Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya

Oleh: Sudjito Atmoredjo

Realitas yuridis-sosiologis menunjukkan fakta-fakta berbeda. Tak jarang hukum dan kekuasaan, digunakan sebagai selimut kejahatan. Kehidupan semakin sekuler. Pergeseran penggunaan kekuatan (otot) ala premanisme, bergeser ke kuasaan (otoritas) ala penguasa bengis, selanjutnya bermuara ke pemuasan (nafsu) ala syaitoniah. Hati-nurani ditinggalkan. Akal diperbudak nafsu. Kehidupan menjadi sarat dengan akal-akalan, akal bulus, akal jongkok.

Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

PESAN moral penggalan bait lagu kebangsaan Indonesia Raya itu, sungguh sangat dalam. Untuk membangun negara, diperlukan sikap cerdas (intelektual, sosial, dan spiritual) dalam mengolah sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. 

Dalam keutuhannya, sumberdaya manusia dan sumberdaya alam merupakan satu kesatuan. Demi kelangsungan kehidupan, perlu ada interaksi subjektivitas pada keduanya. Artinya, manusia dan alam masti dipandang sebagai subjek-subjek yang hidup dalam kebersatuan. Keduanya, saling menghormati, saling melindungi, saling memberi, dan saling melengkapi.

Pada setiap manusia, ada jiwa (roh) dan ada badan (raga). Mulai dari jiwa itulah, pembangunan negara seluruhnya dimulai. Seterusnya, diikuti dengan pembangunan badan (fisik-materiil)-nya. Unsur rohaniah digarap lebih awal, dan diposisikan sebagai dasar atau fundamen untuk pembangunan fisik-lahiriahnya.

Hemat saya, logika linier dan sederhana tersebut, amat mudah dipahami semua orang. Para founding fathers pun telah memberikan contoh/keteladanan bagaimana mengimplementasikannya dalam perilaku konkrit. Dipertanyakan, mengapakah penguasa pada era reformasi justru menjungkir-balikan logika itu dalam penyelenggaraan (praktik) kenegaraan?

Fakta-fakta empiris menunjukkan bahwa ketika pembangunan fisik-materiil digenjot, sementara pembangunan mental-spiritual diabaikan, maka akibat (dampak) negatifnya amat terasakan. Korupsi meraja-lela. Judi online marak, merasuk pada oknum anggota DPRD dan DPR, bahkan oknum kepolisian. Anak-anak muda kecanduan narkoba. Olahraga miskin prestasi. Kemiskinan struktural semakin akut. Quo vadis Indonesia raya.

Ditelusuri pada ranah potensi bangsa, sebenarnya bangsa ini memiliki dua modal dasar amat potensial untuk pembangunan negara, yakni: (1) kesehatan;  dan (2) kesempatan. Pada skala mikro (perorangan) maupun skala makro (bangsa) apalah artinya kaya-raya, punya posisi/jabatan tinggi, populer, kalau seseorang atau negara sakit. Makan tak enak. Tidur tak nyenyak. Bangun tidur, bukannya semangat bekerja, tetapi bingung bagaimana melunasi hutang. Senantiasa ada ketergantungan pada orang atau bangsa lain.

Idealnya, semua orang di negara ini hidup sehat, lahir-batin. Dalam kondisi demikian, kesempatan beramal terbuka lebar. Alangkah rugi, bila kesempatan dibiarkan berlalu. Lebih celaka lagi bila kesempatan ada, tetapi salah arah dalam penggunaannya. Orientasi bukan untuk kemaslahatan, melainkan untuk penumpukan harta-kekayaan melalui kejahatan.

Dalam perspektif yuridis-normatif, kesehatan dan kesempatan itu merupakan modal penting agar manusia mampu mencapai derajat-martabat kehidupan tertinggi. Bermodalkan dua perkara itu, ketika orde hukum hadir, maka kejahatan sebagai manifestasi penggunaan kekuasaan telanjang dapat dicegah, ditindak, dan dihentikan. Seterusnya perilaku saleh, jujur, sopan, santun, mewarnai rona kehidupan. Terwujudlah kedamaian, ketenangan, ketenteraman. Itulah idealitas, mimpi-mimpi indah.

Akan tetapi, realitas yuridis-sosiologis menunjukkan fakta-fakta berbeda. Tak jarang hukum dan kekuasaan, digunakan sebagai selimut kejahatan. Kehidupan semakin sekuler. Pergeseran penggunaan kekuatan (otot) ala premanisme, bergeser ke kuasaan (otoritas) ala penguasa bengis, selanjutnya bermuara ke pemuasan (nafsu) ala syaitoniah. Hati-nurani ditinggalkan. Akal diperbudak nafsu. Kehidupan menjadi sarat dengan akal-akalan, akal bulus, akal jongkok.

Kesehatan dan kesempatan merupakan pendukung terwujudnya negara hukum Pancasila.Ash-shihhah” (bahasa Arab), berarti: sembuh, sehat, selamat dari cela, nyata, benar, dan sesuai dengan kenyataan. Sinonim kata “ash-shihhah” yaitu “al-‘afiah”.  Diindonesiakan menjadi ‘sehat wal afiat’. Artinya sehat secara sempurna.

Bangsa Indonesia harus sehat. Mengapa? Karena sehat merupakan kondisi jiwa-raga normal, sehingga memungkinkan seseorang berpikir, bersikap, dan berperilaku berdasarkan hukum yang benar. Ajaran suci menyerukan: “Gunakan masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu”. Dengan kata lain, mumpung masih sehat, maka berbuatlah kebajikan sebanyak mungkin.

Penggunaan kesehatan mesti dipadukan dengan kesempatan yang tersedia. Kesempatan, adalah masa, waktu, atau peluang untuk berbuat sesuatu. Yudi Latif (on Instagram berjudul: Karya Agung, 2024) memberikan pencerahan, bahwa makna kesempatan itu serupa dengan apa yang disebutnya “celah”. Dikatakan bahwa zaman peralihan menyediakan ruang keagungan. Ketika yang lama sedang remuk, sedang yang baru belum terbentuk, ada celah retakan di antara keduanya. Melalui celah itulah cahaya penciptaan baru bisa muncul.

Karya-karya agung (pembangunan bangsa, pen.) terlahir karena kecocokan dengan spirit zaman. Seperti mutiara yang cocok dengan rongga kerangnya. Terlahir karena bisa menangkap suara zaman, bahkan mampu hidup melampaui zamannya.

Komunitas orang-tua (pensiunan, purnawirawan) umumnya sadar, gembira, ketika mengenang masa mudanya, masa sehatnya, masa berkuasanya, dengan harta dan keuasaannya telah mengisi kehidupannya dengan amalan-amalan baik. Penyesalan pada hari tua, tak ada gunanya, bila masa muda hanya digunakan untuk berfoya-foya, sesat arah, tanpa tujuan.

Sehat itu karunia Ilahi Rabbi. Perlu dijaga sepanjang hayat. Jangan sembrono mempertaruhkan kesehatan dengan mengumbar nafsu. Berhentilah makan sebelum kenyang. Makanlah makanan yang hak dan tayyib. Dengan cara-cara yang baik.

Suatu kewajaran, seseorang berusaha menjadi kaya-raya. Sungguh celaka, bila seseorang hidupnya miskin. Apalagi fakir. Sejak muda hingga dewasa, setiap kesempatan dimaksimalkan untuk menggapai kekayaan.

Dalam kesibukan demikian, perlu kesadaran bahwa hakikat harta-kekayaan bukanlah jumlah harta yang terkumpul, melainkan harta yang disedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Itulah amal jariyah. Pahala amalan ini, akan terus mengalir, mengiringi pemiliknya, hingga di alam akhirat kelak. Hakikat harta lainnya, sebatas perhiasan duniawi. Berpisah dengan pemiliknya, ketika ajal (keamatian) tiba.

Sungguh, tak seorang pun tahu, kapan ajal tiba. Hidup dan kehidupan di dunia hanya sementara. Tidak kekal. Karenanya, tiada sikap bijak, kecuali memaksimalkan kesehatan dan kesempatan untuk beramal saleh. Amal saleh dimaksud, secara vertikal dalam bentuk pengabdian kepada Ilahi Rabbi, dan secara horizontal berbuat baik kepada sesama makhluk.

Kepada orang-orang kaya dan berkuasa layak diingatkan. Posisikan, sandarkan, tempatkan, segala pemikiran, sikap, amalan, dan perilaku, apa pun pada hukum yang benar. Dalam konteks Indonesia, hukum yang benar dimaksud bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Mumpung masih sehat dan ada kesempatan, hukum-hukum lainnya, mesti dikritisi, direkronstruksi, agar menjadi hukum yang benar.

Bangunlah jiwanya. Bangunlah badannya. Negara hukum ini akan tetap merdeka, sehat, adil, makmur, bila hukumnya benar dan manusianya sehat, beradab. Wallahu’alam. **

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Sekolah Pascasarjana UGM.