Delapan Hari SSAF di TBY, Menepis Anggapan Difabel Terpinggirkan dari Hiruk Pikuk Seni Yogyakarta

Perupa disabilitas karyanya dibeli hanya karena kasihan, itu masa lalu.

Delapan Hari SSAF di TBY, Menepis Anggapan Difabel Terpinggirkan dari Hiruk Pikuk Seni Yogyakarta
Kepala TBY, Purwiati, mendorong kursi roda peserta pameran, Yaya Maria, saat pembukaan SSAF, Kamis (14/9/2023). (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Sejak Ariani Nisma Putri atau Putri Ariani, gadis penyandang tunanetra itu berhasil menembus panggung musik Amerika Serikat (AS), keberadaan kaum disabilitas di Indonesia tidak lagi dipandang sebelah mata.

Ini yang menjadi salah satu semangat digelarnya Suluh Sumurup Art Festival (SSAF), event pameran seni yang 100 persen diikuti oleh disabilitas pada 14 - 22 September 2023 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

Selain menjadi semacam penanda, kegiatan itu juga mampu membuka mata khalayak umum. Setidaknya ada harapan baru untuk menepis anggapan difabel yang memilih jalur seni terkesan terpinggirkan dari hiruk pikuk aktivitas seni dan budaya di Kota Budaya, Yogyakarta.

Berlangsung delapan hari, kegiatan bertema Gegandengan itu dibuka oleh Jonna Aman Damanik selaku Komisoner Komisi Nasional Disabilitas bersama Kepala TBY Dra Purwiati, Kamis (14/9/2023). Tampak mendampingi tiga orang kurator masing-masing Budi Sukri Dharma, Nano Warsana dan Budi Irwanto serta perwakilan seniman, Yaya Maria dan Zakka Nurul Giffani Hadi.

Konferensi pers Suluh Sumurup Art Festival (SSAF) di TBY. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Ratusan karya seni rupa dua dan tiga dimensi dari puluhan penyandang disabilitas dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta, dalam Suluh Sumurup Art Festival (SSAF).

Kepada wartawan saat konferensi pers, Purwiati menyatakan Ini merupakan salah satu program tahunan Taman Budaya Yogyakarta yang dikhususkan untuk penyandang disabilitas pelaku seni di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), baik perorangan maupun komunitas.

“Saatnya kita berani memberi ruang disabilitas, memfasilitasi pameran seni rupa, pentas dan UMKM. Kekayaan pribadi adalah karya dari arti yang sesungguhnya. Memang, kami belum berani mengatakan acara ini sempurna. Harapannya TBY bisa disiapkan menjadi ruang bersama bagi difabel. Spirit ini menjadi motivasi kami melakukan kegiatan yang lebih baik lagi,” ungkapnya.

Sejumlah 18 peserta perorangan serta delapan komunitas seni penyandang disabilitas terlibat dalam festival tersebut. Mereka, di antaranya Anugrah Fadly Kreato Seniman, Aqilurrachman Abdul Charitz, Damar Sulistyo, Dwi Putro , Edi Priyanto, Eva Kasim, Mishka Fathina Dewanto, Muhammad Filodota Febrigata.

Kepala TBY, Purwiati. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Kemudian, Muhammad Hariyanto, Salasatul Hidayah, Salim Harama, Yaya Maria, Yogi Suganda Siregar, Zakka Nurul Giffani Hadi, Aidan Akbar, Ni Putu Davita Nareswari, dan Putri Nidhaul Hasanah.

Adapun delapan komunitas yang terlibat adalah AndArt, ba(WA)yang, Eco Diffa, JDA (Jogja Disability Arts), Kembang Selatan, Para Rupa, Potads dan Sayap Ibu.

Budi Sukri Dharma, Nano Warsana dan Budi Irwanto, ketiganya sepakat Gegandhengan, kosa kata bahasa Jawa  yang secara harfiah berarti bergandengan, dalam konteks lebih luas lagi bermakna kebersamaan. Tema ini digagas sebagai upaya mengedepankan kebersamaan, kerja sama, kolaborasi, dan solidaritas sesama penyandang disabilitas pelaku seni dengan masyarakat secara umum. “Seni menjadi sarana pemersatu, demikian ruh yang dibangun Suluh Sumurup Art Festival,” kata Budi Sukri.

Disebutkan, selain karya-karya perorangan dan komunitas, pada SSAF kali ini juga dipamerkan karya-karya kolaboratif penyandang disabilitas dengan seniman non-difabel. Selain itu, juga mengakomodir partisipasi penyandang disabilitas pelaku seni, yang belum terbaca atau tidak terpetakan dalam dunia seni pamer.

Suasana ruang pameran SAAF di TBY. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Serangkaian kegiatan penyandang disabilitas juga melengkapi acara pameran di antaranya stan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), pementasan potensi serta workshop dan diskusi.

Lebih lanjut, Budi Sukri menyampaikan tema pameran kali ini sangat relevan dengan kearifan nenek moyang yang senantiasa nguwongke wong. Itu artinya, disabilitas sebenarnya sudah dekat dengan masyarakat. “Perlu diberikan cahaya agar lebih terlihat,” ucapnya.

Panitia mengapresiasi TBY yang begitu peduli dengan disabilitas dengan menyediakan akses inklusif mulai dari kamar mandi, toilet maupun rak yang ramah difabel.

Budi Irwanto menambahkan, sejumlah 159 karya dua dan tiga dimensi yang dipamerkan. Total peserta 50 orang. “Gegandhengan ini kita melihat membawa spirit kebersamaan. Kita terjemahkan posisi seni memiliki bahasa universal yang mampu menembus sekat dan batas yang sering diciptakan secara sosial,” ungkapnya.

Yaya Maria di samping karyanya yang dipamerkan di TBY. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Pada sisi lain, lanjut dia, seni juga mampu mencairkan salah pandang maupun salah paham terhadap disabilitas. “Seni mampu mentransformasikan difabel yang sering stereotip diartikan sebagai orang yang tergantung. Di sini mereka sangat aktif dan menjadi kreator,” kata dia.

Nano Warsana menyatakan, SSAF tidak hanya sekadar menunjukkan keragaman karya dan tema tapi juga memiliki makna penghormatan terhadap pemberdayaan dan memuliakan disabilitas ketika mereka berproses dan berkreasi melalui karyanya.

“Seniman yang kita pilih benar-benar punya aktivitas kesenian,” ujarnya seraya berharap event tersebut ke depan lebih besar lagi, berkesinambungan serta berkelanjutan.

Secara khusus, Jonna Aman Damanik memberikan apresiasi kepada TBY yang menginisiasi kegiatan seperti ini sehingga bisa menyatukan disabilitas.

Shelter untuk pengunjung selama pameran berlangsung. (sholihul hadi/koranbernas.id)

“Inisiasi ini luar biasa untuk penghormatan dan pemenuhan hak disabilitas,” jelasnya seraya mengutip lima unsur representasi pemberdayaan disabilitas sebagaimana termuat di dalam Undang-undang (UU) No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Sebagaimana tema acara itu, menurut dia, kata kuncinya adalah bergandengan tangan atau kolaborasi. “Perupa disabilitas karyanya dibeli hanya karena kasihan, itu masa lalu. Stigma ini menjadi cikal bakal ketertinggalan disabilitas. Kita memulai paradigma baru yaitu memanusiakan manusia seutuhnya termasuk disabilitas,” kata dia.

Mewakili rekan-rekannya, Yaya Maria dan Zakka Nurul Giffani Hadi menyampaikan agenda SSAF ini sangat keren serta bukan lagi kolaborasi yang setengah hati. “Kami benar-benar difasilitasi sepenuhnya, diberi ruang berekspresi,” kata Maria.

Maria merasa bangga bisa menampilkan tiga karyanya dua di antaranya berjudul Pasar Apung dan Phoenix.

Perasaan serupa disampaikan Zakka. Melalui penerjemahnya, penyandang tunawicara ini berbicara dengan bahasa isyarat, bangga bisa berpameran di TBY.

Berbeda dengan pameran lainnya, ruang pamer selain didesain sedemikian rupa juga dilengkapi semacam shelter bagi pengunjung, berfungsi sebagai tempat istirahat jika merasa lelah. Bentuknya berupa bangku duduk segilima yang ditempatkan pada jalur pengunjung pameran. (*)