Merajut Harapan dari Hari Santri
HARI Santri (22/10/2022) ini, kita ingin menjadi momentum kebangkitan kaum muda untuk terus dan selalu meneguhkan sikap, rasa dan aksi toleransi, menghadirkan empati tanpa diskriminasi tanpa intimidasi. Hari Santri membawa pergumulan batin kita, jiwa kita dalam framing ke-Indonesia-an. Negara ini didirikan bukan untuk satu suku, bukan untuk satu ras, agama maupun golongan. NKRI ini berdiri di atas semua kaki, banyak kaki.
Bukan hanya ketika kemerdekaan diproklamasikan, sejak negara ini dirancang, sudah melibatkan banyak tokoh dari berbagai suku, beragam ras, bermacam agama dan beraneka golongan. Bung Karno, Bung Hatta, Sam Ratulangi, KH Wahid Hasyim, Liem Koen Hian Liem, dan masih banyak tokoh lainnya tidak memandang suku, ras, agama atau golongan.
Mereka pun tidak sedang dalam kesepahaman yang bulat, dengan pemikiran dan argumen masing-masing. Tapi demi dan untuk berdirinya sebuah negara bernama Indonesia, semua akhirnya merendahkan egonya untuk berhimpun menaikkan satu niat dan tekad kuatnya. Maka kemudian, tak ada lagi yang namanya representasi agama maupun suku, yang ada hanya satu, Indonesia.
Tidak pernah tercatat, pertikaian, permusuhan dan pergolakan itu akan membawa kemakmuran. Jika kita bisa berkawan, jika kita bisa berdamai, mengapa mesti berseteru dan bertikai.
Trisakti
Kontemplasi dan poin kita pada Hari Santri ini, barangkali bagaimana para santri mengimplementasikan konsep Trisakti, Bung Karno dalam pidatonya menyambut Hari Ulang Tahun kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1964, yang bertajuk “Tahun Vivere Pericoloso.” Sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki tiga hal hebat, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Dalam relasi berdaulat dalam bidang politik, maka santri hari ini tak bisa lepas dari peran politis, contoh mudahnya dalam pesta demokrasi. Maka kita sebagai umat Islam harus mampu berperan aktif dalam politik, minimal kita menyalurkan hak politik kita dengan baik dan benar, jangan malah golput. Santri harus berpolitik agar dalam dunia politik itu dipenuhi orang-orang yang baik.
Seyogyanya kaum santri, tidak melulu mengaji atau bicara keagamaan, akan tetapi jiwa nasionalisme dan pemahaman perpolitikan juga turut ditanamkan. Peran santri seharusnya dalam dunia perpolitikan juga ikut menyuarakan kebutuhan yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat.
Secara esensi, politik bukan hanya ajang perebutan kekuasaan, akan tetapi politik yang sesungguhnya seperti yang yang dikatakan oleh Imam AL-Ghazali, yakni pelayanan penguasa kepada rakyatnya. Dalam bahasa Al-Quran politik adalah Amar Ma'ruf Nahi Mungkar. Dapat ditarik kesimpulan bahwa politik bukan hanya perebutan kekuasaan dan pembangunan infrastruktur secara fisik, melainkan juga berperan aktif dalam mengentaskan degradasi moral yang sedang melanda bangsa ini (Indonesia).
Peran penting santri sesungguhnya dalam mengaktualisasikan politik adalah ikut andil dalam menggemakan orientasi politik yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk menuju masyarakat dan negara yang sejahtera. Salah satu alternatif yang layak dilakukan santri adalah memperkaya literasi kepolitikan agar memahami dunia perpolitikan dan bagaimana politik tersebut mampu membawa kemaslahatan, membangun masyarakat yang berdaulat.
Domain berdikari secara ekonomi didasarkan pada kenyataan bahwa kita punya sumberdaya yang melimpah, baik sumberdaya alam dan manusia. Penduduk kita besar, laut kita luas, negeri kita agraris, dan seterusnya. Potensi ini apabila diberdayakan secara optimal, bukan hanya kita bisa mandiri secara ekonomi, tetapi juga menjadi bangsa yang maju, gemah ripah loh jinawi.
Begitu juga dengan potensi santri kita. Seperti halnya di Jawa Tengah, punya lebih dari 4.842 pesantren dan 565.563 santri dengan segala kapitalnya. Bayangkan bila setiap pesantren punya satu unit usaha produktif, baik industri kreatif, agro ataupun pariwisata, misalnya. Maka sekurangnya ada sejumlah 4.842 potensi sentra kewirausahaan produktif se provinsi.
Hal ini tentu bukan saja dapat menjadi sumber penghasilan alternatif bagi pesantren, sekaligus mencetak santri produktif dan mandiri. Jika kemudian terbit Petani Santri Milenial, Santri Berkoperasi, Santri Entrepreneur, Santri yang Berbisnis online, dan e-Commerce lainnya. Potensi pasar kita yang sangat besar serta menjamurnya start-up bisnis dari kalangan muda, sudah seharusnya ini juga direspon dengan sigap oleh kalangan santri. Santri zaman now tidak cukup berbekal ilmu pengetahuan semata, tidak hanya belajar membaca kitab kemudian menafsirkanya, lebih dari itu Santri harus bisa mengaktualisasikannya menjadi aktor pertumbuhan ekonomi, minimal sukses juga dalam entrepreneur.
Keindonesiaan
Tentang berkepribadian dalam kebudayaan, secara praksis santri pun dapat memainkan perannya dalam kampanye dan gerakan cinta terhadap kearifan lokal budaya dan tradisi serta teknologi bangsa harus ditingkatkan, sehingga dapat membendung pola budaya westernisasi yang cenderung individualistik, sekuler, konsumerisme serta liberalis.
Tak sedikit sekarang orang-orang silau atas materi, teknologi dan gaya hidup maupun budaya global. Santri dalam konteks ini penting berkontribusi turut menyelesaikan PR bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, narkoba, radikalisme, dan sebagainya. Tak kalah penting adalah menggemukkan moderasi beragama, selain kecakapan akademis. Islam itu rahmatan lil alamin, dan Islam itu damai, ramah dan toleran.
Membangun karakter bukanlah pekerjaan yang mudah, memperbaiki kerusakan mental dan moral lebih sukar daripada memperbaiki kerusakan material. Santri sekurangnya dapat tampil ke depan yang tidak sekadar berceramah dan khutbah, tapi lebih pada menjadi teladan bagi pembangunan karakter, meskipun pesantren kadang masih ditingkah atas ragam praktik kelam di dalamnya.
Pintu masuk untuk menguatkan kembali karakter, moralitas bangsa kita adalah pendidikan, termasuk pendidikan di pesantren. Pesantren menjadi salah satu kunci untuk membangun kesadaran manusia Indonesia dalam menenun kembali tali kedamaian, kebhinnekaan, gotong royong, persatuan, toleransi dan keindonesiaan.
Untuk itu, pesantren jangan sampai hanya mencetak manusia cerdas dan pintar mengaji, melainkan juga manusia yang siap membangun kerja sama dan gotong royong. Kontribusi santri kepada Ibu Pertiwi tak pernah kita hitung, tapi peran dan fungsi santri selalu kita perhitungkan dalam merawat nasib dan masa depan bangsa. *
Marjono
Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng