Hukum di atas Langit

Oleh: Sudjito Atmoredjo

Pengalaman menunjukkan bahwa dalam berdemokrasi, suara rakyat dapat dibeli. Tak bisa dipungkiri, uang, fulus, cuan, mewarnai karakter demokrasi. Atas dasar pengalaman demikian, dapat diprediksi, dalam Pilpres nanti, model pemenangan serupa, akan digunakan lagi. Artinya, money politic itu pasti ada. Sulit dicegah. Sulit ditindak. Money politic sebagai sistem ijon, sudah diberikan jauh hari, secara terus-menerus, sebelum Pilpres. Misal, diberikan dalam bentuk tambahan uang saku, uang transport, uang makan, bantuan sembako, pengadaan fasilitas umum, sarana-prasarana, dan lain-lainnya. Di balik kedermawanan itu, ada pamrih, jangka panjang. Berkat money politic, siapa pun yang pernah mendapatkannya, akan merasa senang. Seolah ditolong. Lebih sejahtera kehidupannya. Implikasinya, merasa berhutang budi. Maka pilihan pada saat Pilpres atau Pileg, menjadi bias. Cenderung diberikan kepada kubu pemberi money politic.

Hukum di atas Langit
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

SUHU politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 semakin panas. Orang berhati lembut, merasa gerah. Bahkan was-was. Suatu pengharapan, Pilpres damai semoga terwujud. Bangsa, keseluruhannya, tetap dalam keutuhan. Nantinya, terpilih Presiden baru yang amanah. Rakyat berdaulat atas negerinya. Bebas dari segala bentuk penjajahan. Baik oleh bangsa sendiri maupun bangsa lain. Nasib bangsa Negara ke depan menjadi semakin sejahtera, adil, dan bermartabat.

Dalam konteks Negara hukum Pancasila, Pilpres damai, jujur dan adil, akan terwujud bila hukumnya benar. Lebih lanjut, hukum yang benar itu dijalankan dan ditegakkan secara konsisten. Semua pihak menjauhkan diri dari kecurangan.

Ancangan yuridis-normatif demikian itu, ternyata tidak mudah dipraktikkan. Hukum - sebagai nilai, teks, maupun perilaku - sudah banyak cacatnya. Kebenaran hukum, sangat relatif. Dominasi kekuasaan, amat berpengaruh signifikan. Dengan kata lain, kecacatan hukum itu ada atau berlangsung karena direncanakan dan disengaja oleh oknum-oknum  penguasa. Hukum telah difungsikan sebagai alat pemenangan persaingan. Tanpa peduli aspek etika dan keadilan.

Dalam ranah sosial-kebangsaan, dijumpai oknum tokoh-tokoh politik bermain-main kekuasaan. Hukum pun dimain-mainkan demi kekuasaan itu. Lembaga pembuat hukum (legislatif), berkolaborasi dengan lembaga pemerintahan (eksekutif), maupun lembaga penegak hukum (yudikatif), menjadikan hukum sebagai alat, sarana untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Rakyat dipaksa tunduk (tak berdaya) dengan dalih mesti taat pada hukum negara. Oknum aparat keamanan, didisain sedemikian rupa, agar mampu mengamankan kebijakan pemegang kekuasaan. Pada ranah kehidupan strategis, hukum dan aparaturnya, diorientasikan demi kelanggengan kekuasaan, dan pemaksimalan kepentingan.

Pengalaman menunjukkan bahwa dalam berdemokrasi, suara rakyat dapat dibeli. Tak bisa dipungkiri, uang, fulus, cuan, mewarnai karakter demokrasi. Atas dasar pengalaman demikian, dapat diprediksi, dalam Pilpres nanti, model pemenangan serupa, akan digunakan lagi. Artinya, money politic itu pasti ada. Sulit dicegah. Sulit ditindak. Money politic sebagai sistem ijon, sudah diberikan jauh hari, secara terus-menerus, sebelum Pilpres. Misal, diberikan dalam bentuk tambahan uang saku, uang transport, uang makan, bantuan sembako, pengadaan fasilitas umum, sarana-prasarana, dan lain-lainnya. Di balik kedermawanan itu, ada pamrih, jangka panjang. Berkat money politic, siapa pun yang pernah mendapatkannya, akan merasa senang. Seolah ditolong. Lebih sejahtera kehidupannya. Implikasinya, merasa berhutang budi. Maka pilihan pada saat Pilpres atau Pileg, menjadi bias. Cenderung diberikan kepada kubu pemberi money politic.

Dapat diduga dan telah terindikasi bahwa dalam bertarung di medan pertempuran Pilpres nanti, ada kubu yang begitu yakin akan kemenangannya. Keyakinan demikian, terpulang pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, yakni: pemilih dan oknum aparat dapat dibeli, sebagaimana terurai di atas.

Akan tetapi, kubu lain, merasa yakin pula, bahwa di luar kuasa manusia, masih ada kuasa Ilahi. Dialah Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa. Hanya oleh-Nya, kemenangan dan kekuasaan diberikan. Keyakinan bernuansa moralitas-religius, mendasari dan mengendalikan sikap dan perilakunya. Senantiasa tawadu’ (rendah hati). Terus berjuang sungguh-sungguh (jihad). Tidak perlu jumawa, sombong, over confidence. Selalu ingat pepatah, “di atas langit masih ada langit”.

Pepatah ini sarat dengan pesan moralitas-religius, antara lain: pemahaman bahwa penghuni alam semesta ini memiliki tingkatan martabat berbeda-beda. Setiap tingkatan memiliki langitnya masing-masing. Konsep langit, bermakna sebagai ketinggian martabat, terkait dengan ketaatannya pada hukum-hukum Tuhan. Tiadalah hukum yang lebih benar daripada hukum Tuhan. Tuhan tak pernah ingkar janji. Kepada makhluk-makhluk yang taat pada hukum-Nya, pasti diberikan kemudahan segala urusan, dan ketika berperang melawan kedzaliman, pasti dimenangkan. Di atas langit masih ada langit. Allah swt, Maha Tinggi dan Maha Kuasa atas segalanya.

Siapa pun yang ber-Pancasila dengan benar, pasti yakin bahwa Allah-lah yang menciptakan tujuh lapis langit. Dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya. Petunjuk demikian diberikan, agar manusia mengetahui bahwasanya Allah maha kuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya Allah dan ilmu-Nya, benar-benar meliputi segala sesuatu.

Langit itu tinggi. Tinggi, sering digunakan sebagai simbol kemuliaan. Sebaliknya, rendah, sering menjadi lambang kehinaan. Pertanyaannya: apa yang membuat seseorang digolongkan lebih tinggi  (mulia) daripada orang lain? Jawabnya: akhlak.

Dalam berbagai kesempatan saya nyatakan bahwa dalam konteks bernegara hukum, akhlakul karimah dapat dimanifestasikan dalam bentuk konsistensi. Konsistensi bernegara hukum Pancasila, merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan adil-makmur, bahagia dunia-akhirat. Konsistensi adalah ketaatan pada nilai-nilai Pancasila, dan keseluruhan hukum yang berlaku secara sistemik.

Pada Pancasila terdapat nilai Ketuhanan. Posisinya berada di puncak semua nilai-nilai lainnya. Berfungsi sebagai penggaransi keutuhan dan keharmonisan, serta terwujudnya sistem nilai sebagai pandangan hidup bangsa. Dalam bernegara hukum, ada kewajiban pada penyelenggara negara untuk mampu menjabarkan nilai-nilai Pancasila menjadi asas-asas hukum. Lebih lanjut, dari asas-asas hukum dikonkritkan menjadi norma-norma hukum, dalam bentuk berbagai perundang-undangan. Hukum demikian itulah yang mestinya ada dan dilaksanakan serta ditegakkan.

Bila konsistensi demikian berlangsung dalam Pilpres, dapat diyakini, bangsa ini akan meraih kebahagiannya. Segala kebutuhan lahir-batin, dalam skala pribadi, sosial, nasional, sampai ke ranah internasional, pasti terwujud. Keyakinan demikian bertolak pada nilai Ketuhanan itu sendiri. Di dalamnya tersirat janji Tuhan akan limpahan rahmat-Nya. Kapan? Ketika seluruh komponen bangsa konsisten taat pada perintah-perintah-Nya, sekaligus menjauhi larangan-larangan-Nya.  Maka tak perlu bangsa ini bersedih hati. Tak perlu khawatir akan masa depannya. Di atas hukum yang bersumber pada Pancasila, kebahagiaan di bumi dan di langit Indonesia, pasti dapat diraih.

Wallahu’alam. Salam Pancasila, Sehat, Bahagia.

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM