudah bekerja selama 1 tahun.

“Keempat, adanya waktu yang eksploitatif. Sebenarnya bukan eksploitatif tapi fleksibel. Maksudnya gini, jadi selama ini kita bekerja harus 8 jam perhari. Padahal dalam Omnibus Law diberikan kebebasan bekerja paruh waktu, sehingga para pekerja bisa bekerja di beberapa tempat.

Sebut saja pekerjaan yang bisa dikerjakan tidak sampai 8 jam perhari, seperti disainer grafis ataupun programer. Dengan adanya waktu kerja yang fleksibel, akan membuka peluang kerja bagi ibu rumah tangga dan para generasi milenial untuk bisa bekerja di dua tempat sekaligus.

“Selain itu masih banyak lagi kesalah kaprahan. Seperti menyangkut keberadaan tenaga kerja asing ymasuk bebas ke Indonesia, dugaan akan hilangnya jaminan sosial, . Padahal tidak ada tuh penghilangan jaminan sosial, isu pemutusan hubungan kerja akan dipermudah, dan pencabutan cuti hamil, haid, menyusui dan cuti tahunan. Juga tidak benar kabar akan hilangnya pasal pidana bagi perusahaan. Jadi, hemat saya perlu ada pencermatan seksama agar ke depan kita tidak lagi salah kaprah,” kata Bambang Arianto yang juga peneliti Akuntansi Forensik di kampusnya.(*/SM)