Dari Meritokrasi menuju Yuristokrasi

Oleh: Ilham Yuli Isdiyanto

Menariknya, masing-masing dari Hakim MK yang menolak itu memberikan komentar yang sarkas, seperti Hakim MK Saldi Isra menyebutnya “aneh” yang “luar biasa” kemudian Hakim MK Arief menyebutnya “di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar” dan terakhir Hakim MK Wahiduddin menyebutnya ”legislating or governing from the bench”. Dari sini, jelas bahwa putusan MK berkaitan dengan batasan umur lebih sarat pada muatan politis karena mengandung kontroversi sejak sebelum “dilahirkan”. Masyarakat cenderung melihat adanya campur tangan Hakim MK Anwar Usman sudah merujuk pada kondisi yang tidak ideal dan sarat kepentingan, karena Gibran Rakabuming Raka yang paling diuntungkan dalam situasi ini yang notabene saat ini juga berstatus keponakan dari Hakim MK Anwar Usman. Lalu, apakah benar telah ada “mahkamah keluarga” itu yang mengatur keputusan politik (yuristokkrasi)?

Dari Meritokrasi menuju Yuristokrasi
Ilham Yuli Isdiyanto. (Istimewa).

TIDAK ada yang salah dengan kepemimpinan anak muda, bahkan untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden sekalipun. Persoalannya muncul pada proses bagaimana hal itu diwujudkan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi preseden buruk dalam mendorong proses demokrasi yang adil dan proporsional di mana seharusnya dijaga secara fair. Persoalannya muncul karena bukannya mendorong arah pemerintahan berbasis meritokrasi, namun menjadi catatan buruk menuju yuristokrasi.

Komentar terhadap putusan ini untuk pertama kalinya pun bukan muncul dari masyarakat maupun kaum intelektual yang gerah, namun langsung dari Para Hakim MK yang melakukan dissenting opinion. Rakyat bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan Mahkamah Konstitusi, apakah benar ada upaya untuk memprivatisasi menjadi “mahkamah keluarga”?

Logika Hukum vis a vis Logika Politik

Logika hukum memang tidak melulu berpacu pada silogisme melalui penalaran deduktif, sehingga selalu menggunakan batu uji regulasi terhadap fakta-fakta. Artinya, Hakim sejatinya dapat mengabaikan regulasi jika bertentangan dengan nilai-nilai hukum maupun keadilan yang hidup dalam masyarakat (vide Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Namun, logika hukum tidak bisa dilepaskan dari moral sebagaimana disampaikan oleh Ronald Dworkin, bahwa pembacaan hukum adalah pembacaan moral (moral reading). Moral ini adalah takaran atas perilaku yang dianggap benar atau salah, karenanya akan menimbulkan kesan pada diri subyek maupun orang lain.

Hanya saja, pembacaan berbasis logika hukum seringkali terbiaskan dengan pembacaan berbasis logika politik yang lebih pragmatis. Relasi hukum dan keadilan bersandar pada logika argumentatifnya, namun politik tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kekuasaan yang memunculkan kredo “tidak ada teman dan musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”.

Oleh karenanya, sangat berbahaya jika logika politik tercampur dalam logika hukum. Walaupun dalam perspektif politik ada muncul postulat bahwa politik determin hukum, namun hal ini harus dimaknai dalam wilayah pembentukan produk hukumnya dan tidak sampai pada ranah penegakan hukum (law enforcement). Jika logika politik dipaksakan masuk pada wilayah hukum, maka akan muncul inkonsistensi, konflik kepentingan (conflict of interest) bahkan sampai pada kegagalan logika (logica fallacy).

Meritokrasi Terbiaskan Yuristokrasi

Tujuan utama dari sistem Pemilihan Umum yang berdasarkan demokrasi adalah upaya untuk mewujudkan meritokrasi, yakni proses politik yang transparan dan tidak-berpihakan. Dalam konstruksi sistem demokrasi hari ini, maka dasarnya adalah perundang-undangan yang menjadi pencirian demokrasi prosedural.

Legislator yang memiliki kewenangan legislasi kemudian membuat produk hukumnya dengan mempertimbangkan 3 (tiga) landasan pokok, yakni: aspek filosofis, aspek sosiologis, dan aspek yuridis. Ketiga landasan ini kemudian dipertanggungawabkan melalui proses naskah akademis.

Kewenangan ini kemudian oleh MK menjadi dasar dalam memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023 berkaitan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang isinya menolak tuntutan Pemohon karena berkaitan usia minimum calon wakil presiden paling rendah 40 tahun, pada penormaan a quo merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Di sini jelas, bahwa dasar argumentasinya terletak bukan pada aspek substansi materi aturan, melainkan pada aspek kewenangan lembaga. MK pada putusan tersebut melegitimasi daya tafsir dan kebijakan dari pembentuk undang-undang untuk menentukan batasan umur calon wakil presiden.

Namun, kemudian muncul inkonsistensi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kemudian memuat alternatif lain (jalan masuk) dalam memahami batasan umur calon wakil presiden. Isi amar putusan tersebut yakni “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Inkonsistensi pada kedua putusan ini adalah, MK seakan menganulir dasar argumentasi sebelumnya bahwa berkaitan kebijakan batasan umur calon wakil presiden adalah wewenang pembuat undang-undang. Bentuk inkonsistensi ini mungkin wajar jika ada rentang waktu yang cukup sehingga terjadi perubahan sosial, namun kedua putusan ini muncul dalam waktu berdekatan sehingga menimbulkan ketidakwajaran.

Persoalan selanjutnya adalah berkaitan conflict of interest di mana Ketua MK yakni Anwar Usman adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka yang notabene menjabat sebagai Walikota Solo. Secara prosedur memang terlihat “seakan” tidak ada conflict of interest dikarenakan Gibran tidak menjadi Para Pihak dalam perkara a quo. Namun, masyarakat umum sejak awal sudah “membaca” adanya gelagat bahwa tujuan dari permohonan ini tidak lain adalah untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Dalam hal ini, adalah di luar nalar jika masih mengatakan “tidak ada conflict of interest jika Ketua MK Anwar Usman menjadi Hakim Ketua dalam perkara a quo.

Selanjutnya, kekuasaan yudikatif seakan-akan terlalu powerfull dalam mengatur peta perpolitikan, sehingga yang muncul bukanlah demokrasi yang bertujuan mengarah pada meritokrasi, melainkan yuristokrasi yang menjadikan Hakim MK seakan pengatur arah politik yang sebenarnya bukan menjadi wilayahnya.

Mahkamah Konstitusi bias “Mahkamah Keluarga”

Pandangan masyarakat yang “menyindir” Mahkamah Konstitusi sebagai “mahkamah keluarga” tidak lain adalah bentuk kritik dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan konstitusi ini. Sebelum muncul putusan berkaitan batasan umur calon wakil presiden, banyak media sudah menulis kritik terkait “mahkamah keluarga” di mana sudah ada prediksi akan adanya putusan yang menganulir ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum.

Menjadi pertanyaan besar, kenapa pandangan MK berubah dalam waktu sesaat dari mendasarkan pada wewenang kelembagaan pembentuk undang-undang yang bersifat opened legal policy sehingga tidak bisa serta merta diputus sepihak oleh MK, bahkan sampai membentuk norma alternatif (ultra petita) yang ternyata cenderung mengakomodir kepentingan politik praktis ketimbang kepentingan konstitusi.

Hal ini diperkuat dari penolakan tiga Hakim MK terkait permohonan Pemohon yakni: Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams yang menilai seharusnya MK menolak permohonan Pemohon bukan menerimanya.

Menariknya, masing-masing dari Hakim MK yang menolak itu memberikan komentar yang sarkas, seperti Hakim MK Saldi Isra menyebutnya “aneh” yang “luar biasa” kemudian Hakim MK Arief menyebutnya “di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar” dan terakhir Hakim MK Wahiduddin menyebutnya ”legislating or governing from the bench”. Dari sini, jelas bahwa putusan MK berkaitan dengan batasan umur lebih sarat pada muatan politis karena mengandung kontroversi sejak sebelum “dilahirkan”. Masyarakat cenderung melihat adanya campur tangan Hakim MK Anwar Usman sudah merujuk pada kondisi yang tidak ideal dan sarat kepentingan, karena Gibran Rakabuming Raka yang paling diuntungkan dalam situasi ini yang notabene saat ini juga berstatus keponakan dari Hakim MK Anwar Usman. Lalu, apakah benar telah ada “mahkamah keluarga” itu yang mengatur keputusan politik (yuristokkrasi)?

Ilham Yuli Isdiyanto, SH, MH

Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Ahmad Dahlan (PKSPH FH UAD).