Carut Marut Gula Pasir Tak Pernah Manis

Carut Marut Gula Pasir Tak Pernah Manis

KORANBERNAS.ID -- Menelisik impor gula sekarang, banyak yang tidak menyangka bahwa 1931 Indonesia adalah penghasil gula no. 2 terbesar di dunia, begitulah kenyataannya. Produksi yang besar tersebut terjadi karena pemerintah kolonial Belanda menerapkan pemanfaatan maksimum lahan rakyat dan eksploitasi buruh murah.

Seiring waktu, Setelah merdeka, industri gula Indonesia seperti tidak pernah bangkit menjadi penghasil gula terbesar. Jangankan untuk ekspor, untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja sudah megap-megap.

Ketidakseimbangan antara konsumsi dan produksi gula ini membuat Indonesia menjadi pasar yang menguntungkan bagi perdagangan gula. Peluang penyelewengan, penyelundupan, dan fluktuasi harga gula, merupakan situasi yang tidak menguntungkan bagi konsumen.

Forum Transparansi Gula Nasional (FTGN) konsisten menyoroti pergulaan secara menyeluruh mulai dari hulu sampai kepada hilir. Di hulu, FTGN menyoroti tentang kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan petani tebu selaku produsen, sementara di hilir FTGN menyoroti kebijakan-kebijakan yang mungkin merugikan konsumen.

Dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Warung Temu Konco, Jalan Magelang, Yogyakarta, Rabu (21/8/2019). Ketua umum FTGN, Supriyanto Sarjowikarto mengemukakan carut marut pergulaan nasional muncul karena belum terciptanya sistem tata kelola pergulaan yang baik.

Menurutnya, hal ini menimbulkan permasalahan-permasalahan, baik di sektor hulu maupun hilir. Pada sektor hulu (onfarm) masih banyak permasalahan yang belum dapat diatasi sehingga berimbas kepada sektor hilir (tata niaga).

FTGN menggaris bawahi beberapa hal, Salahsatunya adalah produktivitas lahan rendah yang disebabkan tidak tersedianya bibit unggul. Selain itu, praktek budidaya pertanian yang masih tradisional, semakin langka dan mahalnya tenaga kerja serta penggunaan raton tebu secara berulang-ulang.

Kemudian sistem pembelian tebu yang diberlakukan oleh pabrik gula terhadap tebu petani dengan sistem bagi hasil (SBH) tidak dapat memberikan transparansi perolehan rendemen tebu petani.

Saat ini pabrik gula yang masih memberlakukan sistem bagi hasil tersebut justru pabrik-pabrik gula miilik pemerintah (BUMN) yang merupakan tempat bernaung sebagian besar petani tebu. Kondisi pabrik gula milik pemerintah yang merupakan warisan kolonial sebagian besar sudah tidak efisien lagi juga merupakan masalah mendasar.

"Belakangan ini banyak isu-isu yang disebabkan karena ada gula rafinasi beredar di pasar yang akhirnya akan merugikan petani tebu. Hal itu tidak sepenuhnya benar, karena sebetulnya antara gula rafinasi dan gula dari petani tebu tidak ada hubungan secara langsung," papar Supriyanto.

Perlu penanganan yang lebih tepat sasaran lanjutnya, sehingga peraturan pemerintah untuk menangani masalah tersebut bisa mengatasi masalah bukan justru memindahkan masalah ke sektor yang lain.

Supriyanto melanjutkan, permasalahan utama yang sedang banyak dibicarakan di media adalah bocornya Gula Kristal Rafinasi (GKR) ke pasar konsumen. Hal itu semata-mata bukan karena kesalahan para pelaku, tetapi pemicunya adalah perbedaan harga yang cukup signifikan antara gula rafinasi dengan gula kristal putih (GKP).

"Perembesan ini dikhawatirkan akan dapat mengancam Gula Petani (GKP)," pungkasnya.

Saran dan Solusi

Dualisme pasar terhadap komoditi gula pasir harus dihilangkan, sehingga di pasar hanya terdapat satu jenis komoditi, yaitu Gula Pasir. Selain itu, meningkatkan kesejahteraan petani tebu melalui penyediaan bibit tebu ungggul perlu segera dilakukan. penyediaan pupuk yang tepat waktu dan tepat jumlah serta pendampingan kepada petani tebu secara terus-menerus dalam penerapan teknologi budidaya yang tepat guna.

Ketua Bidang Pemberdayaan Petani FTGN, Ardianto Santoso menambahkan, Petani dirugikan dengan sistem penjualan yang berlaku sekarang, karena pabrik gula tidak transparan terhadap petani.

Agar petani terhindar dari potensi ketidaktransparanan rendemen lanjut Ardianto, serta untuk melindungi petani agar tidak dilibatkan dalam permasalahan perdagangan gula, pemerintah diharapkan segera memberlakukan sistem pembelian tebu petani dengan sistim “beli putus” kepada seluruh pabrik gula yang ada, baik milik swasta maupun milik pemerintah.

Dalam rangka memberikan penindungan kepada konsumen, disarankan pemerintah bekerjasama dengan pihak Akademisi melakukan rekapitulasi terhadap HPP Gula Pasir di pabrik gula.

"Rekapitulasi yang berbasis prinsip efisiensi sehingga HET ditingkat konsumen dapat ditetapkan berdasarkan azas-azas perlindungan konsumen," lanjutnya.

Sementara untuk mengatasi rembesan GKR ke pasar konsumen, dianjurkan pemerintah tidak selalu menimpakan kesalahan hanya kepada para IKM (industri Kecil Menengah).

"Pemerintah harus melakukan penertiban pabrik gula rafinasi yang masih memproduksi GKR dengan kristal “kasar” yang secara visual tidak dapat dibedakan dengan GKP sehingga berpotensi besar untuk merembes ke pasar konsumen," pungkasnya. (yve)