Ijtihad Hukum Islam Perkuat Jiwa Kebangsaan

 Ijtihad Hukum Islam Perkuat Jiwa Kebangsaan

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Pengalaman kolonialisme hingga kehidupan sosial politik kontemporer menimbulkan kekayaan pemikiran yang dinamis tentang relasi antara negara, pembentukan hukum, dan teologi. Sentral dalam dinamika pemikiran ini menjadi metode hukum Islam diadaptasi di dalam sistem dan bagaimana penggunaan metode tersebut berdampak praktis pada konstruksi pemikiran muslim tentang kenegaraan dan kesejahteraan bangsa. 

"Penggunaan metode hukum Islam yang berorientasi praktis-aplikatif pada kemaslahatan dan kemitraan yang dinamis antara hukum Islam, hukum Indonesia dan unsur kebudayaan lokal menjadi bahan penting untuk meramu jiwa kebangsaan dan kemajuan Umat Islam di Indonesia," papar Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi.

Berbicara dalam bedah buku, “Pembaruan Islam Yudian Wahyudi: Komparasi dengan Hasbi Ash Shiddiey, Hazairin, Nurcholish Majid, dan Quraish Shihab' yang ditulis oleh Khoirul Anam di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Rabu (15/12/2021) siang, Yudian Wahyudi yang pernah menjadi dosen di Harvard Law School, menyebutkan para pendahulu pemikiran Islam Indonesia memiliki kelebihan masing-masing. Hazairin mengkritisi pendekatan teori receptie yang didesain oleh kepentingan kolonial untuk mencegah munculnya kekuatan Islam.

Hasbi Assiddiqi berperan penting dalam memperkenalkan fikih Indonesia yang terbuka pada kebudayaan lokal (urf) sebagai sumber hukum. Nurcholis Majid menawarkan sekularisasi pemikiran untuk memperkuat pemikiran keislaman.

"Penggabungan kelebihan-kelebihan pemikir sebelumnya dengan keunggulannya memberikan penafsiran ayat Al-Quran kontemporer yang aplikatif dan adaptif terhadap kebutuhan jaman," paparnya.

Sementara Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum dan Kepegawaian UIN Sunan Kalijaga yang juga sekaligus Ketua Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir (AIAT) Indonesia, Sahiron menyatakan pemikiran Yudian memberi kontribusi yang sangat signifikan dalam penafsiran hukum Islam di Indonesia. Pendapat ini di-iya-kan oleh sejumlah penulis yang menyebut Prof Yudian sebagai mujtahid

“Hampir 30 persen penulis resensi mengambil judul yang menyebut Prof Yudian sebagai mujtahid. Padahal mereka menulis secara organik, tidak ada panduan,” terang Sahiron.

Mengafirmasi pendapat Sahiron, Agus Najib, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga mengungkapkan jika Yudian adalah salah satu pemikir dari PTKIN yang memiliki sanad keilmuan jelas, bagaimana pemikirannya terbentuk dari hasil kombinasi pendidikan produk barat (Eropa dan Amerika) dan Timur (Islam). Bidang keahliannya sangat luas yang meliputi, filsafat, politik, hukum, pendidikan dan sejarah Islam. 

"Hal tersebut tergambarkan pada pemikirannya mengenai kekuasaan dunia, bagaimana manusia dituntut memiliki kausa materialis dan kausa spiritualis yang tergambarkan dalam penguasaan IPTEK dan pengamalan ajaran agama sebagai jalan untuk menguasai dunia.

Sementara itu, Khoirul Anam, Editor buku 'Pembaruan Islam Yudian Wahyudi' menyampaikan jika belum ada sebuah buku yang agak lengkap dalam mengumpulkan tulisan dan pidato Yudian di berbagai kegiatan ilmiah. Padahal di era disrupsi sekarang dibutuhkan pemikir yang memiliki pendekatan radikal dan progresif, agar fiqih diadopsi oleh orang Indonesia secara dinamis dengan dibarengi oleh tradisi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Indonesia. 

"Saya membaca setelah zaman Khalifah Al-Makmun dengan Baitul Hikmahnya, gerakan Islam cenderung surut hingga sekarang. Sampai akhirnya kita bertemu dengan pemikiran Prof Yudian yang cenderung empirik dan aplikatif," paparnya. (*)