Ini Pandangan Dubes Norwegia Soal Krisis Energi Eropa

Ini Pandangan Dubes Norwegia Soal Krisis Energi Eropa

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Duta Besar (Dubes) Norwegia untuk Indonesia, Rut Kruger Giverin, menyampaikan pandangannya mengenai efek krisis energi Eropa. Dia melihat, hampir semua diskusi tentang energi saat ini adalah perang di Ukraina. Sementara invasi Rusia ke Ukraina pertama dan terutama adalah krisis kemanusiaan dan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.

“Hal itu juga berdampak serius pada situasi energi di Eropa. Dislokasi pasar energi akibat perang juga dirasakan belahan dunia lain, termasuk di Indonesia,” ujarnya,  Selasa (27/9/2022), di Auditorium Mandiri Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM).

Tampil sebagai keynote speaker pada diskusi bertema The effect of the European energy crisis on global climate, commitments - a view form Norway kali ini, dia menjabarkan  peran Norwegia di pasar energi Eropa.

Norwegia adalah produsen minyak dan gas terbesar di Eropa Barat. “Sebelum perang, kami menyumbang hampir seperempat dari impor gas Eropa dan sekitar sepersepuluh dari impor minyak mentahnya,” paparnya.

Rut Kruger Giverin menambahkan, saat Eropa ingin menjadi independen dari impor energi dari Rusia, Norwegia akan tetap menjadi pemasok minyak dan gas yang stabil dan dapat diprediksi ke Eropa.

Lebih lanjut, Rut Kruger Giverin juga menyampaikan dalam hal produksi listrik, produksi energi domestik Norwegia adalah 98 persen terbarukan, sebagian besar tenaga air.

“Namun, ini tidak berarti bahwa kita terisolasi dari rekor harga listrik yang tinggi di Eropa. Norwegia adalah bagian dari pasar listrik terintegrasi di Eropa Utara, dengan kabel yang menghubungkan kami ke Inggris, Nordik dan Jerman Utara. Di pasar listrik terintegrasi kami – Nordpool - listrik mengalir ke tempat dengan harga tertinggi, yang berarti harga tinggi di negara tetangga kami diterjemahkan menjadi harga yang lebih tinggi di Norwegia,” terangnya.

Dia mengakui, mengamankan akses energi bukan satu-satunya tantangan yang dihadapi Eropa dan seluruh dunia. Tantangan lainnya adalah memenuhi permintaan energi dalam kerangka tujuan iklim dan kelestarian lingkungan.

Dalam hal komitmen iklim global, tampaknya dalam jangka pendek negara-negara akan beralih ke segala cara yang diperlukan untuk memastikan keamanan energi, termasuk sumber energi seperti batu bara dengan emisi CO2 yang tinggi.

“Kita sudah melihat buktinya di negara-negara besar Eropa seperti Inggris, Jerman dan Polandia. Ini adalah situasi yang tidak menguntungkan dan tidak direncanakan, namun tidak perlu menjadi kemunduran yang signifikan untuk mencapai komitmen iklim global yang telah disepakati sebelumnya,” jelasnya.

Perang di Ukraina telah menyebabkan harga energi Eropa dan global melonjak menyebabkan efek negatif jangka pendek pada konsumen dan ekonomi secara lebih luas. Tetapi satu hasil positif adalah kenaikan harga energi ini semakin mendorong dan mempercepat pengembangan dan penyebaran sejumlah besar energi terbarukan yang murah secara global.

Menurut dia, negara-negara Eropa yang berencana mengimpor bahan bakar fosil dari Rusia untuk kebutuhan energi mereka rentan terhadap dislokasi dan volatilitas, dan ini dapat memiliki efek limpahan yang serius ke pasar energi di seluruh dunia. Tetapi kebijakan-kebijakan ini sekarang secara definitif telah berakhir, dan Eropa akan segera terlepas dari impor energi Rusia.

Kesimpulannya, perang Ukraina telah memperkuat pandangan para pembuat kebijakan yang mengatakan bahwa sistem energi Eropa pada energi terbarukan tidak hanya diperlukan untuk mencapai tujuan perjanjian Paris tetapi juga masuk akal dari perspektif keamanan energi.

Diskusi yang dipandu moderator Tadzkia Nurshafira (Program Manager Norpart UGM-NTNU) ini juga dihadiri narasumber Angga Kurnia Imban selaku Project manager PT Tinfos Hydropower, Putra Adhiguna (Energy Economics & Policy Specialist, Instute for Energy Economics and Financial Analysis serta Raras Cahya Fitri (Lecturer, Department of International Relations Universitas Gadjah Mada). (*)