Hukum dan Konsekuensi Pilihan

Oleh: Sudjito Atmoredjo

Akutnya problema pergulatan antara hukum versus demokrasi, tak lepas dari tampilnya hukum sebagai kontruksi manusia pada ranah politik dan ekonomi. Sejak saat itu, hukum menjadi sangat artifisial dan berwatak liberal. Ketika kebebasan dijadikan sebagai basis pengkontruksian hukum, maka hukum yang otentik-naturalistik, bernasib malang. Diobrak-abrik. Dimarginalkan. Bahkan dinihilkan. Keberadaan dan keberlakuan hukum Tuhan itu bak pepatah: hidup enggan, mati tak mau.

Hukum dan Konsekuensi Pilihan
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

SALAH satu fungsi hukum adalah sebagai sarana untuk penataan segala perikehidupan manusia, agar kehidupan bersama berlangsung tertib, teratur, harmonis. Lebih dari itu, bila ada sengketa, dapat diselesaikan secara adil.

Hukum otentik adalah hukum Tuhan. Itulah karunia agung al-Khalik kepada makhluk-Nya. Hukum otentik, hadir di muka bumi. Mengejawantah dalam bentuk hukum alam, sunatullah, maupun hukum-hukum lainnya. Bila manusia taat padanya, dijamin kehidupan menjadi tenang, tenteram, bahagia dunia-akhirat. Segala kebutuhannya pasti terpenuhi. Masing-masing telah dijamin mendapatkannya secara proporsional.

Realitas empiris menunjukkan, bahwa ternyata tidak sedikit orang mengingkari hukum Tuhan itu. Bahkan, serta-merta membuat hukum tandingan. Padahal telah nyata peringatan Tuhan: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS.al-Maidah: 50).

Akibat pengingkaran itu, problema kehidupan di dunia, menjadi rumit, parah, bahkan berdarah-darah. Ambil contoh, kehidupan di Indonesia pasca reformasi. Dengan dalih demokrasi, hukum diidentikan dengan kebebasan. Dengan konsep demikian, maka perilaku apapun, asalkan dalam bingkai demokrasi, dipandang sah. Muaranya, lepas dari kendali dan jeratan hukum.

Akutnya problema pergulatan antara hukum versus demokrasi, tak lepas dari tampilnya hukum sebagai kontruksi manusia pada ranah politik dan ekonomi. Sejak saat itu, hukum menjadi sangat artifisial dan berwatak liberal. Ketika kebebasan dijadikan sebagai basis pengkontruksian hukum, maka hukum yang otentik-naturalistik, bernasib malang. Diobrak-abrik. Dimarginalkan. Bahkan dinihilkan. Keberadaan dan keberlakuan hukum Tuhan itu bak pepatah: hidup enggan, mati tak mau.

Pilihan terhadap hukum, apakah pada hukum otentik ataukah pada hukum jahiliah, memang terbuka bagi manusia. Tuhan telah mengilhamkan kepada manusia jalan kejahatan dan ketaqwaan (fa al-hamahaa fujuurohaa wa taqwaahaa - QS.asya-Syams: 8). Tentu, setiap pilihan ada konsekuensinya.

Bagi mereka yang suci jiwanya, pastilah tepat pilihannya, yakni pada hukum Tuhan. Mereka itulah golongan orang-orang beruntung. Akan tetapi manusia yang jiwanya kotor, rentan terjerumus pada pilihan hukum jahiliah. Sungguh malang dan rugi golongan ini.

Nyatalah bahwa akar masalah pilihan hukum berada pada ranah jiwa (roh). Bertumpu pada jiwa rasional yang ada pada setiap manusia, dimungkinkan tampil premis-premis rasional sebagai panduan sikap dan perilakunya. Dalam hubungannya dengan alam semesta (makro-kosmos), para pakar menyebut manusia sebagai mikro-kosmos.

Lebih dari itu, pada ranah spiritual-religius, dinyatakan bahwa manusia itu memiliki dua dimensi, yakni: dimensi rohani dan jasmani. Keduanya menyatu dalam diri (al-nafs). Itulah manusia hidup.

Dalam mengarungi kehidupannya, manusia sebagai makhluk rohani, mampu memahami wahyu, ilham, hidayah, nilai keimanan dan berbagai hal yang bersifat abstrak, gaib, intuitif. Segalanya kemudian diolah dengan akal, dan dipresentasikan sebagai konsep, sikap dan perilaku.

Kemajuan peradaban dan kebudayaan, dapat diraih ketika ketajaman akal, dipacu dengan pendayagunaan nafsu, sekaligus dikendalikan hati-nurani (qalbu). Pada manusia berkualitas demikian, layak diberi predikat sebagai kalifatullah. Inilah manusia-manusia par excelellence (al-insan al-kamil). Di tangan manusia berkualitas demikian, dipastikan alam semesta dapat dikekelola secara beradab, berkeadilan dan berkesinambungan.

Kembali pada persoalan pilihan hukum. Manusia sebagai kalifatullah diberi kebebasan memilih, bahkan mengkreasi hukum yang dipandangnya baik dan cocok untuk zamannya. Artinya, perlu dipahami bahwa betapapun nilai dasarnya tetap, akan tetapi hukum itu bukanlah realitas statis, stagnan, ajeg, dan mandeg, melainkan terus berkembang, dinamis, seiring dengan perubahan zamannya.

Realitas empiris menunjukkan bahwa di area kebebasan memilih itu, ternyata hanya sedikit (minor) manusia yang suka-rela atas dasar kesadaran dan keimanan, memilih hukum otentik. Sebagian besar (mayor) justru merasa berkuasa dan berwenang, membuat hukum atas dasar kepentingannya. Bahkan ada yang tak peduli, perihal pentingnya kandungan etika dalam hukum yang dibuatnya itu. Fokus perhatiannya hanya sempit, yakni demi tercapainya kepentingan diri sendiri, dan keluarga atau kelompoknya. Tak segan-segan, kepentingan pihak lain dikorbankan. Inilah sikap dan performance hukum jahiliah.

Di atas sudah dikatakan bahwa apapun pilihannya, pasti ada konsekuensinya. Memilih hukum jahiliah, tidak bedanya dengan membuka kran kejahatan.Tatanan kehidupan, beserta alam semesta, yang awalnya dicipta Tuhan dalam keseimbangan, akibat diberlakukannya hukum jahiliah, menjadi rusak, timpang, sarat kedzaliman. Seseorang, atau sekelompok orang berkuasa, bahkan merasa memiliki atas wilayah, beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Di pihak lain, mayoritas penduduk dipaksa tunduk, tak berdaya, dan hanya dapat hidup layak atas belas-kasihannya.

Kejahatan terstruktur, sistematis, dan masif itu, yang berselimut hukum jahiliah itu, kini hadir dan menimpa mayoritas penduduk Indonesia. Apakah ini nasib? Tentu bukan. Munculnya kejahatan terstruktur, sistematis dan massif, terkait langsung dengan dua hal, yakni: (1) Kelihaian, kelicikan, dan katajaman akal-pikiran manusia-manusia jahat, yang rakus akan harta, kekuasaan, dan popularitas; dan (2) Kesalahan, kelemahan, dan disorientasi kehidupan mayoritas penduduk, hanya mengejar materi-duniawi, lepas kontrol dari hukum otentik.

Pesan moral yang ingin disampaikan adalah: (1) Bila hukum jahiliah ingin dihapuskan, tiadalah cukup dengan penggantian konstitusi dan peniadaan peraturan perundang-undangan, melainkan perlu penghapusan watak jahiliah yang masih melekat pada jiwa bangsa; (2) Bila rezim dzalim yang ingin diruntuhkan, maka runtuhkanlah lebih dulu singgasana kedzaliman pada jiwa bangsa; (3) Bila yang ingin diselesaikan adalah masalah bangsa, maka konsistenlah dengan pilihan hukummu. Terus berjuang. Jihad. Amar ma’ruf nahi munkar. Untuk kehidupan yang labih baik. Wallahu’alam. (*)

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM.