Epilog Petani

Epilog Petani

MANGSA rendheng. Pak Tani atiné seneng. Nèng sawah padha macul. Kathoké ireng, klambiné ireng, Yèn wis rampung. Pak Tani mulihé bareng. Sinambi omong-omongan. Sajaké gayeng…..sajaké gayeng. Pikiran resik, tandurané becik, panèn lan regané apik.

Gugusan kalimat yang sangat bersahaja, sesederhana kehidupan petani kita. Celana dan baju hitam, ora macem-macem. Makan, menunya biasa dengan minum dari air kendi. Tapi mereka sudah sangat bahagia di tengah kesederhanaan. Kebahagiaan petani itu bukan materi yang bertumpuk-tumpuk. Kebahagiaan petani itu bukan harta benda, raja brana manéka warna.

Petani berbahagia ketika musim hujan tiba. Tanamannya dapat air yang cukup sehingga tidak kering kerontang. Sehingga kemudian tumbuh dengan baik dan berpanen. Lalu kebahagiaan petani itu juga, kalau guyub, sayuk kaliyan kiwa tengené. Gayeng banget.

Padahal ketika masa panen, bulir-bulir yang menguning itu bukan sepenuhnya milik mereka. Luasan tanah yang mereka garap bukan juga punya mereka, tapi ada yang berkuasa. Kerja keras mereka, tetesan keringat mereka tidak lantas hasil mereka nikmati sepenuhnya.

Ada tuan-tuan tanah, ada rentenir yang mondar-mandir seperti hendak menerkam si fakir. Belum lagi kalau puso, semakin nyaris habis nasib para petani kita ini. Inikah kondisi pahlawan pangan kita. Inikah realita yang mesti terus dihadapi petani Indonesia.

Hati ini ingin berteriak. Dada seakan terus bergolak. Ketika nasi putih hangat tersaji di setiap meja makan rumah tangga di negara kita. Ketika semua masyarakat dapat memenuhi pangannya setiap hari. Tapi pada saat yang sama, petani yang memproduksi padi kemudian hingga jadi nasi belum mulya uripé, bahkan hingga harga cabai dan daging sapi yang diprediksi masih tinggi hingga beberapa pekan ke depan.

Dewi Sri pun akan menangis, bukan saja ketika banyak nasi terbuang oleh orang-orang yang tidak lagi menghargainya. Tapi juga ketika menyaksikan ratapan nasib petani. Saya sadar, nasib mereka bukan untuk terus diratapi. Nasib mereka juga bukan untuk disesali, kenapa harus jadi petani.

Karena petani itu profesi yang sangat mulia dan tidak kalah hebat dengan profesi lainnya. Dari seorang petanilah bangsa ini mampu melahirkan orang-orang hebat di berbagai bidang. Dari seorang petanilah, Indonesia akan menunjukkan kedaulatannya. Nasi dari petani untuk ibu pertiwi.

Kalau saja Si Jaka Tarub tidak penasaran dengan kondisi lumbungnya yang tak pernah habis dan kemudian membuka tutup periuk nasi, maka sebulir padi masih tetap bisa menjadi satu cething nasi. Dan tentu saja persoalan petani tidak sedemikian rumitnya terjadi. Ah itu dongeng pengantar tidur anak saya ketika masih belia.

Kita tidak hidup di negeri dongeng. Kita hidup di negara loh jinawi yang profesi petani bukan lagi jadi impi bagi anak-anak negeri. Tapi meski demikian, profesi petani akan terus sangat berarti bagi negeri. Petani sampai kapan pun akan sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan kehidupan anak-anak negeri.

Yang harus kita lakukan adalah, menjadikan profesi tani semakin seksi bagi anak-anak negeri. Yang harus terus diperjuangkan adalah ngudi kamulyanning dulur tani. Kini deretan petani milenial bertebaran di tanah air dan mereka layak menjadi best practice petani.

Ada Sofyan Adi Cahyono (25) Ketua Gapoktan Sayur Organik Merbabu (SOM) Jawa Tengah, bersama 25 petani lainnya mampu mengalirkan penghasilan Rp 300 juta per bulan. Nominal ini gaji Bupati saja kalah.

Tak kalah, petani perempuan asal Malang Jatim, Miranda Vivi Febriana (25 th), berawal  mendapat stimulus modal Rp 30 juta yang ia manfaatkan untuk berjualan pakan ternak ayam, yang diolahnya dari ablok jagung (bahan limbah pabrik pakan). Penghasilannya saat ini sudah tembus Rp 26 juta per bulan.

Kesahajaan

Kemudian petani berkilau lain, seperti Sandi Octa Susila (26)  yang memiliki 141 item holtikutura yang dihasilkan di antaranya tomat, buncis, cabai dan kembang kol. Sandi kini membina 385 petani dan pengelolaan lahan seluas 120 hektare tersebar di berbagai wilayah dengan omzet sekitar Rp 500 juta per bulan.

Hai…para sedulur tani, fantastis bukan?!!! Kemuliaan petani tidak dari kepala desa, bupati atau elit lainnya. Kemuliaan petani itu ya dari ikhtiar atau usaha sedulur tani sendiri, dengan didasari doa kudus kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Murbèng Dumadi. Pemerintah itu sekadar jadi lantaran atau perantara.

Kalau kini jadi buruh tani, mudah-mudahan segera jadi pemilik tanah sendiri. Yang semula tak punya lahan bertani, maka mendayagunakan lahan pekarangan untuk ketahanan pangan keluarga di tengah pandemi covid-19 adalah pilihan bijak. Yang tanahnya sempit, jadilah petani dengan kepemilikan lahan yang makin luas. Lalu petani dapat benih unggul, pupuk mencukupi, sarana produksi memadai, dan produknya bertambah dan sejahtera.

Terakhir, jauh lebih hebat kala menjadi sosok petani yang terus belajar meningkatkan kemampuan untuk kamulyaning dhiri. Kita pun akan belajar  atau mesu budi dari sedulur tani sekalian tentang arti kebersahajaan, saripati sebuah kebahagiaan dan kesejahteraan. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng