Bukan Jawa, Persentase Pemberian ASI Eksklusif Tertinggi Ternyata di Wilayah Timur Indonesia

Bukan Jawa, Persentase Pemberian ASI Eksklusif Tertinggi Ternyata di Wilayah Timur Indonesia
Ilustrasi

KORANBERNAS.ID, JAKARTA--Dalam beberapa tahun terakhir, tren pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif terus mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, persentase pemberian ASI eksklusif nasional terus meningkat dalam 4 tahun terakhir.

Di kutip dari laman BPS, persentase pemberian ASI eksklusif di dalam negeri mencapai 72,04% dari populasi bayi berusia 0-6 bulan pada 2022. Angka itu meningkat 0,65% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang sebesar 71,58%. 

Menariknya, provinsi dengan persentase pemberian ASI eksklusif tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), dan sekaligus juga menjadi provinsi yang berada pada urutan ke 4 stunting tertinggi di Indonesia, yaitu 32,7%. Padahal, pemberian ASI eksklusif diyakini syarat mutlak untuk pencegahan stunting.

Ketua DPN Bidang Kesehatan Perempuan dan Anak Repdem Rusmarni Rusli mengatakan, anomali ASI eksklusif dan stunting di NTB harus menjadi perhatian pemerintah. Selama ini pemerintah selalu berlindung dibalik ASI eksklusif sebagai cara mengatasi stunting. Seolah-olah para ibu yang tidak mampu memberikan ASI untuk anak. Padahal ada persoalan lain di sini yaitu kecukupan gizi. ASI saja tidak cukup bila asupan gizi tidak seimbang,” jelas Rusmarni.

Di sisi lain, aktivis yang akrab di sapa Marni ini juga mengatakan, bicara tentang ASI juga tidak terlepas dari hak-hak perempuan, terutama perempuan pekerja yang hingga saat ini masih diabaikan oleh negara. 

Agar anak tidak stunting, ibu wajib memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Sementara, hak cuti melahirkan pegawai yang ditanggung negara hanya 3 bulan. Artinya, selama 3-4 bulan selanjutnya, para ibu bekerja ini harus berjuang sendiri demi memberikan ASI, bisa tuntas bisa juga gagal bila tidak memiliki support system yang baik. Yang lebih memprihatinkan adalah perempuan dan ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik, lebih minim lagi perlindungannya. Ada sekitar 20% atau 10 juta perempuan bekerja sebagai tenaga produksi (pabrik), artinya, anak-anak dari 10 juta ibu ini berisiko tidak mendapatkan ASI secara eksklusif, pungkas Marni.

Oleh karena, Marni berharap pemerintah dan juga para stakeholder dapat mengatasi persoalan ASI dan stunting dari akarnya seperti ekonomi, edukasi masyarakat serta lingkungan dan support system yang baik untuk ibu. 

Tidak hanya perempuan yang bekerja, bahkan ibu rumah tanggapun beresiko gagal memberikan ASI eksklusif, karena banyak faktor. Karena itu yang dibutuhkan adalah regulasi yang melindungi perempuan terutama ibu bekerja,” imbuhnya.

Nurul Yani misalnya. Penjual perabot rumah tangga ini mengaku mengalami kesulitan memberikan ASI eksklusif untuk putrinya karena ASI nya terus menerus berkurang. 

Ia bahkan sudah berupaya memenuhi asupan gizi dengan tambahan booster ASI. Namun, tuntutan dan lingkungan kerja tidak leluasa bagi Yani untuk melakukan pumping ASI. Dirinya terpaksa menambahkan susu formula agar kebutuhan gizi putrinya terpenuhi.

Bagaimanapun saya juga harus bekerja, tidak bisa hanya mengandalkan penghasilan suami saja, ujar Yani.

Lalu, apakah pemberian susu formula disamping ASI untuk anak adalah sebuah kesalahan?. dr. Robert Soetandio, Sp.A., M.Si.Med dari Rumah Sakit Pondok Indah-Bintaro Jaya mengatakan, dalam memenuhi kebutuhan gizi anak penting bagi orang tua untuk memahami beberapa hal.

Meskipun ASI tetap menjadi asupan terbaik untuk bayi, terdapat situasi di mana pemberian susu formula menjadi alternatif yang dianjurkan, terutama jika ibu atau anak menghadapi masalah medis tertentu yang menghambat pemberian ASI,” jelas Robert.

Dijelaskan Robert, setiap susu memiliki kandungan yang berbeda-beda. Kecermatan dalam pemilihan susu formula sangat diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi secara optimal, mendukung tumbuh kembangnya,” jelasnya. (*)