Budaya dan Kearifan Lokal, Pilar Kerukunan Umat Beragama
KORANBERNAS.ID, KULONPROGO -- Indonesia adalah negara yang bermasyarakat religius dan majemuk. Meskipun bukan negara agama, masyarakat lekat dengan kehidupan beragama dan kemerdekaan beragama dijamin oleh konstitusi. Menjaga keseimbangan antara hak beragama dan komitmen kebangsaan menjadi tantangan bagi setiap warga negara.
Kepala Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Kulonprogo, Wahib Jamil, menyampaikan hal itu saat menjadi narasumber diskusi Budaya dan Kearifan Lokal sebagai Pilar Kerukunan Umat Beragama yang berlangsung secara daring via Zoom Meeting, Kamis (16/9/2021) pagi.
Menurut Wahib Jamil, ada beberapa tantangan dalam menjaga keseimbangan antara hak beragama dan komitmen kebangsaan. Pertama, berkembangnya cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem) yang mengesampingkan martabat kemanusiaan.
Kedua, berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama, serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik berpotensi memicu konflik. Ketiga, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.
Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, menurut Wahib Jamil, maka penting adanya moderasi beragama.
“Moderasi beragama merupakan perekat antara semangat beragama dan komitmen berbangsa. Di Indonesia, beragama pada hakikatnya adalah ber-Indonesia. Dan ber-Indonesia itu pada hakikatnya adalah beragama. Moderasi beragama menjadi sarana mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang harmonis, damai, dan toleran sehingga Indonesia maju,” ujarnya.
“Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan sekaligus membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, serta menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa,” lanjutnya.
Menurut Wahib Jamil, moderasi beragama bukan hal absurd yang tak bisa diukur. Keberhasilan moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat terlihat dari tingginya empat indikator yang selaras dan saling bertautan.
Pertama, komitmen kebangsaan, yaitu penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya.
Kedua, toleransi, yakni menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, menghargai kesetaraan serta sedia bekerjasama.
Ketiga, anti-kekerasan, dengan menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal dalam mengusung perubahan yang diinginkan.
Keempat, penerimaan terhadap tradisi, yaitu ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama.
Sedangkan Ketua Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kulonprogo, Kyai Luqman Arifin Fatkhul Huda ST, yang dihubungi koranbernas.id mengatakan sangat mengapresiasi kegiatan yang dinisiasi oleh Kankemenag Kulonprogo.
“Ini sangat diperlukan untuk memberi wawasan kepada masyarakat agar memahami konteks yang ada. Bisa membedakan antara budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat yang ada, perlu dikembangkan,” kata Gus Luqman. (*)