Asosiasi Kurator Mendukung Penyelesaian Utang Garuda Secara In Court

Asosiasi Kurator Mendukung Penyelesaian Utang Garuda Secara In Court

KORANBERNAS.ID, JAKARTA—Rencana pemerintah melakukan restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) melalui jalur hukum di pengadilan atau in court mendapat dukungan sejumlah pihak. Salah satunya, dari Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI).

Ketua Umum AKPI Jimmy Simanjuntak menilai, gagasan pemerintah ini merupakan sangat realistis dan menjadi solusi terbaik bagi persoalan yang melilit BUMN tersebut. Ia mengatakan, setiap debitur korporasi berhak memanfaatkan fasilitas in court untuk bisa melakukan penyehatan keuangan perusahaannya. Artinya, jika debitur ingin mencapai hasil yang cepat dalam melakukan restrukturisasi utangnya, caranya memang harus ditempuh melalui proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Jimmy menjelaskan, fasilitas restrukturisasi utang melalui jalur in court, tertuang di dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pasal itu menyebutkan, upaya debitur merestrukturisasi utangnya lewat PKPU bertujuan untuk mencapai suatu kesepakatan atau perdamaian.

Lewat PKPU, debitur diberikan kesempatan mengajukan proposal perdamaian sesuai dengan skema restrukturisasi. Proses restrukturisasi utang lewat PKPU lebih efisien dan efektif, dibandingkan penyelesaian melalui mekanisme di luar pengadilan.

“Melalui proses PKPU, para kreditur lokal maupun asing harus tunduk kepada yurisdiksi atau ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebab, keputusan PKPU itu mengikat untuk semua kreditur,” kata Jimmy menanggapi rencana tersebut.

Dalam rilisnya, Kamis (11/11/2021) malam, Jimmy mengatakan, jika ingin ikut dalam proses restrukturisasi utang lewat PKPU, kreditur asing harus mendaftarkan diri terlebih dahulu ke pengadilan niaga di Indonesia.

Memang, hasil keputusan dari PKPU tersebut harus didaftarkan kembali ke pangadilan di London, Inggris. Bukan mustahil, jika kreditur tidak menyetujui proposal perdamaian di PKPU, akan ada gugatan lanjutan di Pengadilan Arbitrase Internasional di negeri Ratu Elizabeth tersebut. Yakni, melalui London Court International Arbitration (LCIA).

Namun, jika proses restrukturisasi in court disertai dengan niat dan itikad baik dari Garuda sebagai debitur untuk mencapai homologasi atau perdamaian dengan kreditur, proses PKPU akan berjalan dengan mulus.

“Jadi, kesepakatan homologasi akan bergantung pada proposal perdamaian yang ditawarkan Garuda,” kata Jimmy lebih lanjut.

Dalam proposal perdamaian, selain meminta keringanan utang, Garuda bisa mengajukan permintaan konversi utang menjadi saham dengan periode selama 10 tahun. Dengan proposal itu, kreditur akan yakin bahwa Garuda bisa diselamatkan. Sebab, barang-barang atau utang yang diberikan kreditur kepada Garuda bukan sebagai barang jaminan, melainkan barang modal punya kreditur yang sewaktu-waktu bisa ditarik kembali.

Tentu, proposal perdamaian yang diajukan Garuda harus mempertimbangkan beberapa faktor. Selain, melihat kondisi ekuitas atau keuangan pihak debitur baik dari sisi pendapatan maupun beban operasional Garuda per bulan, juga harus melihat faktor keberadaan investor. Dengan kata lain, apakah ada bantuan atau dukungan dari pihak ketiga, dalam hal ini baik pemerintah maupun swasta. Selain itu, adanya aset-aset debitur yang bisa dijadikan jaminan untuk pembayaran utang kepada kreditur juga menjadi pertimbangan.

Memang, jika ketiga faktor tersebut tidak bisa memenuhi keinginan kreditur, bisa saja menjadi kendala bagi upaya restrukturisasi utang melalui jalur PKPU. Atau bisa juga kreditur tidak mau disodorkan pembayaran cicilan utang Garuda tanpa ada jaminan yang diberikan dari pemerintah atau investor.

“Jadi siapa yang mau menjamin pembayaran utang Garuda?. Kalau tidak ada yang menjamin, sulit bagi Garuda mencapai perdamaian dengan kreditur. Bila tidak tercapai perdamaian di PKPU. Itu artinya Garuda bisa pailit. Jadi Dalam proses di PKPU, Garuda tetap harus mempunyai fresh money. Sehingga memberikan keyakinan penuh terutama pada kreditur di dalam negeri, bahwa perusahaan memiliki dana untuk membayar kewajibannya tepat waktu meski dengan mengangsur,” paparnya.

Terpenting, dalam proses pembayaran utang tersebut, Garuda harus mendapatkan grace periode dari pihak kreditur. Misal, grace periode itu diberikan dalam jangka waktu tiga tahun. Ini akan membantu Garuda untuk memperbaiki terlebih dahulu kinerja keuangannya.

Dengan adanya grace periode, Garuda tidak ditagih dulu untuk membayar utangnya. Dengan begitu, Garuda punya napas yang lega untuk fokus membenahi kondisi keuangannya.

“Nah, setelah grace periode berakhir dan operasionalnya mulai berjalan, barulah Garuda mulai membayar cicilan utangnya kepada kreditur. Saya optimis, ini bisa dilakukan. Kasus serupa pernah dialami raksasa tekstil nasional asal Solo, Jawa Tengah, yakni Duniatex Group. Saat itu, Duniatex Grup memiliki utang sebanyak Rp 22,36 triliun yang tersebar di 58 kreditur. Juni 2020, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Semarang telah mengesahkan perjanjian perdamaian konglomerasi bisnis pertekstilan di Jawa Tengah itu dengan para krediturnya. Akhirnya, Duniatex bisa menjalankan usahanya, tanpa lagi dibayang-bayangi sanksi pailit. Hasil putusan PKPU akan bergantung pada niat baik pemerintah dalam menyelamatkan Garuda. Jika Garuda dianggap sebagai aset strategis negara, pemerintah harus serius menyelamatkan Garuda,” tegas Jimmy.

Jimmy mengingatkan, pemerintah juga harus serius membenahi manajemen Garuda ke depan. Bagi mantan manajemen Garuda yang terindikasi melakukan dugaan suap dan korupsi perjanjian sewa pesawat, bisa digugat kembali secara hukum. Dalam pengadilan niaga, gugatan kepada manajemen lama disebut gugatan lain-lain.

Jimmy mengatakan, di dalam pasal 3 ayat 1 UU tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, ada sarana hukum yang memfasilitasi gugatan kepada direksi atau komisaris yang melakukan dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan pihak debitur (Garuda).

“Kalau manajemen lama terbukti melakukan dugaan korupsi, harta pribadinya bisa digugat Garuda,” kata Jimmy.

Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR, Selasa (9/11/2021), Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo menegaskan, pemerintah tengah mengkaji opsi restrukturisasi keuangan Garuda melalui jalur pengadilan atau in court. Opsi ini dipilih lantaran jumlah kreditur Garuda sangat banyak, yakni berkisar 60 kreditur.

Dari jumlah kreditur sebanyak itu, ungkap Kartika, sekitar 70% merupakan kreditur asing.

“Tidak mungkin Garuda melakukan negosiasi satu persatu dengan 60 kreditur. Waktunya bisa 2 tahun tak selesai,” kata Tiko, sapaan akrab Kartika Wirjoatmodjo.

Selain itu, sulit bagi Garuda melakukan permohonan moratorium, karena tidak semua pemberi sewa atau lessor mau moratorium. Per November 2021, utang Garuda dilaporkan membengkak menjadi US$ 9,8 miliar atau nyaris Rp 140 triliun.

Tiko menargetkan, proses restrukturisasi akan tercapai pada kuartal II tahun 2022. Jika opsi yang ditempuh membuahkan hasil, Garuda bisa mengurangi ongkos operasionalnya menjadi US $ 80 juta per bulan, sehingga kinerja perusahaan akan pulih pada 2023.(*)