Aji Mumpung, Warung Nuthuk

<i>Aji Mumpung,</i> Warung <i>Nuthuk</i>

BEBERAPA hari belakangan Pemkot Yogyakarta dibuat sibuk untuk menemukan pedagang pecel lele nakal, yang mengenakan harga seenaknya sendiri dan sudah kelewatan. Urusan 'nuthuk' harga pecel lele yang dibanderol Rp 37 ribu dari harga wajar Rp 15-17 ribu per porsi itu bermula dari sebuah video seorang wisatawan yang mengaku dijebak saat makan di sebuah rumah makan lesehan.

Dalam video, wisatawan itu mengatakan tempat makan tersebut berada di Malioboro Yogyakarta (travel.tempo.co, 28/5/2021). Kasus itu berujung permintaan maaf pedagang yang merusak harga tersebut. Kasus “aji mumpung” Malioboro hanyalah fenomena gunung es di Jogya, kota lain bahkan negeri ini. Apa yang sudah dipraktikkan oleh pedagang pecel di atas jelas membuktikan: miskinnya rasa syukur atas rezeki yang diterjunkan hari itu oleh Allah SWT, kusut dan kurusnya kemanusiaan.

Di samping itu, ulah pedagang di atas hanya menunjukkan kelemahan pedagang yang bersangkutan, karena memberikan impresi hanya pengin enak dan cepat (instant) dalam memperjuangkan sesuatu atau nggege mangsa dengan cara yang tamak, serakah. Suka tak suka, akibat praktik buruk pedagang pecel tersebut, para pedagang lainnya terimbas dengan stereotip kurang baik. Selain menabrak regulasi atau kesepakatan harga seluruh pedagang, mereka pun secara sengaja menindih etika dengan cara preman alias nuthuk harga ke pembeli/pelanggan.

Dengan demikian, mereka bisa dikatakan tak punya sense of crisis, tak ada rasa empati atas kemurungan akibat pandemi Covid-19, apalagi sekarang semua terdampak dengan ekonomi yang sulit, sehingga jangan sampai gawe rega dhewe, harga mahal.

Kasus serupa, sebelumnya pernah menimpa warung lesehan lamongan Bu Anny yang ditutup Pemkab Tegal karena mematok harga selangit. Kasus tersebut menjadi viral karena pembeli merasa dijebak saat harus membayar sebesar Rp 700.000 untuk dua porsi makanan berupa masakan udang windu dan kepiting telur.

 Pembeli yang keberatan dan mengaku tidak punya uang sebanyak itu, penjual akhirnya memotong harganya hingga pembeli membayar 300 ribu. Harga awal yang dianggap di luar kewajaran tersebut kemudian diunggah di Facebook sehingga akhirnya viral di media sosial (panturapost.com, 1/6/2019).

Kala keluar kota saat tugas, berwisata atau hanya sekadar singgah membeli oleh-oleh, sebagai orang awam pikiran kita acap diframing harga umum dan tempat. Misalnya harga di warung pinggiran atau pedagang kaki lima lebih murah ketimbang di warung makan yang representatif, misalnya di stasiun, airport, lokasi wisata maupun tempat hiburan, dll.

Barangkali cuma melahap berita media, omongan orang dari mulut ke mulut atau mengambil kesimpulan sendiri. Contohnya, rata-rata orang akan beranggapan makan di Jogja dan Solo harga jauh di bawah harga Jakarta atau Surabaya, Medan, dll.

Fenomena warung nuthuk ini diakui atau tidak, berdampak pada banyak pihak, selain pembeli/korban, maka pemerintah daerah pun ikut terkena getahnya. Pemda menjadi sorotan media dan publik yang secara tak langsung memengaruhi arus kunjungan wisata dan menurunnya PAD maupun pendapatan masyarakat.

Beroperasinya warung ketok harga ini dengan ekspektasi beroleh untung besar, tapi sesungguhnya, seperti ancaman warung ditutup pemda, warungnya cepat atau lambat akan habis mati, pelanggannya lari meninggalkannya dan secara otomatis penghasilan melorot yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap ketahanan dan kesejahteraan keluarganya.

Karena lewat sosial media sekarang bisa saja siapapun membunuh karakter, rezeki, posisi, citra seseorang atau lembaga bahkan kota. Praktik buruk, caption yang kelam menjadi warning maupun alarm bagi masyarakat yang mengais rezeki dari praktik usaha atau dagang warungan, misalnya.

Ilmu Titen

Ini yang mesti disadari para pedagang yang harus menanamkan prinsip tepaslira dan tetulung. Jangan malah memasang jebakan batman karena hanya membuat blunder. Matèni rejekiné dhéwé.

Maka kemudian, bagi masyarakat atau pembeli/pelanggan barangkali tak kalah perlunya untuk meng-update informasi, termasuk harga, tempat dan jangan hanya mengandalkan jurus, “katanya.” Sedangkan bagi para pedagang jauh akan bijak dan rupanya bisa menjadi panasea (obat mujarab) warungnya laris, selain dipasang daftar menu berikut harganya, para kru warung penting menghidupkan nilai kejujuran kepada pelanggan dan sikap ramah tamah serta ringan tangan juga tak kalah pentingnya.

Membaca dan melihat kasus warung ngepruk ini mesti membawa Pemda pada double effort untuk selalu mengedukasi dan memberdayakan masyarakat pedagang dan memberikan perlindungan konsumen yang adil.

Sekali lagi, kasus ini menjadi kritik bagi pemda dan pedagang untuk baper (membawa perubahan) yang lebih baik dengan menghilangkan warung nuthuk, lewat operasi dan pengawasan periodik dan penindakan tegas di lapangan.

Kanal aduan, kotak saran dan laporan langsung juga penting mencegah praktik busuk mremo harga. Pelajaran lainnya, perlu rupanya kampanye boikot warung/toko ngepruk. Jangan sampai pemda  dan masyarakat malah menutupi bahkan menyembunyikannya.

Tugas terpenting lain, yakni mampu membuat pengunjung selalu rindu dan puas dengan seribu kisah kebaikan di tanah lain. Masyarakat itu punya ilmu titen, kalo warung itu murah pasti dicatat di otak, didatangi lagi dan jika malah nuthuk alias ngepruk, tentu sebaliknya, warungnya bisa mati kutu bahkan mati gaya.

Sudah saatnya pedagang warung, PKL, pedagang oprokan/lesehan kembali fokus ke dagangé/warungé resik, atiné becik lan rejekiné apik. Sumulur. **

Marjono

Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng