Kendaraan Overload Masuk Kategori Kejahatan, Polisi Berwenang Menindak
KORANBERNAS.ID, SEMARANG -- Polisi berwenang menindak kendaraan yang masuk kategori Over Dimension Overload atau ODOL. Penindakan pelanggaran bisa
dilakukan secara aktif melalui Pemeriksaan Acara Singkat (PAS) karena pemakaian kendaraan
ODOL masuk kategori kejahatan.
Ini terungkap saat berlangsung Focus Group Discussion (FGD) Korlantas Polri
yang secara spesifik membahas Penyebab Laka Lantas Ojol dan ODOL dalam rangka
Traffic Accident Research Center (TARC) di wilayah Polda Jateng, Rabu
(29/7/2020), di Semarang.
“Masuknya
pelanggaran ODOL sebagai kejahatan mengacu pada peraturan perundangan yakni Pasal
316 Ayat (2) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,†ungkap Kombes Pol Arman Achdiat
SIK MSi, Direktur Lalu Lintas (Dirlantas)
Polda Jawa Tengah.
Yaitu, pelanggaran
atas pasal 273, 275 ayat (2), Pasal 277,
kemudian Pasal 310 sampai 312. “Pada pasal 277 jelas ada uji tipe yang
jika dilanggar bisa dipidana maksimal 1 tahun penjara atau denda maksimal Rp 24
juta,†ujar perwira polisi lulusan Akpol 1992 ini.
FGD
kali
ini diikuti Kepala
Balai Transportasi Darat Wilayah 10 Jateng-DIY, Kepala Balai Pelaksana Jalan
Nasional Jateng-DIY, Kepala PT Jasa Marga Jateng, Kepala Jasa Marga Jateng maupun pengurus Aptrindo (Asosiasi
Pengusaha Truk Indonesia) Jateng.
Hadir pula Ketua Tim Peneliti Korlantas Polri Kombes M Rudi Syafrudin SIK SH serta pakar transportasi Undip
Dr Bagus Hario Setiadji ST MT.
Arman
Achdiat mengungkapkan pendorong diadakannya FGD adalah meningkatnya kecelakaan
yang melibatkan kendaraan kategori ODOL. “Dari tahun 2018 jumlahnya hanya 4
peristiwa naik menjadi 6 kejadian pada 2019,†ungkapnya.
Di
sisi lain, jumlah pelanggaran ODOL turun dari 4.914 ke 4.735 pelanggaran. Selain
ODOL, juga ada tren kenaikan laka lantas yang melibatkan ojek online sebesar 79 persen. “Kedua fenomena itu harus
dicermati bersama,†tambahnya.
Perwira
polisi yang sudah mengenyam berbagai bidang penugasan ini memastikan muatan
berlebih (overloading) dan pembesaran
dimensi (over dimension) secara
teknis memang membahayakan.
Penyimpangan
itu dipastikan tidak bisa diakomodasi geometrik jalan di Indonesia. Selain itu,
juga menyulitkan
manuver atau olah gerak kendaraan.
Kendaraan
menjadi kurang stabil dan sulit dikendalikan serta membutuhkan jarak pengereman
(deselerasi) yang lebih panjang.
Muatan
berlebih dan perbuatan memperbesar dimensi kendaraan lebih banyak menyebabkan
kerugian bagi semua pihak.
“Sudah
banyak literatur yang menyebutkan over
dimension dan overload
mempercepat kerusakan jalan, juga dipastikan memperbesar risiko kecelakaan
karena peregangan atau strain ban
hingga menjadi cepat panas. Kondisi ODOL juga menyebabkan pengereman dan
percepatan menjadi terganggu,†tegas Arman Achdiat.
Dia
mengakui ada kendala penegakan hukum terhadap pelanggaran muatan berlebih
dan pembesaran dimensi karena angkutan barang menjadi mata pencaharian banyak
orang dan penggerak perekonomian.
Ketentuan
dan sanksi juga belum tegas, di sisi lain kemampuan operasional penegakan hukum
juga belum memadai. Karena itu, dia mengajak memaksimalkan koordinasi antar-instansi untuk mengatasi
hal ini.
Masalah
ODOL jelas merugikan banyak pihak, dan jelas pula tindakan itu merupakan
kejahatan, sehingga perlu langkah bersama mengatasinya. “Jangan kita lupakan
juga, praktik ODOL menciptakan iklim
usaha tidak adil alias unfair. Ini
harus kita pahami bersama,†tandasnya. (sol)